Ramalan-ramalan Tjokrokario
Akan ada Ratu Adil di Jawa pada 1930, begitu kata seorang lurah kaya dari Bantul.
SEABAD silam, Tjokrokario adalah seorang lurah di Kirobayan, Kecamatan Kretek, Bantul, Yogyakarta. Daerah ini tidak jauh dari muara Kali Opak di pantai selatan Yogyakarta. Kendati lurah merupakan jabatan resminya, tiap malam Jumat Tjokrokario menjadi guru kebatinan.
Tjokrokario akhirnya meresahkan pemerintah kolonial. Algemeene Handelsblad tanggal 28 Juli 1928 menyebut, mula-mula pemerintah dapat laporan dari Kulonprogo bagian selatan bahwa tiap malam Jumat banyak orang menyeberangi sungai dan baru kembali ketika subuh. Setelah aparat mengadakan penyelidikan, ternyata mereka mendatangi Tjokrokario yang sedang menjalankan praktek ilmu kebatinannya.
Bagi bupati Bantul atau asisten wedana yang –orang Jawa– membawahi Kirobayan, kegiatan Tjokrokario itu sama sekali tidak menggangu. Aktivitas spritual seperti itu merupakan bagian dari kehidupan orang Jawa. Maka tak ada langkah apapun yang mereka ambil untuk kegiatan Tjokrokario.
Namun, tidak demikian dengan para pejabat Eropa. Aktivitas Tjokrokario itu bagi mereka merupakan masalah. Masalah Tjokrokario menurut mereka sangat terlambat disadari oleh pejabat-pejabat Jawa, termasuk bupati Bantul sendiri. Menurut orang Eropa, para pejabat Jawa tidak dengan segera berani menindak gerakan semacam gerakan Tjokrokario itu.
Adanya kehendak dari atasan (pejabat Eropa) itu, kendati tidak disukainya, membuat bupati Bantul terpaksa bergerak. Koordinasi dilakukannya dengan kepolisian setempat, namun asisten wedana di Kretek selaku pemilik wilayah justru tidak diajak bertindak.
Koran Bataviaasche Nieuwsblad edisi 22 Juni 1928 memberitakan bahwa pada hari Jumat, 20 Juni 1928, kepala Reserse Politik Collette memimpin 50 anggotanya melakukan penggerebekan terhadap Tjokrokario. Dalam penggerebekan itu, 58 orang ditahan: 15 orang di antaranya perempuan, 10 orang asal Magelang, 7 orang Adikarto (Kulonprogo), dan 10 orang Salatiga. Tjokrokario punya pengikut setia yang menjadi agen bagi pengikut lain di Yogyakarta, Salatiga, dan Magelang. Polisi juga menyita 20 keris, 10 belati, dan 2 beliung.
Penggerebakan itu dilakukan setelah Tjokrokario membuat sebuah ramalan. Kata Tjokrokario, sejak 19 Juni akan terjadi peperangan dan penyakit di daerah itu. Ramalan lain Tjokrokario mengatakan, pada tahun 1930 akan muncul penguasa baru alias Ratu Adil di Jawa.
“Tentu saja, ramalan ini diikuti oleh ramalan bahwa siapa pun yang berhasil memperoleh jimat ilmu –yang disediakan lurah!– akan terhindar dari penyakit dan pukulan tersebut,” kata Bataviaasch Nieuwsblad.
Banyak orang percaya pada ramalannya. Di antara orang-orang yang percaya kepada Tjokrokario itu kemudian membeli jimat, yang merupakan dagangan Tjokrokario selain ilmu kebatinan. Ada donasi yang harus dibayar untuk ilmu Tjokrokario itu. Besarannya sekitar 25 uang koin besar atau kecil dalam satuan mata uang gulden. Tjokrokario juga berencana memberikan keris kayu kepada pengikutnya.
Setelah penyelidikan, polisi menyimpulkan bahwa Tjokrokario mengambil ramalannya dari buku misteri Djojobojo. Tokoh dari Kediri itu memang dikenal sebagai peramal dan pernah meramalkan akan datangnya pemimpin baru di Jawa. Polisi juga menemukan bahwa sebagai lurah Tjokrokario punya kekayaan tidak wajar. Tjokrokario punya mobil Oakland dan mampu membayar sopir. Polisi mencurigai itu didapatnya sebagai guru ratu adil. Sebab, di antara pengikutnya yang cukup banyak itu ada yang kaya dan rela menyumbang atau membelanjakan uang mereka untuk jimat ataupun ilmu kebatinan dari Tjokrokario.
Ramalan Tjokrokario tentang perang dan penyakit, faktanya meleset jauh. Bukan wabah penyakit yang jadi bahaya besar di Jawa dan terkhusus Bantul pada era itu, namun efek daripada Malaise atau Depresi Ekonomi Dunia sejak 1929 yang menyulitkan banyak orang. Soal perang, Perang Dunia II baru terjadi di bulan September 1939 dengan awal dari Polandia lalu menyebar ke Eropa dan di Asia perang dimulai sejak Desember 1941. Bantul sendiri kena dampak setelah Jepang menduduki daerah itu. Bahaya kelaparan muncul di masa ini.
Ramalan Tjokrokario tentang pemimpin baru di Jawa juga meleset. Pemimpin baru di Jawa tidak muncul di tahun 1930. Penguasa Kadipaten Pakualaman, yang menguasai sekitar Kulonprogo, baru berganti pada 1937 dengan naiknya Sri Paku Alam VIII dan penguasa Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat baru berganti setelah 1939 dengan naiknya Sultan Hamegkubuwono IX. Keduanya juga tidak mendaku diri sebagai ratu adil dan kenaikannya tidak mengejutkan banyak orang.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar