Yok Koeswoyo yang Tinggal dari Koes Plus
Personel yang tersisa dari band legendaris Koes Bersaudara maupun Koes Plus. Dalam dokumenter yang mengisahkan hidupnya, Yok berbagi cerita, termasuk sisi-sisi sentimentil yang terekam dalam lagu ciptaanya.
SESOSOK pria sepuh bertubuh ramping itu duduk di atas kursi. Penampilannya sederhana saja, mengenakan kemeja batik dengan peci yang melekat di kepala. Jauh dari kesan seorang rocker. Sejurus kemudian dia memperkenalkan diri.
“Saya anggota Koes Bersaudara dan Koes Plus yang masih hidup sampai hari ini,” ujarnya.
Adegan itu menjadi pembuka film dokumenter Koesroyo: The Man Last Standing karya sineas Linda Ochy. Di masa jayanya, Koesroyo “Yok” Koeswoyo itu adalah salah satu punggawa kelompok musik Koes Bersaudara yang kemudian bertransformasi jadi Koes Plus. Yok yang kini berusia 81 tahun menjadi satu-satunya personel yang tersisa dari band legendaris Indonesia itu. Film dokumenter ini mengisahkan perjalanan hidup Yok Koeswoyo, sebagai anggota Koes Bersaudara dan Koes Plus, termasuk kehidupan pribadinya.
Yok yang sepanjang karier bermusiknya telah menciptakan sekira 400 lagu justru pada awalnya tak kepikiran menjadi pemusik. Dia ingin menjadi dokter. Tapi, Yok belajar musik secara otodidak. Sebagai anak dari keluarga ningrat Jawa, di rumah Yok ada seperangkat gamelan. Alat musik itulah yang biasa dimainkan Yok bersama kakak-kakaknya. Hasrat bermain musik makin kuat berkat Koestono (Tonny), salah satu kakak Yok yang selalu mengajaknya bermain gitar. Tonny bahkan menciptakan lagu untuk mereka berduet. Dari situ, Yok mulai mengasah keterampilan bermusiknya.
Baca juga: Senandung Cinta Susi
Tidak hanya Yok, semua kakak laki-lakinya juga turut bermusik. Mulai dari yang tertua Koesdjono (John), Tonny, Koesnomo (Nomo), Koesjono (Yon), hingga si bungsu Yok. Pada paruh kedua 1950 mereka membentuk band Koes Brothers. Memasuki 1962, mereka –minus John– masuk dapur rekaman dengan format band Koes Bersaudara. Tonny sebagai gitaris merangkap pencipta lagu utama, Nomo jadi penabuh drum, Yon memainkan gitar ritme dan vokalis, dan Yok pada bass juga vokalis.
Dengan mengusung genre musik rock n roll, Koes Bersaudara jadi ikon band pop Indonesia pada 1960-an. Tidak hanya segi musik, melainkan juga penampilan seperti rambut gondrong yang mirip band The Beattles dari Inggris. Popularitas mereka mengusik Presiden Sukarno yang anti-musik-musik Barat. Bung Karno menyebutnya musik “ngak ngik ngok”. Tidak hanya dilarang pentas oleh pemerintah, Koes Bersaudara sempat dijebloskan ke Penjara Glodok selama tiga bulan.
Namun, Yok menampik stigma Bung Karno membenci Koes Bersaudara. Yang sebenarnya terjadi, menurut pengakuan Yok, Koes Bersaudara hendak digalang oleh Komando Operasi Tertinggi (KOTI) pimpinan Bung Karno untuk menjalankan misi kontra intelijen dalam rangka konfrontasi Ganyang Malaysia. Penggalangan ini dikarenakan Koes Bersaudara telah memiliki basis penggemar di luar Indonesia, termasuk di Filipina dan Malaysia. Namun, upaya menyusupkan Koes Bersaudara ke Malaysia urung terjadi lantaran meletus peristiwa G30S 1965. Dalam film ini, Yok menyatakan respek yang cukup mendalam terhadap sosok Bung Karno.
Selepas dari penjara, Koes Bersaudara kembali berkarya. Musik mereka tetap diminati khalayak. Meski memasuki periode ketenaran, Koes Bersaudara juga mengalami konflik internal. Yok bahkan menjadi bagian dari friksi dengan kakak-kakaknya. Bermula dari Nomo yang memilih hengkang dan berwirausaha. Tonny pun merekrut pemain lain untuk menggantikan Nomo. Sementara itu, Yok solider dengan Nomo, mereka keluar dari Koes Bersaudara. Koes Bersaudara kemudian bersalin nama menjadi Koes Plus.
Yok mengisahkan, sewaktu konser di Tasikmalaya, Koes Plus pernah ditimpuk oleh penonton dengan sepatu. Rasa kesal itu bermuasal dari penampilan personel baru di antara Koes Bersaudara. Mereka menginginkan “rasa asli” dengan kehadiran Nomo dan Yok. Hanya Yok yang kemudian kembali menggawangi Koes Plus.
Periode 1970-an adalah puncak kejayaan sekaligus terproduktif Koes Plus. Dalam setahun (1974), mereka bahkan sanggup merilis 22 album. Yok sendiri terlibat dalam menciptakan sejumlah lagu-lagu terbaik Koes Plus. Beberapa di antaranya: “Surat Pembuka”, “Pentjoeri Hati”, “Kolam Susu”, “Why Do You Love Me” dan beberapa versi dari lagu “Nusantara”.
Baca juga: Di Balik Lagu “Maria”
Suatu adegan menyentuh tersaji ketika lagu “Why Do You Love Me” diputar. Yok mula-mula ikut bersenandung bersama putrinya Sari, tapi sejurus kemudian suaranya terhenti. Air mukanya berubah hingga tangisnya pecah. Lagu itu mengingatkan Yok pada istrinya Maria Sonya Tulaar. Yok menciptakan lagu itu pada 1972 dibantu Sonya yang membuatkan liriknya. Sonya yang berprofesi sebagai pramugari itu meninggal dalam kecelakaan lalu-lintas pada 1973.
Pernikahan Yok dengan Sonya membuahkan sepasang putra-putri: Sari Louise Herning Hapsari dan Rangga Panji. Selain “Why Do You Love Me”, lagu berjudul “Sonya” (1972) dan “Maria” (1976) juga diciptakan Yok untuk mengenang Sonya. Sepeninggal Sonya, Yok menikahi perempuan kebangsaan Prancis bernama Michele Beguin yang setia mendampingi Yok sampai saat ini.
Akhir kisah ditutup dengan kontemplasi Yok yang menyintasi perjalanan sebuah band legendaris Indonesia selama lima dekade berkarya. Bagi Yok, hidupnya adalah bermusik. Namun, dia tak sekadar bermusik, melainkan menyampaikan pesan, tentang cinta, realita, hingga nasionalisme. Dia pun menjalani hidup apa adanya sebagai anugerah dari Tuhan kendati sudah ditinggal lebih dulu oleh kakak-kakaknya: Tonny (wafat pada 1987), Yon (2018), John (2022), dan Nomo (2023).
“Semuanya telah menjadi kenangan, kenangan yang manis,” jadi pesan penutup Yok dalam dokumenter tentang dirinya.
Tribute untuk Yok
Tidak hanya sebagai “rock star”, dokumenter Koesroyo: The Man Last Standing memberi para penonton kesempatan untuk mengenal lebih dekat sosok Yok Koeswoyo. Ia juga menampilkan narasi secara personal dari sudut pandang keluarga, sahabat, dan rekan musik. Mulai dari Sari Koeswoyo (anak), Michele Koeswoyo (istri), David Tarigan (pengamat musik), Hilmar Farid (budayawan), hingga Ais Suhana (promoter konser musik).
Dalam pemutaran perdananya untuk umum di CGV FX Sudirman, Jakarta Selatan, kemarin (25/11), sutradara Linda Ochy mengatakan dokumenter ini sebagai tribut kepada Yok atas kontribusinya yang begitu besar bagi perkembangan musik di Indonesia. Proses produksi yang memakan waktu 18 bulan itu cukup menantang karena Yok dikenal enggan berbicara banyak mengenai kehidupannya.
“(Film dokumenter) ini adalah persembahan kami untuk orang yang menurut saya sangat menginspirasi lewat musik,” kata Linda Ochy dalam konferensi pers setelah penayangan dokumenter tersebut.
Baca juga: Selamat Tinggal Penyanyi Tua
Yok sendiri tidak banyak berkomentar menyoal film dokumenter tentang dirinya itu. Dia hanya berujar singkat seraya tersenyum, “Filmnya oke.”
Sementara itu, Sari Koeswoyo, putri Yok, mengungkap alasan pembuatan dokumenter ini dilandasi kekhwatiran akan kehilangan memori tentang ayahnya sebagai satu-satunya personel Koes Plus yang tersisa. Dokumenter ini menjadi ikhtiar untuk mengabadikan rekaman, baik sosok Yok Koeswoyo maupun Koes Plus dalam panggung sejarah seni musik Indonesia.
“Saya punya kekhawatiran bahwa pakde-pakde saya udah nggak ada, dan Papa adalah yang terakhir dari Koes Bersaudara maupun Koes Plus,” ujar Sari. “Besar harapan saya bahwa film dokumenter ini nanti bisa diputar keliling Nusantara.”
Baca juga: Tangga Lagu tentang Penjara
Tambahkan komentar
Belum ada komentar