Tayub yang Dilarang Sultan
Aturan penyelenggaraan kesenian Tayub di Kesultanan Yogyakarta. Lengkap, hingga ke hukuman yang ditimpakan kepada pelanggar.
Guna mewujudkan rasa syukur dan menggali potensi budaya tradisional yang dimilikinya, masyarakat Dukuh Cempluk, Kelurahan Mangunan Kapanewon Dlingo, Bantul, Yogyakarta menggelar acara “Merti dusun” (bersih-bersih dusun) September lalu. Dalam acara ritual tiga tahun-an yang dihelat Jumat Kliwon itu, dipentaskan pula tari Tayub Bayar Danyang.
Ada tujuh penari –berbusana coklat muda dikombinasikan dengan kuning– yang membawakannya. Bersama-sama, mereka menari di panggung terbuka yang dibuat di batas tebing Watu Goyang, destinasi wisata yang ada di Dlingo.
“Ini perwujudan rasa syukur masyarakat setelah pandemi dan berbagai kendala namun masyarakat masih bisa tetap panen,” kata Lurah Mangunan Aris Purwanto, diberitakan yogya.inews.id, 16 September 2022.
Baca juga: Memaknai Ulang Tari Jawa
Kendati kian terpinggirkan, tayub, sebagaimana banyak seni tradisional lain, masih eksis di Yogyakarta. Kondisinya jelas berbeda dari masa lalu. Kisaran abad ke-19 hingga ke-20, pertunjukan tayub masih menjadi favorit masyarakat di Yogyakarta. Sebagai hiburan rakyat, tayub dapat ditemukan dengan mudah dari desa ke desa.
Lantaran hiburan ini melibatkan banyak orang, tentu amat rawan terjadi kekacauan. Oleh karena itulah Sultan Hamengkubuwono VI membuat peraturan khusus untuk pergelaran tayub. Menurut Serat Angger Pradata Awal hasil translitrasi Endah Susilantini, dkk., tidak seluruh masyarakat diizinkan mengadakan hiburan tayub.
“Orang yang diijinkan Sultan menyelenggarakan pergelaran tayub hanyalah rakyat kesultanan Yogyakarta yang berpangkat bupati dan sejenisnya,” demikian kata Serat Angger Pradata Awal.
Baca juga: Tari Gambyong dari Jalanan ke Istana Hingga Pernikahan Modern
Rakyat biasa diizinkan mengadakan pergelaran tayub namun hanya boleh pada siang. Keperluannya pun harus jelas, semisal untuk acara perkawinan anak, selamatan tujuh bulan kehamilan, khitanan, dan bagi orang yang memiliki nazar tertentu.
Apabila dalam pergelaran tayub terdapat selisih paham antar-orang hingga menyebabkan timbul korban luka atau bahkan mati, maka orang yang mengadakan pergelaran tayub wajib bertanggung jawab. Nantinya patih pejabat Kesultanan Yogyakarta bergelar Adipati Danureja yang akan menetapkan hukuman.
Ada ketentuan berbeda-beda terkait hukuman tersebut. Untuk rakyat kesultanan berpangkat Kliwon ke atas, hukumannya berupa denda sebesar 50 reyal. Rakyat yang berpangkat Mantri ke bawah, dendanya 25 reyal.
Baca juga: Tari Topeng Rasinah Melintasi Sejarah
Sementara, apabila pergelaran mengakibatkan korban luka atau jiwa, ada aturan lebih lanjut. Apabila ahli waris orang yang menjadi korban tidak terima, maka dapat melanjutkan gugatannya ke perdata. Nanti akan ada dua penanggung jawab dari kesultanan yang menanganai perihal ini. Kasusnya akan diperiksa terlebih dahulu oleh abdi dalem bergelar Tumenggung Nitipraja. Hasilnya kemudian diserahkan ke pemerintah. Hukuman yang sesuai akan ditetapkan oleh Adipati Danureja.
Hukuman bagi pelaku bisa berupa denda atau lecut (pecut, red.) dan pembuangan. Denda bagi pelaku yang melukai tergantung pada kebijakan dan kejadiannya. Akan tetapi jika pelaku tidak dapat membayar, maka di-lecut sebanyak 300 kali lalu dibuang ke luar wilayah kerajaan. Ini berbeda dengan pelaku pembunuhan.
“Orang yang membunuh diberi hukuman denda sebesar 500 reyal, jika tidak membayar denda, dilecut sebanyak 500 kali, lalu dibuang ke (hutan) Lodaya atau ke (hutan/pantai) Ayah,” kata Serat Angger Pradata Awal.
Baca juga: Memperingati Maestro Tari Topeng Mimi Rasinah
Sejak awal, sultan tidak mengizinkan pergelaran tayub dilakukan pada malam hari tanpa sebab. Apabila ketahuan melanggar peraturan tersebut, penyelenggara akan dikenakan denda sebesar 25 reyal. Kemudian jika terjadi pertengkaran, maka keluarga korban tidak dapat menuntut. Meskipun ahli warisnya tidak terima, gugatan mereka pasti ditolak Tumenggung Nitipraja.
Peraturan tersebut dilengkapi lagi dalam Serat Angger Pradata Akhir. Serat tersebut mengatakan agar tidak bergunjing bahkan sampai bertengkar jika ada orang meninggal saat pergelaran Tayub. Denda akan dilayangkan kepada siapapun yang memulai pertengkaran.
“Siapa yang memulai akan didenda sepantasnya, jika itu diulangi lagi dalam pertengkaran diumpamakan sebagai anjing yang sedang kawin”, kata Serat Angger Pradata Akhir.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar