Peran Lasminingrat dalam Pendidikan dan Penerjemahan
Tak hanya mendirikan sekolah untuk perempuan, Lasminingrat juga menerjemahkan buku-buku cerita untuk anak-anak dari bahasa Belanda ke bahasa Sunda.
HARI ini, Rabu, 29 Maret 2023, Google menampilkan doodle tokoh Lasminingrat untuk memperingati ulang tahunnya yang ke-169. Putri menak Sunda ini memiliki perhatian besar terhadap pendidikan kaum perempuan dan penerjemahan buku-buku cerita untuk anak-anak dari bahasa Belanda ke bahasa Sunda.
Raden Ayu Lasminingrat lahir di Garut pada 29 Maret 1854. Ayahnya, Raden Haji Muhammad Musa, seorang kepala penghulu di Garut dan pendiri Sekolah Raja serta penasihat pemerintah kolonial Belanda.
Menurut Nina Herlina Lubis dalam Kehidupan Kaum Menak Priangan, 1800–1942, Haji Muhammad Musa menjalin persahabatan dengan sejumlah orang Belanda, di antaranya Karel Frederik Holle yang dikenal sebagai penasihat honorer pemerintah untuk urusan bumiputra dan seorang tuan tanah di wilayah Garut, serta Levyson Norman yang pernah menjadi controleur di Sumedang.
Karena tidak memiliki anak, Levyson mengangkat Lasminingrat sebagai anak asuh. “Anak gadis menak itu dibawa ke Sumedang untuk belajar bermacam-macam kepandaian selama beberapa tahun,” tulis Nina.
Baca juga: Tuan Holla dari Belanda Sahabat Orang Sunda
Mikihiro Moriyama dalam “Lahirnya Pembaca Modern Penerjemah Cerita-cerita Eropa ke dalam Bahasa Sunda Pada Abad ke-19”, termuat dalam Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia menulis, pada masa itu bukan hal yang aneh bila anak perempuan dari keluarga ningrat Sunda sering tinggal di satu keluarga Belanda selama beberapa tahun sebelum menikah untuk menambah pengetahuan mereka.
Selama tinggal bersama sang contoleur, kata Mikihiro, Lasminingrat yang kerap dipanggil “Saatje” oleh Levyson Norman, belajar menulis, membaca, berbahasa Belanda, dan berbagai pengetahuan lain yang berhubungan dengan kewanitaan. Lasminingrat yang dikenal cerdas begitu tekun mempelajari berbagai pengetahuan yang diajarkan kepadanya sehingga dengan cepat ia dapat menguasainya.
“Kemampuannya dalam menulis dan membaca dalam bahasa Belanda bahkan membuatnya dijuluki sebagai wanita Sunda pertama yang fasih bercakap-cakap dalam bahasa Belanda dengan orang-orang Belanda yang berada di wilayah Garut,” tulis Mikihiro.
Baca juga: Perjuangan Maria Ullfah dalam Pendidikan
Lasminingrat menyadari pentingnya pendidikan bagi bumiputra termasuk kaum perempuan. Ia pun mendirikan Sekolah Kautamaan Istri pada 1907, bertempat di ruang gamelan di lingkungan Pendopo Garut. Ia tak menemui kesulitan karena suaminya, R.A.A. Wiratanudatara VIII, bupati Garut yang berwibawa dan disegani. Ia juga mendapat bantuan dari pejabat-pejabat pemerintah koloial.
Meski begitu tetap saja tidak mudah mendapatkan murid sekolah. Penyebabnya karena pengaruh adat lama yang menganggap kaum perempuan tak perlu mendapatkan pendidikan di sekolah. Untuk mengatasi persoalan itu, Lasminingrat pertama-tama mengerahkan anak-anak gadis sanak familinya dan anak-anak gadis para pegawai negeri untuk menjadi murid di sekolahnya. Ia bersama kerabatnya mengajarkan murid-murid menulis, membaca, dan berbagai keterampilan wanita seperti menjahit, menyulam, merenda, membordel, merajut hingga membatik. Mereka juga membuat kerajinan tangan, seperti hiasan dari kerangka dedaunan dan serat nanas yang telah diberi warna, taplak meja, alas duduk, serta selimut.
Untuk memperkuat status sekolahnya, Lasminingrat menghadap gubernur jenderal di Istana Bogor untuk memohon izin pendirian sekolah gadis itu. “Usaha Rd. Ayu Lasminingrat berhasil dan sekolah tersebut disahkan sebagai suatu organisasi yang disebut Vereeneging Kautamaan Istri Schoalen dengan akta nomor 12 tanggal 12 Februari 1913,” tulis buku Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat.
Dengan pengesahan tersebut lambat laun jumlah Sekolah Kautamaan Istri berkembang. Di Garut bertambah dua sekolah, sementara sekolah sejenis mulai bermunculan di wilayah lain.
Tak hanya dikenal sebagai pendidik, Lasminingrat juga memiliki minat cukup besar dalam sastra. Mikihiro menyebut Lasminingrat kerap menerjemahkan buku-buku bahasa Belanda ke dalam bahasa Sunda. Kemampuannya itu dikagumi banyak orang, salah satunya K.F. Holle. Dalam surat kepada P.J. Veth, Holle menulis bahwa Lasminingrat dengan telaten menyadur dongeng-dongeng Grimm, cerita-cerita dari negeri antah berantah dan lainnya ke dalam bahasa Sunda.
Baca juga: Nyi Mangunsarkoro Memperjuangkan Pendidikan dan Perlindungan Perempuan
Buku-buku yang diterjemahkan Lasminingrat kebanyakan buku anak-anak berbahasa Belanda yang banyak dibaca di Belanda dan dibawa ke Hindia Belanda. Umumnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda cerita-cerita pendek yang bersifat mendidik dan mengandung pesan moral.
Kegemaran Lasminingrat menerjemahkan buku-buku berbahasa Belanda melahirkan buku-buku bahasa Sunda seperti Warnasari Jilid I dan II yang diterbitkan Balai Pustaka dan dijadikan koleksi Perpustakaan Rakyat di tiap-tiap sekolah dasar, untuk dipinjamkan kepada anak-anak sekolah dan umum.
Dalam kata pengantarnya, Lasminingrat menerangkan bahwa alasannya memperkenalkan cerita-cerita Eropa kepada orang Sunda agar orang Sunda ikut memiliki kegemaran membaca. Selain itu, dari membaca cerita-cerita tersebut, para pembaca juga dapat memetik intisari dan pesan yang disampaikan.
Kegigihan Lasminingrat dalam memajukan pendidikan kaum perempuan membuatnya dianugerahi penghargaan dan memperoleh gaji dari pemerintah Hindia Belanda. Ia wafat pada 10 April 1948 di Garut dalam usia 94 tahun. Sekolah-sekolahnya dilanjutkan oleh Raden Purnamaningrat, murid pertama Lasminingrat yang masih anak dari adik sepupunya.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar