Rabeg, Santapan Sang Raja
Diciptakan untuk memenuhi kerinduan seorang sultan Banten kala mengunjungi tanah Arab.
SETIAP mengunjungi kota Serang, Toni selalu menyempatkan diri singgah ke restoran milik Haji Naswi di seberang Rutan (Rumah Tahanan) Serang. Di sana ada satu menu yang selalu dia incar yakni rabeg, makanan yang sulit didapatkan di luar Banten. “Sejak kali pertama mencicipinya pada 2003, saya jadi tergila-gila pada makanan ini,” ujar jurnalis lepas asal Jakarta itu.
Rabeg memang makanan asli Banten. Berbahan dasar daging sapi atau kambing, rupanya nyaris sama seperti semur. Selain rasa manis yang berasal dari kecap, cita rasa rabeg juga diperkaya dengan berbagai bumbu dasar seperti bawang merah, bawang putih dan lada.
Ada rasa pedas juga di dalam rabeg. Itu berasal dari campuran rempah-rempah seperti biji pala, jahe, lengkuas, cabe rawit dan kayu manis. Dipercaya semua campuran bumbu tersebut merupakan obat untuk menghangatkan tubuh sekaligus penetralisir kandungan lemak yang dibawa oleh daging sapi maupun kambing.
Pembuatannya Mudah
Kendati rasanya sangat enak dan khas, pembuatan rabeg bisa dibilang tidak terlalu susah. Terlebih bagi siapa pun yang terbiasa mengolah makanan. Sebagai catatan, bahan dasar yang sebenarnya paling pas adalah daging kambing. Namun jika anda tidak menyukai daging kambing maka bisa diganti dengan daging sapi.
Cara pembuatannya, kali pertama tentu saja anda harus memilih daging terbaik sebagai bahan utama. Setelah direbus, daging dicincang dalam potongan kecil-kecil lantas dimasukan ke dalam tumisan bumbu yang sudah dihaluskan. Tambahkan kaldu, bekas rebusan daging ke dalam tumisan daging. Biarkan hingga air rebusan menjadi kental dan menyatu dengan potongan daging.
Guna mengantisipasi bau khas daging (terutama daging kambing) yang kadang terasa anyir, maka daun salam dan bunga lawang yang beraroma harum bisa dijadikan “penutup” bau tersebut.
Baca juga: Kuliner Tiga Dunia
Makanan Sultan
Tidak banyak penyuka rabeg tahu bahwa makanan tersebut memiliki sejarah yang panjang. Menurut Gagas Ulung dan Deerona dalam Jejak Kuliner Arab di Pulau Jawa, sesungguhnya rabeg tidak akan pernah ada di Banten andaikan salah seorang raja di Kesultanan Banten tidak melakukan muhibah ke tanah Arab.
Tersebutlah Sultnan Maulana Hasanuddin alias Pangeran Sabakinking (1552-1570) yang tengah menunaikan ibadah haji ke Mekah. Setelah berbulan-bulan berlayar dari Nusantara maka sampailah sultan dan rombongannya ke suatu pelabuhan bernama Rabigh (terletak di tepi Laut Merah).
Rabigh adalah sebuah kota kuno yang sebelumnya bernama Al Juhfah dan saat ini masuk dalam wilayah Jeddah, Arab Saudi. Pada awal abad ke-17, sebuah tsunami besar menghancurkan kota tersebut. Namun beberapa waktu setelah kejadian itu, Al Juhfah dibangun kembali dan malah menjadi sebuah kota yang sangat indah.
Sultan Maulana Hasanuddin sangat kagum dengan keindahan kota Rabigh. Dia pun kerap menghabiskan waktu untuk berkeliling kota tersebut. Saat menikmati suasana kota Rabigh, Sultan Maulana Hasanuddin sempat mencicipi satu makanan yang bahan dasarnya terbuat dari daging kambing. Dia ternyata berkenan dengan kuliner khas Rabigh itu.
Singkat cerita, Sultan Maulana Hasanuddin pun selesai menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air. Namun kenangan akan Rabigh tidak pernah hilang dari benaknya, terutama kelezatan olahan daging kambingnya. Untuk mengobati kerinduannya, maka dia memerintahkan juru masak istana untuk membuat masakan yang serupa dengan santapan yang dia nikmati saat di Rabigh.
Merasa kesulitan dengan permintaan itu, maka sang juru masak menciptakan resep sendiri yang didasarkan pada makanan-makanan khas tanah Arab. Kendati tidak sama persis dengan masakan khas Rabigh, saat dihidangkan Sultan Maulana Hasanuddin menyukainya.
“Sejak itulah, makanan yang terinspirasi dari negeri Arab itu, menjadi menu wajib di Istana Kesultanan Banten,” ujar Gagas Ulung dan Deerona.
Kalangan istana lalu menamakan makanan eksklusif santapan raja tersebut sebagai rabigh. Seiring waktu, resep rabigh bocor ke khalayak kemudian menyebar ke seluruh Banten. Hingga akhirnya kata “rabigh” berubah menjadi “rabeg”, yang kerap dinikmati Toni setiap singgah di kota Serang.
Baca juga: Hilangnya Martabak India Asli
Tambahkan komentar
Belum ada komentar