Sukarno Sang Kolektor Lukisan
Sukarno mengumpulkan 16 ribu benda seni senilai dua triliun. Sekitar dua ribuan lukisan berasal dari 250 pelukis.
SEHARI setelah pengakuan kedaulatan, 28 Desember 1949 Sukarno beserta keluarganya tiba di Jakarta dari Yogyakarta. Dia langsung mendiami Istana Merdeka untuk pertama kalinya. Rakyat yang berkumpul di depan Istana Gambir mengelu-elukannya dengan pekik merdeka.
Melihat gelora sambutan rakyat, Bung Karno berpidato di depan Istana Gambir. Salah satu keputusannya adalah mengubah nama Istana Gambir menjadi Istana Merdeka dan Istana Rijswijk menjadi Istana Negara.
“Belanda tidak meninggalkan apapun. Hanya meninggalkan dinding kosong. Saat Sukarno pertama masuk istana, dia melihat kekosongan. Dia tidak punya uang untuk belanja mengisi istana,” kata Mikke Susanto dalam acara peluncuran bukunya, Sukarno's Favourite Painters di Gedung Masterpice, Tanah Abang IV, Jakarta Pusat.
Baca juga: Sukarno menjaga martabat para pelukis
Sukarno kemudian mengisi istana dengan barang-barang seni. Dia memindahkan semua koleksi lukisannya yang dipajang di rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56. Dia pun rajin mengunjungi rumah pelukis, sanggar-sanggar seni, dan komunitas-komunitas seni di seluruh Indonesia. Saat itu, Sukarno belum punya uang, tapi tak tega meminta gratisan lukisan dari para pelukis.
“Akhirnya Sukarno memberanikan diri ketika bertemu para pelukis akan membeli lukisannya, namun dengan cara mencicil. Dia paham bagaimana kesulitan pelukis sekadar membeli kanvas saat itu. Saat itu belum ada pasar, belum ada kriteria yang disebut sebagai maestro atau legenda. Jadi, antara Sukarno dan seniman berkembang bersama. Mereka dalam tahap mencetak sejarah,” papar kurator seni ini.
Baca juga: Koleksi seni yang dikumpulkan Sukarno menjadikan Istana sebagai ruang budaya
Perlahan, jumlah benda seni khususnya lukisan di istana bertambah. Mereka ditata sedemikian rupa di dinding-dinding semua istana kepresidenan.
Lukisan-lukisan itu kemudian diberi tanda di bagian belakang dengan tulisan seperti “milik Sukarno” atau “milik Ir. Sukarno” atau tanda tangan Sukarno saja. Ternyata, dalam memberi tanda ini, bukan dilakukan oleh Sukarno sendiri tapi dibantu sejumlah pelukis.
“Dengan memberi tanda ini, efeknya luar biasa. Koleksi ini bernilai tinggi karena tulisan ini juga. Selain lukisan yang bagus tentunya. Ya, karena dia presiden,” ujar Mikke.
Total Nilai
Sukarno gandrung dengan karya seni khususnya lukisan karena dia sendiri suka melukis. Dia melukis pertama kali saat kuliah di Technische Hoogeschool Bandoeng di bawah asuhan arsitek Belanda bernama Charles Prosper Wolff Schoemaker. Dia kembali melukis ketika diasingkan ke Ende, Flores.
“Ada lukisan dia, dari cat air, ukurannya kecil. Sukarno membeli bahan lukisan dari luar Ende. Meski dalam pengasingan, dia dapat gaji. Nah, dia titip dibelikan cat air dan kertas kepada orang-orang yang ke Surabaya, lewat kapal laut. Inilah salah satu yang membuat semangatnya tetap hidup meski terkena malaria,” ujar Mikke.
Awal pertemanan Sukarno dengan para pelukis dimulai pada 1930-an dan puncak masa panen koleksi antara 1945-1965. Pihak rumah tangga istana pernah menghitung nilai dari semua koleksi seni kepresidenan yang dikumpulkan Sukarno.
“Kami bersama pihak rumah tangga istana pernah menaksir nilai benda seni tersebut. Hasilnya adalah sebesar dua triliun untuk 16 ribu barang seni yang ada di istana,” ujar krititikus seni, Agus Dermawan T.
Baca juga: Koleksi seni Istana yang dikumpulkan Soekarno tak terpelihara era Orde Baru
Dari sekitar 16 ribu koleksi seni istana, Agus mendengar dari Guntur Sukarnoputra bahwa sekitar 2000-an lukisan milik Sukarno.
Mikke menyebut ada 250 pelukis yang lukisannya dikoleksi Sukarno. Angka itu didapat dari buku-buku koleksi Sukarno dan arsip yang ditulis oleh Gafur, sepupu pelukis Dullah yang turut bekerja di istana era Sukarno.
Pendataan koleksi seni kepresidenan dilakukan dengan penyusunan kitab koleksi seni Sukarno. Jilid I dan II dilakukan oleh pelukis Dullah tahun 1956, lalu jilid III dan IV dikerjakan pelukis Lee Man Fong pada 1959.
Keempat jilid itu, tulis Agus Dermawan T. dalam Bukit-Bukit Perhatian, diterbitkan oleh Pustaka Kesenian Rakyat di Tiongkok. Pada 1 Januari 1964, terbit buku selanjutnya yang berisi sama dengan keempat jilid sebelumnya ditambah satu jilid khusus gambar foto dan keramik.
“Namun, buku-buku itu tak lepas dari kesalahan juga, seperti yang ditemukan Pak Agus dan saya,” kata Mikke. “Jadi, jangan percaya 100 persen. Misalnya, salah nama, T. Ganani, ternyata Tatang Ganar. Lalu pelukis Fadjar Sidik, ditulis Djafar Sidik,” kata Mikke.
Baca juga: Lukisan Nyai Roro Kidul, koleksi Sukarno memakan korban
Selama tiga tahun penelitian untuk buku Sukarno's Favourite Painters, Mikke menemukan sejumlah koleksi Sukarno yang berada di luar istana.
“Lebih kurang dari yang temukan saat ini, 5-10 karya ada di luar istana. Istana juga tidak bisa mengklaimnya karena diberikan oleh Sukarno pribadi. Itu urusan lain di luar pendataan karya seni yang ada di dalam istana,” ujarnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar