Putih Jelita Era Belanda
Kulit putih ala perempuan Eropa, bukan kulit terang, merupakan identifikasi kecantikan semasa kolonial Belanda.
KEMOLEKAN wajah aktris Hollywood Jean Arthur menghiasi salahsatu halaman Majalah Pandji Poestaka tahun 1940. Jean tak sedang menjadi pemberitaan tapi menjadi model iklan salahsatu produk sabun mandi.
Kulit putih Jean merupakan daya tarik luar biasa. Hal itu yang dijadikan dagangan oleh produsen sebagaimana dimuat teks di iklan, produk tersebut bisa menghaluskan kulit. Untuk memperkuat brand, produsen mengklaim produknya dipakai sembilan dari 10 bintang film dunia. Tentu saja, sembilan bintang film itu dari ras Kaukasia.
Di tahun 1900-an, hanya perempuan-perempuan Eropa yang bisa tampil di media massa sebagai model iklan. Berbagai media yang memampang iklan produk-produk kecantikan selalu menampilkan perempuan Eropa meski iklan-iklan itu menggunakan bahasa Melayu. Selain iklan yang dibintangi Jean tadi, ada iklan dari produk pesaing yang dimuat Bintang Hindia pada 1928. Teks iklan itu menyebut produknya bisa membuat wajah bercahaya dan bersih. Selain mempromosikan produknya, iklan itu mengkampanyekan bahwa perempuan cantik adalah perempuan yang mirip model iklannya.
“Jadi dari zaman Belanda sudah ada produk dan wacana kecantikan. Tiap zaman itu membawa gagasan yang berbeda dan produk yang berbeda,” kata Luh Ayu Saraswati, dosen Kajian Perempuan Universitas Hawaii.
Gagasan tentang perempuan Kaukasia lebih cantik dibanding ras lain sejalan dengan watak rasis kolonialis Inggris dan Belanda. Keduanya mengaggap orang kulit putih lebih superior sehingga konsep kecantikan ideal pun diwakili perempuan Eropa.
Hannah Aidinal Al Rashid menulis dalam disertasinya, “Putih Cantik: Persepsi Kecantikan dan Obsesi Orang Indonesia untuk Memiliki Kulit Putih”, superioritas itu berpengaruh besar pada persepsi kecantikan orang Indonesia. Pada masa kolonial, perempuan Kaukasia berkulit teranglah yang dianggap sebagai simbol kecantikan. Belanda juga berpendapat bahwa orang kulit putih adalah ras yang lebih berkuasa, dan orang pribumi dengan kulitnya lebih gelap statusnya lebih rendah.
“Kolonialisasi juga masuk di ruang afek, masuk ke ranah emosi. Jadi kita selalu melihat perempuan dan laki-laki yang berkulit terang (putih) berarti mereka superior. Itu sebenarnya sesuatu yang dikampanyekan, bukan secara alamiah atau naluri orang kulit putih lebih pintar atau superior,” kata Luh Ayu.
Semakin banyak perempuan Eropa yang datang ke negeri jajahan pasca-dibukanya Terusan Suez makin mendukung wacana kecantikan Kaukasia. Hal itu makin diperkuat dengan pelaksanaan Politik Etis, yang memungkinkan kalangan terpandang, termasuk perempuan, mengenyam pendidikan. Beberapa perempuan yang sudah bisa baca-tulis itu mengoleksi majalah perempuan.
Tanpa mereka sadari, majalah perempuan menjadi agen yang membentuk persepsi mereka akan kecantikan. Berbagai iklan produk kecantikan dengan pesan putih sebagai warna kulit dambaan terus mengisi memori mereka, yang kemudian ikut menyebarluaskan kepada lingkungan sekitar.
Alhasil, cantik yang melekat di memori masyarakat adalah yang berkulit putih ala perempuan Eropa (ras). Itu berbeda dari konsep cantik masa prakolonial, di mana putih berarti kulit terang, tidak melekat pada ras Kaukasia.
“Sebenarnya pemutih itu mulanya buat orang-orang Kaukasia di masa kolonial. Kalau di Amerika, pemutih kulit itu dulu dilarang banget buat budak. Mereka nggak mau para budak memutihkan kulit mereka,” kata Ayu.
Di masa tersebut, terang Ayu, sudah ada persaingan wacana kecantikan perempuan. Namun, perempuan Kaukasialah yang dijadikan simbol cantik idaman karena mereka sedang memantapkan dominasi di bidang politik, ekonomi, dan budaya. “Ketika zaman Belanda, masuk gagasan kecantikan bahwa perempuan Kaukasia yang kulitnya putih, dia yang lebih cantik,” kata Ayu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar