Wujud Kuntilanak dalam Sinema dan Naskah
Kuntilanak selalu digambarkan mengenakan gaun putih panjang dalam film. Tidak demikian dengan gambaran di naskah.
Berambut kusut panjang terurai, mengenakan gaun panjang berwarna putih, dengan suara tawa melengking. Itulah wujud kuntilanak dalam imaji muda-mudi berusia 20-an saat ini. Menurut, Faqihudien Abi, mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta, gambaran kuntilanak bergaun putih yang dia miliki berasal dari film-film –yang diperankan– Suzanna. Jawaban serupa juga dikatakan oleh tiga narasumber lain.
Susanna merupakan ikon horor tahun 1980-an. Meski film-filmnya yang menampilkan kuntilanak –semisal Sundel Bolong (1981) dan Malam Satu Suro (1988)– diproduksi tahun 1980-an, ketika muda-mudi tadi belum lahir, film-film itu sering ditayangkan ulang stasiun-stasiun televisi swasta pada awal 2000-an.
Eksistensi kuntilanak, satu dari sekian banyak jenis hantu di Indonesia, telah ada sejak lama. Di dalam serat, kata dosen sastra Jawa Universitas Indonesia Prapto Yuwono, sosok kuntilanak digambarkan sebagai penggoda ibu-ibu yang baru melahirkan. Kuntilanak suka mencuri bayi. Maka, dalam budaya Jawa, ibu yang sedang mengandung dibekali gembolan berisi gunting, bangle, bawang putih, dan lain-lain supaya tak diganggu kuntilanak. “Atau dia nembang kidung “Lingsir Wengi”. Kalau surup (menjelang magrib –red.), orang-orang zaman dulu menyanyikan lagu “Lingsir Wengi”. Itu penolak bala sebenarnya, bukan pemanggil setan seperti yang diceritakan dalam film,” ujarnya.
Naskah-naskah selalu menggambarkan kuntilanak dengan sosok perempuan cantik, berambut panjang, bisa terbang, tawa cekikikan melengking, dan sering berada di atas pohon. Ia bisa berubah wujud menjadi sosok mengerikan ketika marah. Namun, kata Prapto, kuntilanak sebetulnya tak beda dari sundel bolong. “Kalau dia sudah marah akan menjadi sundel bolong yang lubangnya pindah-pindah. Penggambarannya seram, bukan cantik lagi. Penggambaran di sinema kurang seram, selalu baju putih. Menurut saya, itu visualisasi saja. Sebenarnya hitam, di atas pohon, justru rambutnya yang kelihatan, kalau ketawa ya cekikikan, dan sering terbang,” sambung Prapto.
Kuntilanak, kolong wewe, dan genderuwo merupakan anak buah dari makhluk gaib yang menjaga suatu daerah. Suluk Plencung, ditulis pada 1791, menyebutkan beberapa nama penunggu suatu wilayah. Semisal, carub bawor yang menunggu daerah Lamongan atau Ki Samahita di Magelang. Babad Tanah Pekalongan juga menyebutkan para penunggu tempat angker, seperti Kali Sambong yang dijaga siluman welut putih dan Alas Gambiran yang dijaga Dewi Lanjar, suruhan Ratu Kidul. “Kolong wewe, jin, dan lain-lain semua punya fungsi dan tugas masing-masing. Pemimpin tertingginya itu Roro Kidul,” kata Prapto.
Gambaran kuntilanak seperti yang diuraikan Prapto agaknya tak seluruhnya masuk ke kepala para sineas. Maka, film-film horor kuntilanak pun menampilkan sosok kuntilanak berupa perempuan cantik bergaun putih seperti yang diperankan Susanna. Film-film horor acapkali menceritakan kuntilanak adalah arwah penasaran dari perempuan yang meninggal ketika sedang mengandung atau perempuan yang mati karena korban kejahatan sehingga mati membawa dendam.
Setelah menjadi hantu, si perempuan punya kekuatan untuk membalaskan dendamnya. Namun, di akhir cerita biasanya akan ada tokoh lelaki yang mengalahkan hantu tersebut, biasanya kiai, ustad, atau pria agamis lain. “Dalam film horor, perempuan ketika hidup menjadi korban. Ketika mati, dia punya kekuatan tapi harus dikalahkan. Akhirnya, back to order lagi, perempuan bagaimanapun harus ditundukkan. Di satu sisi, memperlihatkan bagaimana budaya patriarki memandang perempuan. Perempuan itu menakutkan kalau cantik sekaligus pintar, femme fatale,” ujar Dr. Suma Riella, dosen sastra Prancis Universitas Indonesia yang menulis disertasi “Kaidah, Makna Das Unheimliche, dan Konstruksi Nilai Kajian Genre Atas Empat Film Horor Rumah Angker Indonesia”.
Gambaran itu menjadi representasi visual kuntilanak di lebih dari 30 film horor yang diproduksi sejak 1960-an hingga 2017. Karena itulah sineas Rizal Mantovani berusaha mendobraknya. Lewat trilogi film kuntilanaknya yang dirpoduksi antara tahun 2006-2008, dia mencoba menampilkan wujud lain kuntilanak. Sosok kuntilanak dalam film Rizal tak mengenakan gaun putih panjang maupun berwajah cantik. “Dia (Rizal –red.) mencoba menawarkan versi baru kuntilanak tapi kan nggak laku, tidak ditiru. Yang terfiksasi dalam kepala masyarakat itu kuntilanak versi Suzanna, berbaju putih. Itu menurut saya dipengaruhi film-film. Jadi imajinasi kita pun terbentuk,” sambung Riella.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar