Asal-usul Meriam Ki Amuk, Kembaran Meriam Si Jagur
Meriam Ki Amuk yang berada di Banten disebut sebagai kembaran Si Jagur. Penelitian mengenai asal-usul meriam ini telah dilakukan sejak zaman kolonial Belanda.
MERIAM Si Jagur menjadi salah satu ikon dari Kota Tua Jakarta. Meriam itu dibuat oleh seorang master pengecor senjata Portugis bernama Manuel Tavares Bocarro di Makau dengan melebur 16 meriam kecil. Mulanya meriam tersebut dipersembahkan dan ditempatkan di benteng St. Jago de Barra di Makau hingga kemudian dibawa ke Malaka. Setelah VOC menguasai Malaka, meriam Si Jagur dibawa ke Batavia pada 1641 dan ditempatkan di Kasteel Batavia untuk menjaga pelabuhan dan kota.
Dalam Jaarboek van Batavia en omstreken 1927 yang disusun oleh J. J. de Vries disebutkan bahwa meriam yang juga disebut dengan nama Kiai Setomi ini dianggap sebagai meriam keramat oleh masyarakat setempat karena memiliki kekuatan ajaib. “Para wanita khususnya sering datang ke sini untuk melakukan persembahan dan berpendapat bahwa kesuburan akan diberikan kepada mereka jika mereka duduk di atas Meriam,” tulis de Vries.
Sejumlah penduduk juga meyakini jika mereka membuat permohonan saat mengunjungi meriam Si Jagur, maka permohonannya berpeluang besar terkabul. Tak hanya itu, meriam ini juga dianggap memiliki kemampuan untuk membongkar kejahatan yang dilakukan seseorang. Konon kabarnya, para penjahat tak berani menyangkal kesalahan mereka ketika mereka diancam dengan pengambilan sumpah pada benda yang dianggap sakral ini.
Baca juga:
Meriam Si Jagur disebut memiliki kembaran yang berada di Banten. Sebagian masyarakat di masa lalu percaya bahwa kekuasaan Belanda di Jawa akan berakhir bila kedua meriam tersebut dipertemukan.
Menurut Claude Guillot dan Ludvik Kalus dalam “Inkripsi Islam pada Beberapa Meriam Nusantara Abad ke-16”, yang termuat di Inkripsi Islam Tertua di Indonesia, sejarah meriam yang dijuluki Ki Amuk itu telah ditelusuri oleh sejumlah peneliti sejak zaman kolonial Belanda, salah satunya adalah K.C. Crucq yang menyebut bahwa jejak pertama meriam dengan nama itu terdapat di satu peta kota Banten yang dibuat sebelum pertengahan abad ke-17. Pada peta tersebut tercatat “meriam besar ‘t Desperant”, yang oleh Crucq dianggap sebagai terjemahan dari Ki Amuk.
Sebuah gambar bintang berujung delapan terlihat pada mulut meriam Ki Amuk. Gambar yang dikenal dengan nama “Mentari Majapahit” itu juga dapat ditemukan di atas nisan-nisan Troloyo abad ke-14 dan ke-15. Crucq berpandangan hal ini menjadi penunjuk asal-usul dan masa meriam itu, yakni Jawa Tengah pada pertengahan pertama abad ke-16.
“Menurut Valentijn, Sultan Demak menghadiahkan satu meriam bernama Ki Jimat kepada Hasanudin Banten sewaktu pernikahannya. Maka Meriam Ki Jimat sama dengan Ki Amuk dan diperkirakan tanggalnya adalah 1450 Saka, yakni 1528/9 AD, yang kiranya sesuai dengan tahun pernikahan Hasanudin serta dengan sebuah candrasengkala yang dibaca Crucq dalam formula ‘akibatu ‘l-khairi yang dapat diterjemahkan dalam bahasa Jawa sebagai wekas ing sukha,” tulis Guillot dan Kalus.
Baca juga:
Sementara itu, sewaktu perang Demak melawan Panarukan (Pasuruan), sejumlah meriam –termasuk yang berukuran besar bernama leões yang memiliki ukuran serupa dengan Ki Amuk– dicor untuk menjadi senjata dalam pertempuran itu oleh orang-orang Turki dan Aceh yang dipimpin oleh Koja Zainal, seorang kepala atau empu (dari kata mestre dalam bahasa Portugis) yang dikenal sebagai pembelot Portugis. Mengacu pada hal ini, Crucq berkesimpulan bahwa meriam yang ada di Banten kemungkinan dicor oleh pembelot Portugis itu untuk kepentingan Sultan Demak. Kesimpulan tersebut juga didasarkan pada wujud meriam yang memiliki kemiripan dengan meriam-meriam Portugis.
Setelahnya, Sultan Demak memberikan meriam itu sebagai mas kawin kepada Hasanudin, yang membawanya ke Banten, di mana meriam tersebut menjadi meriam sultan yang sangat dihormati dan dikenal dengan nama Ki Jimat.
“Apabila kita merangkum argumentasi cerdas Crucq, maka penanggalannya didasarkan atas tiga unsur: satu sengkalan, satu gambar ‘Mentari Majapahit’, dan tradisi Jawa yang dikemukakan oleh Valentijn yang menceritakan bahwa meriam tersebut dihadiahkan oleh raja Demak, Sultan Trenggana, kepada raja Islam pertama di Banten, Hasanudin, waktu ia menikahi putrinya,” tulis Guillot dan Kalus.
Baca juga:
Raja Demak Terakhir Dimakamkan di Banten
Menurut Guillot dan Kalus, meski ketiga alasan itu cukup meyakinkan untuk menjelaskan sejarah meriam Ki Amuk, tetapi argumentasi yang diberikan masih tergolong lemah. Gagasan Crucq mengenai perubahan nama meriam dari Ki Jimat menjadi Ki Amuk mungkin saja benar. Namun, gagasannya bahwa nama ‘t Desperant adalah terjemahan Belanda dari Ki Amuk, tidak dapat diterima begitu saja. Pasalnya, jika nama ini telah dikenal pada masa itu, maka meriam tersebut kemungkinan besar akan disebutkan dalam naskah Sejarah Banten. Namun, pada kenyataannya tidak ditemukan nama itu dalam naskah tersebut.
Sementara itu, terkait dengan “Mentari Majapahit”, memang betul pola itu tertera untuk pertama kali pada makam-makam Troloyo pada abad ke-14 hingga 15, tetapi sejarahnya panjang karena ditemukan lagi di pintu makam Puspanegara yang menjadi bupati Gresik pada kedua dasawarsa pertama abad ke-18.
“Kelemahan argumentasi tersebut menyebabkan kami sangat meragukan kedua gagasan Crucq, yaitu masa yang terlalu dini –awal abad ke-16– dan peleburan meriam itu di Jawa,” tulis Guillot dan Kalus. “Inkripsi-inkripsi, ukiran hiasan, dan gelang-gelang pengangkat memerlukan penguasaan teknik yang tinggi, yang tidak terbukti oleh satu pun contoh di Nusantara pada waktu itu,” tambah mereka. Soal pola berbentuk bintang di mulut meriam yang mengingatkan pada “Mentari Majapahit” juga sulit untuk membuktikan bahwa meriam tersebut dibuat di Jawa.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar