Raja Demak Terakhir Dimakamkan di Banten
Raja Demak terakhir dianggap penyebab kematian Sultan Banten. Dia dibunuh anaknya sendiri.
Maulana Muhammad, sultan Banten yang masih muda, bertanya kepada penasihatnya, Pangeran Mas, negara mana yang pertama-tama harus diserang.
Pangeran Mas menyarankan agar menyerang Palembang karena di sana ada seorang abdan bernama Soro yang tidak setia lagi dan sudah lama tidak memberikan upeti. Abdan Soro adalah Kiai Gedeng Sura, pendiri Dinasti Palembang yang berakhir pada 1821. Dia melarikan diri dari Surabaya ketika Demak ditaklukkan Pajang. Dia mulai berkuasa di Palembang pada 1572.
Baca juga: Taktik Banten Taklukkan Pakuan Pajajaran
Menurut H.J. de Graaf dalam Awal Kebangkitan Mataram, Pangeran Mas menyarankan Maulana Muhammad untuk menyerang Palembang karena menganggap pada dirinya melekat hak raja Demak. Maka, Kiai Gedeng Sura yang berasal dari Surabaya dan dulu tunduk pada Demak, dianggap sebagai abdinya.
“Dalam peperangan menyerbu Palembang itulah sultan wafat akibat terkena tembakan meriam. Peristiwa gugurnya Maulana Muhammad ini terjadi pada tahun 1596 berdasarkan candrasengkala prabu lepas tataning prang,” demikian disebut dalam Ragam Pusaka Budaya Banten.
Ada penjelasan berbeda tentang Pangeran Mas.
Ragam Pusaka Budaya Banten menyebut Pangeran Mas adalah seorang pangeran dari Demak bernama Aria Pangiri, putra dari Sunan Prawata atau Pangeran Mu’min. Pangeran Mas tersisih dua kali dari haknya menjadi raja di Demak. Pangeran ini diketahui memiliki niat untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mataram sehingga Raja Mataram Sutawijaya hendak membunuhnya. Namun, hal itu urung dilakukan karena bujukan istrinya. Dia kemudian berjanji tidak akan kembali ke daerah Mataram untuk selamanya. Akhirnya, dia menetap di Banten sampai wafat.
Baca juga: Perang Banten-Cirebon di Akhir Ramadan
Sedangkan H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, menjelaskan bahwa Pangeran Aria Pangiri atau Pangeran Kediri adalah anak Pangeran Lepen, kemenakan Susuhunan Prawata, dan cucu Sultan Tranggana, raja Demak ketiga, yang putrinya menikah dengan Sultan Pajang.
Setelah Susuhunan Prawata meninggal, Pangeran Mas memegang kekuasaan sekadarnya di Demak. Namun, dia kemudian menjadi Raja Pajang setelah Sultan Adiwijaya meninggal dunia pada 1587. Penunjukannya atas permintaan Sunan Kudus yang menggunakan wibawa kerohaniannya. Hubungan Pangeran Mas dengan Pajang adalah sebagai menantu sekaligus kemenakan dari pihak ibu Raja Pajang.
Putra mahkota, Pangeran Benawa, kemudian bersekutu dengan Senapati Mataram dan orang-orang di Pajang yang tak puas. Setelah pertempuran singkat pada 1588, mereka berhasil mengusir Pangeran Mas. Nyawanya selamat berkat permintaan belas kasihan istrinya, seorang putri Pajang.
Setelah itu, menurut De Graaf, Pangeran Mas pergi ke Malaka. Orang Portugis memandangnya sebagai Raja Demak (Raja D’auma). Dia cukup lama tinggal di jajahan Portugis itu, dari 1588 sampai 1596. Dia ditemani dua putranya (seorang berusia 20 tahun), salah satunya bernama Pangeran Mas I atau Pangeran Juruh.
Baca juga: Mataram Batal Menyerang Banten
Pangeran Mas kemudian tiba di Banten pada 1 Juli 1596.
“Di sana dia disambut dengan hormat oleh kerabatnya, raja Banten. Haknya atas kekuasaan di Demak diakui, dan dia menerima penghormatan sebagai bangsawan, sesuai dengan asal usulnya. Di Banten dia tinggal dalam perumahan di luar kota. Kiranya dia juga lama tinggal di Jakarta yang pada waktu itu di bawah kekuasaan raja Banten,” tulis De Graaf.
Ragam Pusaka Budaya Banten menyebut Pangeran Mas membuat “Kreta Singa” yang dipergunakan oleh sultan-sultan Keraton Kasepuhan, Cirebon. Dalam sejarah Banten, dia dikenal berkaitan dengan peristiwa penyerangan ke Palembang. Dia membujuk Maulana Muhammad agar menyerang Palembang. Sultan gugur akibat terkena tembakan meriam. Penyerbuan itu tidak membawa hasil apa-apa untuk Banten. Pasukan ditarik mundur, begitu pula Pangeran Mas kembali ke Banten. Namun masyarakat Banten tidak menerimanya dengan baik. Dia dianggap sebagai penyebab wafatnya Maulana Muhammad.
Baca juga: Perang Dua Pangeran Banten
Wakil Inggris di Banten, Edmund Scott, memberitakan akhir kehidupan Pangeran Mas. Pada November 1604, dalam pelayaran dari Banten ke tempat lain di pantai utara, Pangeran Mas dibunuh dengan keris oleh salah seorang putranya di tempat tidur.
Menurut De Graaf dan Pigeaud, kemungkinan besar Pangeran Mas pada 1604 atau sekitarnya berlayar dari Banten ke Demak untuk memimpin pengikutnya memberontak pada Mataram. “Apa yang menjadi alasan sampai dia dibunuh, kiranya tetap merupakan rahasia.”
Pangeran Mas dimakamkan di Kampung Pangkalan Nangka, Banten. Dia pun dikenal sebagai Sultan Pangkalan Nangka.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar