Sukarno dalam Secangkir Kopi
Mengisahkan hidup Sukarno dari muda sampai Indonesia merdeka. Ada fakta sejarah yang salah.
Alunan mendayu lagu Terang Bulan dari piringan hitam meninabobokan Mr Sujudi (diperankan Budiman Sujatmiko), ketua Partai Nasional Indonesia cabang Jawa Tengah. Sesaat kemudian terdengar langkah kaki dan gedoran pintu. Sujudi masih terlelap sambil mendekap guling. Istrinya membangunkannya. Sujudi pontang-panting’ mematikan piringan hitam dan menyembunyikan buku-buku, salah satunya tentang marxisme.
Sejurus kemudian dia membuka pintu; seorang opsir Belanda mencari Sukarno –dalam otobiografinya, Sukarno menyebut Gatot Mangkupradja yang membuka pintu. Sujudi mengelak. Namun Sukarno (dilakonkan Ario Bayu) justru keluar dan ditangkap bersama Gatot Mangkupraja (dimainkan Agus Kuncoro). Mereka dijebloskan ke penjara Banceuy, Bandung. Penangkapan itu terjadi pada 29 Desember 1929 di Yogyakarta. Selama di penjara, istri Sukarno, Inggit Garnasih (diperankan Maudy Koesnaedi) kerap mengunjunginya.
Alur film kembali ke masa muda Sukarno: pergantian nama dari Kusno menjadi Sukarno karena sakit-sakitan, berpacaran dengan gadis Belanda, dan sekolah sambil mondok di rumah Tjokroaminoto, ketua Sarekat Islam, di Gang Peneleh Surabaya bersama dua kawannya yang kelak memilih jalan berbeda: Musso dan Kartosuwiryo.
Adegan masuk ke bagian Tjokroaminoto berpidato. Sukarno duduk di belakangnya. Pidatonya menggelegar dan membakar semangat Sukarno sehingga dia meremas-remas lutut dan mengepalkan tangan. Cerita lalu melompat ke pidato Sukarno sebagai ketua PNI yang membuatnya ditahan di Banceuy, Sukamiskin, Ende, lalu Bengkulu.
Di Bengkulu, dia menjadi guru sekolah Muhammadiyah dan bertemu gadis muda, Fatmawati (dimainkan Tika Bravani), yang kemudian dinikahinya setelah menceraikan Inggit. Porsi cerita hubungan Sukarno, Fatmawati, dan Inggit cukup panjang dan menarik. Sampai di sini, cerita terbangun dengan baik dan menarik; penonton terhibur dan sesekali tertawa.
[pages]
Kolaborasi dan Taucang
Masa pendudukan Jepang adalah masa kritis dalam kehidupan Sukarno. Di Padang, ketika Jepang datang, Sukarno bertemu dengan Sakaguchi (dilakonkan Ferry Salim) yang kejam. Sukarno bekerja sama, seperti menyediakan beras dan pekerja seks agar gadis-gadis tak diculik dan diperkosa. Kerjasama berlanjut ketika Sukarno menggerakkan massa untuk menjadi romusha. Pilihan bekerjasama membuatnya dicap sebagai kolaborator Jepang oleh para pemuda, yang dipimpin Sjahrir (diperankan Tanta Ginting).
Memang ada kesan bahwa film ini menonjolkan sosok Sjahrir, yang tak sudi berkolaborasi dengan Jepang dan terus menjadi oposisi Sukarno. Namun, rasanya, bagian ini tak lebih hanya menggambarkan bagaimana ketiga tokoh tersebut memilih jalan perjuangan: Sukarno-Hatta bekerjasama dengan Jepang dan Sjahrir bergerak di bawah tanah. Lebih dari itu, ketiganya saling menghargai. Ini terlihat pada adegan ketika Sjahrir mengakui: “Seorang, dua orang, bahkan tiga orang Sjahrir tidak akan cukup menggantikan mereka (Sukarno-Hatta).”
Yang perlu dikritisi justru sejumlah kesalahan fatal terkait detail-detail kecil dalam film ini. Misalnya, di awal pendudukan Jepang, ada satu adegan ketika Sukarno menyelamatkan seorang Tionghoa yang ditembak tentara Jepang. Tionghoa itu bertaucang (kuncir). Penggambaran Tionghoa bertaucang juga muncul ketika Sukarno, Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat menghadap Marsekal Terauchi pada 12 Agustus 1945 di Dalat Vietnam.
Taucang berawal ketika orang Manchu menjajah Tiongkok pada 1614. Kaisar pertama Dinasti Ching, Soen Ti, memaksa rakyat dan pejabat Tiongkok agar memakai taucang dan mengenakan pakaian yang kedua ujung tangannya seperti kaki kuda dan di bagian punggungnya disulam gambar pelana kuda. Sehingga ketika berlutut kelihatan seperti kuda lengkap dengan taucang yang berjuntai mirip ekor kuda.
“Taucang sebenarnya suatu penghinaan besar bagi bangsa Tionghoa,” tulis Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik.
Sejak Sun Yat Sen dengan Partai Tung Meng Hui yang didirikannya melancarkan revolusi menggulingkan Dinasti Ching dan berhasil mendirikan Republik Tiongkok pada 1911, orang-orang Tionghoa beramai-ramai memotong taucang mereka. Dengan demikian, tentu saja pada 1940-an, ketika Jepang masuk Indonesia, sudah tak ada lagi orang Tionghoa bertaucang.
[pages]
Pengalihan Peran
Ketika Jepang di ujung tanduk dalam Perang Pasifik, Sukarno-Hatta didesak para pemuda agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Di sini, kesalahan kembali muncul, mungkin demi dramatisasi cerita atau pengalihan peran seperti adegan Sujudi membuka pintu. Seorang oemuda menghunuskan parang ke arah Sukarno sementara Wikana, pemimpin pemuda, hanya duduk. Ini berbeda dari penuturan Sukarno dan Hatta dalam otobiografi yang menyebut Wikana-lah yang menghunuskan pisau ke arah Sukarno.
Karena menolak desak pemuda, Sukarno-Hata lalu “diculik” ke Rengasdengklok, meski akhirnya dijemput kembali ke Jakarta oleh Ahmad Subardjo. Meski dilarang Jenderal Nishimura, direktur departemen umum Jepang, karena Jepang harus tunduk pada perintah Sekutu untuk menjaga status quo, Sukarno-Hatta berkeras akan memproklamasikan kemerdekaan. Perumusan naskah proklamasi berlangsung di rumah Laksamana Maeda, yang bersimpati kepada Indonesia. Peran pejabat Jepang yang mendukung dan tidak proklamasi kemerdekaan sudah sesuai sejarah meski ada adegan yang berlebihan yaitu Hatta ditodong samurai oleh Nishimura.
Suasana sidang BPUPKI juga janggal. Seorang wakil golongan Islam berpidato keras menuntut Islam sebagai dasar negara. Mereka juga ditampilkan dalam pakaian gamis dan memakai sorban. Jika perhatikan foto sidang BPUPKI, tak ada yang berkostum demikian, yang ada peci atau blangkon.
Selain beberapa adegan di atas, film ini memuat terlalu banyak footage sejarah. Misalnya, suasana awal pendudukan Jepang dan keadaan di Batavia. Footage ini justru menganggu suasana dan imajinasi penonton yang sudah terbangun apik. Selain itu, banyaknya footage juga membuat film ini seperti dokumenter.
Film ini menampilkan kisah hidup Sukarno dari masa muda sampai Indonesia merdeka. Karena terjebak pada kronologis, hanya sekali flashback, penulis skenario terkesan kerepotan memilih peristiwa mana dari hidup Sukarno yang penting dan menarik untuk disajikan.
Satu hal lagi yang mengganjal, mengapa sering sekali adegan mengopi, bahkan ketika Sukarno, Hatta, dan Ahmad Subardjo menyusun naskah proklamasi? Padahal dalam diorama di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, tak ada cangkir kopi hadapan mereka. Mungkinkah karena sponsor film ini produsen kopi?
Film ini adalah karya kesekian Hanung Bramantryo yang bertemakan sejarah. Sebelumnya dia sudah menggarap Sang Pencerah (2010) tentang sosok pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan dan Gending Sriwijaya (2013). Namun kali ini Hanung diuji bukan hanya dari isi filmnya tapi juga penolakan dari anggota keluarga Sukarno dan organisasi masyarakat.
Membicarakan Sukarno memang tak cukup hanya dengan secangkir kopi.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar