Legenda Kota Suci Demak
Awal penyebaran Islam di Jawa Tengah berpusat di Masjid Agung Demak. Hingga dipercaya berkunjung ke sana sama dengan naik haji ke Makkah.
Konon, para wali mendirikan Masjid Agung Demak hanya dalam satu malam. Empat tiang utama, soko guru, ditegakkan untuk menyokong atapnya. Yang tiga terbuat dari balok kayu utuh. Satu lagi adalah tiang yang disusun Sunan Kalijaga dengan potongan-potongan balok yang tersisa dari pekerjaan wali lainnya.
Malam itu sang wali datang terlambat. Karenanya ia pun tak dapat membuat tiang dengan kayu yang utuh.
Di masjid itu pula Sunan Kalijaga memperoleh baju wasiat “Antakusuma”. Kabarnya, secara ajaib baju “Antakusma” jatuh dari langit di dalam masjid ketika para wali sedang bermusyarawah.
Baju “Antakusuma” kemudian menjadi salah satu pusaka raja-raja Jawa. Panembahan Senopati, raja Mataram pertama, mendapatkan baju itu dari ahli waris Sunan Kalijaga, seorang pandita di Kadilangu.
Berkat baju gaib itu, Senopati bisa mengalahkan Pangeran Madiun. Baju Antakusuma membuatnya kebal. Kisah ini seolah mengatakan wahyu raja-raja Mataram dan Jawa Tengah lahir di Masjid Agung Demak.
Mukjizat lain terjadi pada Ki Ageng Selo yang dimuliakan sebagai moyang keluarga raja Mataram. Suatu hari ketika berada di ladang, ia menangkap petir lalu membawanya ke Masjid Agung Demak atau kepada Sultan Demak.
Kisah Ki Ageng Selo menangkap petir diabadikan dalam ukiran pada Lawang Bledheg atau pintu petir di Masjid Agung Demak. Lawang bledheg sekaligus menjadi sengkalan memet (kronogram) yang dibaca “naga mulat salira wani” atau menunjukkan tahun 1388 Saka (1466). Konon, pada tahun itulah Masjid Agung Demak didirikan.
Baca juga: Ki Ageng Selo, Sang Penangkap Petir
Menurut sejarawan Belanda, H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud dalam Kerajaan Islam Pertama di Jawa, legenda dan cerita-cerita tradisi tadi mengungkapkan betapa pentingnya Masjid Demak di alam pikiran orang Jawa Islam. Khususnya pada abad ke-17 sampai ke-19.
De Graaf dan Pigeaud menyebut bahwa Masjid Agung Demak adalah pusat kerajaan Islam pertama di Jawa Tengah. Bahkan, hingga abad ke-19 Masjid Agung Demak menjadi pusat bagi muslim kuno di kawasan itu. Kalau menurut Babad Jaka Tingkir Masjid Agung Demak adalah pusat dari seluruh pusaka para raja Jawa.
“Mungkin sekali raja-raja Demak menganggap Masjid Demak sebagai simbol kerajaan Islam mereka. Masjid Demak pada abad-abad berikutnya menjadi penting sekali dalam dunia Jawa,” tulis De Graaf dan Pigeaud.
Kekuasaan Imam Masjid
Masjid Agung Demak berdiri saat perkembangan Islam di Jawa mencapai puncak pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16. Ditandai dengan munculnya Kerajaan Islam Demak.
Kemunculan Kerajaan Demak bersamaan dengan keruntuhan Kerajaan Majapahit. Lalu muncul kekuatan-kekuatan baru di daerah pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur yang secara bertahap menggantikan kedudukan Kerajaan Hindu kuno itu.
“Kekuatan baru ini adalah Kerajaan Demak,” tulis arkeolog Hasan Djafar dalam Girindrawarddhana dan Beberapa Masalah Majapahit Akhir.
Babad Tanah Jawi mengisahkan pendirian kerajaan itu dimulai dari hutan bernama Bintara. Sunan Ampel Denta (Surabaya), tempat Raden Patah dan saudaranya, Raden Husen berguru, adalah tokoh yang memberi petunjuk pembukaan hutan itu. Di situlah Raden Patah bertempat tinggal. Tak lama setelahnya banyak orang datang ikut membangun rumah di sana, membabat hutan, dan mendirikan masjid.
Baca juga: Demak Mengislamkan Banten
Pembangunan Masjid Agung Demak dan munculnya jamaah di sana, merupakan permulaan pengislaman Pulau Jawa. Masjid pun menjadi salah satu pusat keislaman.
Kedudukan ulama atau para wali pun menjadi lebih besar. Menurut guru besar sejarah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, itu terdorong oleh kebutuhan para penguasa yang baru masuk Islam untuk menerjemahkan beberapa doktrin syariat ke dalam organisasi sosiopolitik dalam kerajaan.
Begitu pula di Kerajaan Demak, para imam masjid kemudian mendapatkan kekuasaan lebih. Itu berawal dengan jalan memimpin salat wajib lima waktu. “Kekuasaan rohani para imam masjid ini sudah sejak zaman awal penyebaran agama Islam meluas meliputi bidang kehidupan masyarakat,” jelas De Graaf dan Pigeaud.
Baca juga: Toleransi Beragama ala Sunan Kudus
Cerita tentang lima imam Masjid Agung Demak termuat dalam Hikayat Hasanuddin yang berisi sejarah singkat raja Banten. Kelima imam itu menjabat selama pemerintahan tiga atau empat raja Kerajaan Demak.
Mereka adalah Pangeran Bonang (1490–1506/1512), Makdum Sampang (1506/1512–1515), Kiai Pambayun (1515–1521), Penghulu Rahmatullah (1521–1524) yang dilantik oleh Adipati Sabrang Lor, dan Sunan Kudus (1524–?) yang dinobatkan oleh Syekh Nurullah yang kemudian menjadi Sunan Gunung Jati.
Imam keempat yang pertama diberi sebutan penghulu. Menurut De Graaf dan Pigeaud, itu mungkin dapat dihubungkan dengan pergantian fungsi. Dengan gelar itu, raja mungkin hendak menambahkan tanggung jawab lain.
Di Jawa para imam masjid hampir selalu disebut penghulu. Kata ini di tanah Melayu berarti “kepala” tanpa arti khusus di bidang rohani. Ini menunjukkan sejak masa awal perkembangan Islam di Jawa, jabatan pemangku hukum syariat dan imam masjid berhubungan erat.
“Gelar penghulu yang sudah dipakai oleh imam-imam di Demak mungkin suatu bukti betapa besarnya kekuasaan yang mereka peroleh, juga di bidang hukum,” jelas De Graaf dan Pigeaud.
Baca juga: Dua Wali dalam Konflik Demak
De Graaf dan Pigeaud menyimpulkan, kedudukan imam amat bergantung pada raja-raja Demak, pelindung mereka. Mungkin waktu kekuasaan duniawi mereka atas jamaah di sekitar masjid makin bertambah besar, mereka bersikap agak lebih bebas.
“Yang disebut paling akhir dari daftar imam itu, menurut cerita tradisi Jawa, memegang peranan penting dalam merebut kota Kerajaan Majapahit,” tulis De Graaf dan Pigeaud.
Kendati begitu keberadaan para imam tak disebutkan dalam catatan pelaut Portugis, Tomé Pires dan catatan Belanda pada masa kemudian. “Cerita tradisi membuktikan bahwa pada zaman itu masjid beserta para pengurusnya sangat terpandang,” tulis De Graaf dan Pigeaud.
Kesetiaan Kepada Para Wali
Legenda dan cerita tradisi banyak menghubungkan Masjid Agung Demak dengan Wali Songo. Ada Pangeran Kudus dan dua sanak keluarganya yang lebih tua, Sunan Ngampel Denta dan Sunan Bonang.
De Graaf dan Pigeaud menyebut legenda-legenda itu memang tercipta untuk menghormati orang-orang suci itu. Terutama Sunan Kalijaga sebagai wali dan pelindung generasi penguasa Jawa Tengah.
Baca juga: Empat Penyebar Islam Pra Wali Songo
Menurut De Graaf dan Pigeaud dalam Islamic States in Java 1500–1700 orang Jawa yang saleh pada abad ke-17 dan masa kemudian, percaya kalau Islam disebarkan di Jawa oleh Wali Songo yang berpusat di masjid suci Demak. Karenanya tak heran, kesetiaan yang berurat terhadap para wali itu membuat Masjid Demak tetap merupakan pusat kehidupan agama di Jawa Tengah. Meskipun kekuasaan raja-raja Demak jatuh pada paruh kedua abad ke-16.
Saking pentingnya, ada anggapan kalau mengunjungi Kota Demak dan makam orang-orang suci di sana dapat disamakan dengan naik haji ke Makkah. Di banyak daerah di tanah Jawa rasa hormat muslim pada Masjid Demak masih bertahan sampai abad ke-19. Kota Demak dipandang sebagai tanah suci.
“Itulah yang terutama menyebabkan nama Demak dalam sejarah Jawa tetap tidak terlupakan di samping nama Majapahit,” tulis De Graaf dan Pigeaud.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar