Pesan Toleransi dari Muarajambi
Selain menyajikan kemegahan peradaban masa lalu, film dokumenter ini juga berpesan tentang kerukunan umat beragama di Muarajambi.
Junus Satrio Atmodjo baru berusia 28 tahun ketika menjadi arkeolog yang merintis penelitian ke situs percandian Muarajambi pada 1985. Waktu itu, situs Muarajambi masih tertutup hutan belukar. Setelah menyeberangi Sungai Batanghari, Junus harus menebangi ribuan pohon untuk memasuki kawasan percandian.
Di Muarajambi, Junus bertemu dengan empat bocah: Ahock, Brata, Borju, dan Aina. Mereka tinggal di sekitaran Muarajambi. Konon katanya, lelulur anak-anak tersebut diasingkan ke Muarajambi karena menderita kusta. Orang setempat menyebutnya penyakit jahat.
Anak-anak “nakal” ini suka membuntuti Junus ke manapun pergi. Mereka memanggil Junus dengan panggilan akrab: Pak Oteng. Ahock si paling jahil pernah mengketapel kantor tempat Pak Oteng bekerja. Sementara itu, Aina si gadis tomboy yang punya keahlian memanjat pohon, suka membagikan buah duku hasil panjatannya kepada Pak Oteng.
Baca juga: Temuan Baru di Situs Muarajambi
Namun, di samping keusilannya, mereka suka bertanya apa saja kepada Pak Oteng tentang candi Muarajambi. Anak-anak ini suka menggelar tikar untuk mendengarkan cerita penelitian Pak Oteng. Situs Muarajambi yang tadinya seperti bangunan misteri bagi anak-anak ini, telah menjadi harta karun pengetahuan setelah mengenal Pak Oteng.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Ahock, Borju, Brata, dan Aina terus memupuk pengetahuan serta kecintaan mereka terhadap Muarajambi. Ketika dewasa, mereka merawat dan mengembangkan situs Muarajambi dengan jalan masing-masing.
Ahock menjadi pegiat sejarah dan budaya. Borju menjadi guru. Brata menjadi pengusaha kopi. Dan Aina, menjadi pengemudi becak motor yang setia mengantarkan wisatawan pengunjung situs Muarajambi. Inilah sekilas fragmen yang dihadirkan dalam film dokumenter Unearthing Muarajambi Temples besutan sutradara Nia Dinata.
Jejak arkeologis dan sejarah situs percandian Muarajambi jelas mengambil tempat utama dalam film dokumenter ini. Di masa kejayaannya yang terentang dari abad ke-7 hingga ke-13, situs percandian Muarajambi menjadi mahavihara atau pusat studi agama Buddha. Dari Muarajambi, agama Buddha bertumbuh pesat di Sumatra hingga menyebar ke seluruh Nusantara. Terdiri dari sembilan candi, kompleks percandian Muarajambi merupakan situs percandian Hindu-Buddha terluas di Asia Tenggara. Diperkirakan masih banyak lagi bangunan candi yang terbenam dalam tanah di situs Muarajambi.
Meski demikian, peradaban masa lalu Muarajambi tak melulu jadi tema yang ditampilkan Nia Dinata. Ia juga mengangkat berbagai isu. Pluralisme, agama, bahkan lingkungan. Meski hanya sebagai sisipan, hal tersebut punya bobot tersendiri sebagai bahan kontemplasi.
Potret keberagaman yang menyentuh ditampilkan ketika Brata mengajak anak-anak didiknya berkunjung ke Muarajambi. Di salah satu lapangan candi, mereka menyaksikan sekumpulan anak-anak sekolah minggu yang beragama Kristen sedang beribadah dan bernyanyi. Tidak ada gangguan apalagi penggerudukan, seperti yang jamak terjadi di daerah lain di negeri ini. Dari pengalaman itu, Borju mengajarkan kepada para muridnya arti saling menghormati dan menghargai antar-umat beragama. Itu pula yang dipelajari penganut Buddha di Muarajambi berabad-abad silam: kedamaian dan harmoni.
Baca juga: Menggali Peradaban Muarajambi
Warga sekitar Muarajambi mayoritas penganut Muslim. Namun, mereka bersikap ramah dan terbuka terhadap para peziarah Buddhis yang datang ke Muarajambi. Hidup yang saling berdampingan di tengah perbedaan tadi menjadi pesan toleransi dalam dokumenter ini.
Sementara itu, Aina menuturkan, semasa bocah dirinya biasa meminum air Sungai Batanghari. Airnya masih bening dan ikan-ikan tampak berenang di permukaan air. Dia dan kawan-kawan sepantarannya bahkan suka menyelam mencari uang koin yang dilemparkan pengunjung situs Muarajambi. Tapi, kondisi sungai tersebut saat ini tak lagi seasri dulu. Tongkang-tongkang batubara mencemari air Sungai Batanghari. Belum lagi kepungan kebun-kebun sawit yang kian mendesak ke Muarajambi.
“Kalau sekarang ndak ado (air bersih) lagi. Kotor. Limbah lah banyak,” begitu kata Aina dengan dialek Jambinya.
Kisah ditutup dengan perjalanan Ahock dan Brata ke negeri India. Mereka berkunjung ke Nalanda yang menjadi pusat studi agama Buddha tertua di dunia. Struktur dan lansekapnya hampir sama dengan Muarajambi. Ternyata ada keterkaitan antara Candi Muara Jambi dengan Universitas Nalanda di India. Dalam mencari pertautan dengan Muarajambi, ada banyak kejutan dalam perjalanan mereka ke India hingga Tibet.
Sebagai sebuah dokumenter, Nia Dinata cukup apik dalam meramu kepingan-kepingan narasi dari para karakter. Hanya saja beberapa cuplikan dialog dalam bahasa Jambi yang tidak diterjemahkan kiranya menjadi catatan. Hal ini agak menyulitkan penonton untuk menyerapnya, khususnya mereka yang berasal dari luar Sumatra. Kendati demikian, dengan semua yang ditampilkan, film dokumenter ini membuka tabir yang belum diketahui banyak orang tentang situs Muarajambi.
Data Film
Judul: Unearthing Muarajambi Temples (Muarajambi Bertutur) | Sutradara: Nia Dinata | Produser: Nia Dinata dan Sandie Elisabeth Monteiro | Produksi: Kemendikbudristek dan Kalyana Shira Foundation | Genre: Dokumenter | Durasi: 93 menit | Rilis: 2022 (Indonesia TV).
Tambahkan komentar
Belum ada komentar