Prabowo Berenang di Manggarai
"Verboden voor honden en inlander", kalimat rasis yang menghina bangsa Indonesia. Tulisan itu membuat orang Indonesia tak bisa berenang di Manggarai.
WAKTU dilantik menjadi presiden Republik Indonesia kemarin, dalam pidatonya Prabowo Subianto Djojohadikusumo menyinggung soal rasialisme. Lulusan The American School London ini jelas tahu apa itu rasialisme, bahkan dalam praktiknya yang terjadi di zaman sebelum dia lahir.
“Kita anti-rasialisme, anti-apartheid (pemisahan ras) karena kita pernah mengalami waktu kita dijajah. Kita bahkan digolongkan lebih rendah dari anjing, banyak prasasti dan marmer papan-papan di mana disebut verboden voor honden en inlander,” kata Prabowo.
Verboden voor honden en inlander merupakan kalimat berbahasa Belanda yang artinya Dilarang masuk buat pribumi dan anjing. Tempat dengan tulisan tesebut itu tidaklah diperuntukkan bagi orang-orang dengan status inlander, yang sering diartikan sebagai pribumi. Tulisan di yang biasanya dipasang di tempat umum itu di antaranya terpampang pada kolam renang. Salah satunya kolam renang yang dikunjungi Prabowo dan bawahannya di Kompi Grup Para Komando tahun 1978, yakni kolam renang Manggarai.
“Di dinding beton kolam renang tersebut terdapat sebuah prasasti dari marmer yang dipahat. Namun waktu itu prasasti tersebut sudah tertutup lumut hijau. Rasa keingintahuan saya muncul untuk mengetahuinya. Lalu saya memerintahkan anak buah saya untuk membersihkan lumut tersebut. Saya kaget membaca kata-kata dalam bahsa Belanda di prasasti itu, verboden voor honden en inlander,” kenang Prabowo dalam buku tebalnya, Kepemimpinan Militer: Catatan Dari Pengalaman.
Prasasti bernafaskan kolonial itu tentu menjadi penanda bahwa kolam renang Manggarai sudah ada sejak zaman Hindia Belanda. Koran Bataviaasch Nieuwsblad tanggal 3 Maret 1934 mengumumkan bahwa kolam renang Manggarai dibuka pada Sabtu, 3 Maret 1934, pukul tujuh malam. Kala itu kolam Manggarai yang bisa dikontak di nomor telepon 428 letak administratifnya berada di Meester Cornelis.
Kolam renang yang dekat dari Stasiun Manggarai itu bagian dari fasilitas warga yang menghuni real estate tertua di Jakarta dan Hindia Belanda, Menteng. Di situlah kebanyakan orang-orang Belanda kaya tinggal. Mereka adalah konsumen penting kolam Manggarai. Selain itu, keluarga tentara di Berlan dan Jatinegara juga bisa kemari untuk berenang.
Kompetisi atau latihan, bahkan sekadar menghibur diri acap dilakukan banyak orang di kolam Manggarai. Tak mengheran pula jika pejabat mengunjungi kolam renang umum ini.
Orang Betawi, kata Alwi Shihab dalam Betawi Queen of the East, suka melafalkan kolam renang ini sebagai Swembad. Kebanyakan orang Betawi yang tinggal di kampung-kampung pada zaman Hindia Belanda jelas tak diperbolehkan berenang di kolam renang Manggarai.
Jika sebelum 1942 orang pribumi dilarang masuk ke kolam itu, cerita tentang praktik rasialisme itu berakhir pada masa pendudukan Jepang. Sebagai penguasa yang berupaya keras mengambil hati rakyat Indonesia, militer Jepang mengizinkan fasilitas-fasilitas umum digunakan oleh warga.
“Pada zaman pendudukan Jepang tahun 1943-1946, orang-orang Indonesia mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk bisa belajar renang. Hal ini disebabkan seluruh kolam renang itu dapat digunakan untuk masyarakat umum,” tulis Sandra Arhesa dalam Buku Jago Renang.
Maka, setelah 1945 bocah-bocah pribumi sekitar bisa merasakan renang atau sekadar main air di kolam renang Manggarai meskipun praktik itu baru bisa terwujud setelah pengakuan kedaulatan. Firman Lubis, akademisi Universitas Indonesia, salah satunya. Dia, yang punya kawan berayahkan seorang pelatih olahraga tentara dan sering melatih renang di Manggarai, bisa masuk dan berenang dengan gembira di kolam renang Manggarai.
“Waktu itu kami sering menyebutnya Zwembad, kolam renang dalam bahasa Belanda-yang terletak di ujung Jalan Sultan Agung, sekarang sudah dibongkar dan menjadi Pasaraya Manggarai,” catat Firman Lubis dalam Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja.
Saking ramainya kolam renang Manggarai, banyak kenangan pun muncul dari sana. Kenangan manis maupun pahit. Bagi mantan Perdana Menteri Moh. Natsir, rekan Sumitro Djojohadikusumu ayah Prabowo, kolam renang Manggarai merupakan kenangan pahit. Kejadiannya sewaktu Natsir sebagai perdana menteri tinggal di rumah dinas, Jalan Pegangsaan Timur, yang tak jauh dari Manggarai.
“Saat tinggal di rumah dinas itulah anak kedua Natsir, Abu Hanifah (Hanif) yang baru berusia 13 tahun meninggal dunia pada tanggal 7 Januari 1951, karena tenggealm di kolam renang Manggarai,” tulis Lukman Hakiem dalam Biografi Mohammad Natsir.
Cerita kolam renang berbau kolonial berakhir hampir bersamaan dengan saat Prabowo mulai menjadi menantu Presiden Soeharto, pada 1983. Kolam renang Manggarai hanya bertahan setengah abad setelah dibongkar pemerintah kota. Bekas kolam ini lalu dijadikan pusat perbelanjaan mewah –milik bekas Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief– yang kini sepi pengunjung.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar