Remy Sylado dan KNIL
Remy Sylado menulis lagu, puisi, novel, hingga teater. Penulis serba bisa ini dikenal dengan beberapa roman sejarah di antaranya menceritakan riwayat keluarganya.
Pada abad-abad yang lalu, dari tanah Minahasa, pemuda bernama Jahezkiel alias Jez naik kapal ke Jawa. Ia hendak ke Magelang. Sebuah kota yang sedari dulu hingga sekarang tergolong kota tangsi. Sebelum Tentara Nasional Indonesia (TNI), dulunya tentara kolonial Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL) juga bercokol di sana. Jez baru saja teekensoldij (mendaftar masuk) tentara.
Jez punya mimpi seperti sebagian pemuda Ambon, Manado, dan Bagelen, yaitu menjadi serdadu kompeni, sebutan untuk KNIL. Ia tidak main-main. Ia tidak ingin sekadar jadi anggota KNIL biasa. Ia ingin menjadi anggota Korps Marechaussee te Voet (Marsose Jalan Kaki), satuan antigerilya dalam KNIL yang lahir di masa Perang Aceh.
Pada akhirnya, Jez menjalani masa pelatihan Marsose. Ia punya kawan sesama serdadu di dalam barak. Di luar barak, ia jatuh cinta dan mengawini seorang perempuan Jawa. Sebagai Marsose, Jez dikirim ke Aceh untuk memerangi orang Aceh. Setelah sempat ditawan di sana, ia akhirnya kembali ke Magelang dan bertemu lagi dengan perempuan yang dicintainya.
Begitulah sinopsis novel Malaikat Lereng Tidar (2014) karya Remy Sylado, nama sohor dari Yapi Tambayong. Jahezkiel bukan hanya nama karakter dalam novel itu. Di dunia nyata, Jahezkiel adalah nama kakeknya, Jahezkiel Tambayong, seorang pemerhati kitab amsal.
“Tumben, kakek saya adalah anggota KNIL yang biasanya hanya bisa menembak, dan seperti semua tentara Belanda, ia pun belajar menembak di Gunung Tidar, Magelang. Kakek saya ini rupanya pemerhati amsal,” catat Remy Sylado dalam Perempuan Bernama Arjuna 5 Minasanologi dalam Fiksi. Tak semua orang Indonesia yang kakeknya pernah menjadi serdadu KNIL mau mengakui keadaan itu. Remy termasuk yang berani mengakuinya.
Baca juga tulisan Remy Sylado:
Jahezkiel Tambayong punya anak yang menjadi pendeta, Johannes Hendrik Tambayong. Inilah ayah Remy yang hidup hingga zaman pendudukan Jepang. Ayahnya adalah satu dari sekian banyak orang Minahasa yang apes di zaman Jepang. Tentara Jepang sangat curiga terhadap orang Minahasa karena dianggap dekat dengan Belanda. Apalagi Hendrik anak serdadu KNIL.
Johannes Hendrik Tambayong pernah tinggal di Malino, sebuah distrik sejuk di luar kota Makassar, Sulawesi Selatan. Jauh dari tanah Minahasa. Beberapa gua perlindungan tentara Jepang terdapat di kota kecil itu. Tentara Jepang di Malino menuduh Hendrik memberikan tanda lampu kepada pesawat Sekutu yang melintasi Malino. Hendrik digebuki habis-habisan hingga bongkok.
Baca juga tulisan Remy Sylado:
Setelah kematian Hendrik, Juliana Caterina Panda menjanda. Kala itu, Remy yang lahir pada 12 Juli 1945 belum berusia setahun. Anak-anak Hendrik dan Juliana lalu dibesarkan di Jawa. Remy, si anak bungsu, sejak sekolah tidak hanya menyukai seni, tapi juga memperlihatkan bakat menulisnya sejak di SMP Domenico Savio, Semarang. Karangannya mendapat pujian di kelas.
“Tulisanku dijadikan contoh di kelas. Tapi waktu itu saya belum tahu arep dadi opo (mau jadi apa). Sama sekali ndak ngerti. Waktu masuk Akademi Teater di Solo, saya belajar sedikit tentang sastra. Belajar tentang teater Yunani, terus bikin naskah drama,” kata Remy Sylado dalam Kompas (22/07/2012).
Di masa sekolahnya itu, Remy remaja mengenal musik ngak ngik ngok dari The Beatles. Yapi Tambayong lalu menjadikan sebagian kord lagu I Love Her, 2-3-7-6-1, sebagai nama penanya: Remy Sylado.
Baca juga tulisan Remy Sylado:
Menurut Ensiklopedi Musik: M-Z, Remy Sylado ketika berusia sekitar 18 tahun di tahun 1963 telah mampu membuat opera dengan judul Origo Mali, yang pertama kali dipentaskan di Bandung.
Dunia tulis-menulis lalu menjadi bagian hidupnya. Sejak muda, dari tahun 1963, Remy sudah jadi wartawan Sinar Harapan. Selain di Sinar Harapan, ia sempat menjadi wartawan Tempo, Jayagiri, Top, dan Aktuil. Ia menjadi pengasuh rubrik di Aktuil, majalah musik yang cukup berpengaruh di era 1970-an.
Di majalah Aktuil, Remy merilis cerita bersambungnya yang fenomenal, Orexas, singkatan dari Organisasi Sex Bebas. Tak hanya cerita bersambung, puisi-puisinya yang tidak biasa pun cukup dikenal. Remy pun dianggap sebagai pelopor dari Sastra mBeling sejak 1971.
Tak hanya jadi buku, Orexas kemudian menjadi album yang menarik didengar dengan judul Orexas yang dirilis pada akhir era 1970-an. Ensiklopedi Musik: A-L menyebut Duba Record yang merekam album itu pernah diancam akan ditutup karena merekam Orexas.
Baca juga tulisan Remy Sylado:
Album Orexas tentu saja dicap kurang ajar oleh orang-orang tua di masa itu. Orexas bicara soal kemunafikan generasi tua yang membuat generasi muda frustrasi. Di album itu, Remy tak hanya sebagai penulis lagu, tapi juga ikut bernyanyi.
Remy Sylado adalah tipe penulis yang suka melakukan pencarian. Termasuk dalam urusan agama. Ia berasal dari keluarga Kristen seperti kebanyakan orang Manado. Ia juga pernah mendalami Islam. Bagi Remy, kerja menulis adalah karunia ilahi, bukan kutukan dewata.
Remy Sylado dikenal sebagai penulis produktif. Selama hidupnya, ia menulis puisi, lagu, cerita bersambung, naskah teater, dan novel atau roman sejarah. Tak hanya Malaikat Lereng Tidar, roman sejarahnya yang berjudul Ca Bau Kan bahkan dijadikan film oleh Nia Dinata pada 2002 dengan judul sama.
Baca juga tulisan Remy Silado:
Indonees Indonees bukan Indonesia Raya
Novel itu mengisahkan sosok perempuan malang bernama Tinung. Roman sejarah ini menyinggung prostitusi abad silam di sekitar Kalijodo. Tinung dalam novel ini diceritakan melalui masa-masa sulit dunia para nyai orang tajir Tionghoa era Hindia Belanda dan Jugun Ianfu era pendudukan Jepang.
Roman sejarah karya Remy Sylado yang lain adalah Namaku Mata Hari yang bercerita tentang mata-mata Belanda yang pernah tinggal di Hindia Belanda. Alur kisah novel ini berdasarkan sosok nyata, Margaretha Geertruida Zelle yang dieksekusi tentara Prancis pada masa Perang Dunia I. Mulanya novel ini cerita bersambung di koran Kompas.
Remy Sylado yang kerap riset sejarah untuk romannya tentu dekat dengan sejarah. Mengenai sejarah, Remy dalam lagu Mabuk Pu Tao menyebut bahwa “sejarah itu cuma selera, yang kuat itu yang menang…”
Remy Sylado meninggal dunia pada 12 Desember 2022. Ia meninggalkan karya luar biasa yang akan terus dibaca.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar