Memperjuangkan Pendidikan dan Perlindungan untuk Perempuan
Selain berjuang untuk kemerdekaan bangsa, Nyi Mangunsarkoro juga berjuang mengatasi masalah keperempuanan di era kolonial, pendidikan, dan pernikahan.
KERICUHAN melanda Kongres Perempuan Indonesia (KPI) II di Jakarta, 1935 yang dipimpin Sri Wulandari Mangunsarkoro. Dua peserta, Suwarni Pringgodigdio dari Istri Sedar dan Ratna Sari dari organisasi perempuan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi), berdebat hebat soal poligami. Suwarni tak sepakat dengan pendapat Ratna Sari yang memandang poligami dari segi Islam yang sangat konservatif.
Toh, kongres berakhir damai. Salah satu hasilnya, kesepakatan membentuk Badan Penyelidikan Perburuhan Perempuan Indonesia (BPPPI) dengan Sri Wulandari sebagai ketuanya. Badan ini bertugas menyelediki keadaan buruh perempuan di Indonesia, khususnya yang bergaji kurang dari 15 gulden sebulan. Selain itu, kongres menghasilkan pembentukan Biro Konsultasi yang bertugas mendampingi perempuan dalam masalah perceraian. Biro ini dipimpin Maria Ullfah.
Namun, malang menimpa Sri Wulandari. Usai kongres, dia dipanggil PID (Dinas Intelijen Hindia Belanda) dan diinterogasi. Kepada pada petugas PID, Sri Wulandari mengatakan bahwa kongres mereka membahas tentang masalah-masalah perempuan dalam perkawinan, hak pilih, juga tentang kemerdekaan Indonesia. “Sejak itu beliau diawasi Belanda,” kata Anik Yudhastowo Mangunsarkoro, menantu Sri Wulandari, kepada Historia.
Dikenal sebagai Nyi Mangunsarkoro
Sri Wulandari lahir di Madiun, 16 Mei 1905. Semasa mengenyam pendidikan di Gouvernements Meisjes Kweekschool, Salatiga, Sri masuk Jong Java dan menjadi pemimpin Kelompok Pekerjaan Tangan Keputrian Jong Java cabang Salatiga. Pada 1920, dia dipercaya menjadi ketua Keputrian Jong Java.
Selepas lulus dari sekolah guru, Sri pindah ke Tegal untuk mengajar di Taman Siswa. Di sini, Sri bergabung dengan Wanita Taman Siswa yang dipimpin Ny. Hadjar Dewantoro. Bersama Ny. Hadjar, Sri aktif dalam gerakan perempuan dan mewakili Wanita Taman Siswa di KPI.
Sri pernah duduk sebagai ketua Wanita Taman Siswa cabang Jakarta. Melihat pola gerakan Wanita Taman Siswa yang terpisah antarwilayah, Sri menginisiasi pendirian badan yang mengorganisasi aktivitas gerakan Wanita Taman Siswa agar lebih terarah. Upayanya disambut baik oleh Nyi Hadjar. Maka, terbentuklah Badan Pusat Wanita Tamansiswa.
Sebagai guru, Sri memikirkan betul pendidikan perempuan. Menurutnya, pendidikan untuk anak perempuan sangat penting sehingga mereka perlu diberi akses sama luasnya dengan anak lelaki. Pendidikan untuk anak perempuan mestinya tidak sebatas tingkah laku tapi juga pelajaran yang diterima anak lelaki, seperti pengetahuan umum dan bahasa Belanda. Pasalnya, selain berjuang untuk kemerdekaan, perempuan juga menjadi seorang ibu yang akan mendidik anak-anaknya dengan jiwa nasionalisme. Pendapat Sri ini kemudian dikenal sebagai konsep Ibu Bangsa yang dibawa gerakan perempuan pada masa kolonial untuk memperjuangkan pendidikan bagi anak perempuan.
Ketika mengajar di Taman Siswa, Sri yang dikenal sebagai Ni Wulandari, panggilan untuk guru perempuan yang belum menikah, inilah dia bertemu dengan kekasih hati yang sepemikiran dengannya, Sarmidi Mangunsarkoro. “Ki Mangunsarkoro mendukung sekali perjuangan Ibu Sri Wulandari. Bahkan di dalam keluarga perlakukannya pada anak perempuan dan lelaki sama,” kata Anik.
Mereka lalu menikah pada 24 Agustus 1929. Sejak itu, Ni Wulandari lebih dikenal dengan Nyi Mangunsarkoro, seperti perempuan sezamannya yang menggunakan nama suami di belakang namanya.
Mendapat dukungan suami, upaya Sri memperjuangkan nasib kaum putri semakin keras. Pengawasan aparat kolonial tak menghentikannya untuk terus aktif dalam gerakan perempuan. Pada KPI III tahun 1937, para perempuan secara serius membahas tentang perlindungan pada perempuan dan anak, terlebih dalam perkawinan dan poligami sewenang-wenang. Kongres memutuskan untuk membentuk Komite Perlindungan Kaum Perempuan Indonesia (KPKPI). Sri dipercaya menjadi pemimpinnya.
Sri punya prinsip menolak poligami sewenang-wenang yang marak dilakukan di masanya. Menurutnya, poligami bersumber dari kurangnya pengetahuan tentang derajat manusia dan juga kelemahan dalam menahan hawa nafsu. Sementara, perempuan menanggung akibatnya karena menimbulkan kecemburuan dan persaingan tak perlu antarsesama perempuan.
“Perasaan cemburu menjadi sumber kesengsaraan,” kata Sri seperti dikutip Putri Megawati dalam skripsinya, “Pemikiran Sri Wulandari Mangunsarkoro tentang Pendidikan dan Wanita”.
Dalam Setengah Abad Kongres Perempuan Indonesia, Sri tercatat aktif dalam KPI hingga 1950-an. Pada KPI tahun 1952 di Bandung, Sri mengusulkan pendirian monumen peringatan KPI 1928 di Yogyakarta. “Tapi ibu tidak mengusulkan bentuknya tugu atau monumen karena tak banyak fungsi. Ia usul bentuknya gedung supaya berguna untuk kegiatan gerakan kaum perempuan,” kata Anik.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar