Penulis Belanda Berkisah Tentang Nyi Blorong
Nyi Blorong diyakini dapat memberikan kekayaan. Namun, kekayaan itu akan diberikan dengan syarat seseorang harus memberikan jiwanya.
“…Pah-Sidin adalah pria miskin yang tidak beruntung dalam segala hal yang dia lakukan, dan sangat bodoh karena tidak mengetahui satu pun ‘ilmu’ yang dapat digunakan untuk memikat keberuntungan. Sehingga meskipun istrinya bekerja dari pagi hingga malam, menenun dan membatik sarung, merawat kebun dan ladang, serta menjual buah dan bunga, keadaan tetap saja buruk baginya.”
Demikian Augusta de Wit memulai kisah mengenai seorang pria, yang karena kondisi perekonomian yang buruk, memilih berdoa kepada roh jahat demi menjadi kaya dan menjalani kehidupan yang penuh keberuntungan. Penulis yang lahir di Sumatra pada 1864 itu mengetahui kisah Pah-Sidin dari seorang nelayan tua, yang ia temui saat melakukan perjalanan ke Pulau Jawa pada akhir abad ke-19.
Dalam catatan perjalanan yang dibukukan dengan judul Java Facts and Fancies, de Wit menulis bahwa Pah-Sidin yang lelah dengan ratapan istrinya atas kehidupan mereka yang sulit, serta lelah menahan lapar dan kehabisan uang untuk bermain sabung ayam, kemudian pergi dan berjalan di sepanjang pantai selama berhari-hari, sampai ia tiba di sebuah tempat di mana terdapat batu-batu besar dan gua-gua yang airnya mengeluarkan suara seperti guntur. Di sinilah tinggal dewi yang ditakuti serta dihormati, Nyi Loro Kidul, Ratu Laut Selatan. Di tempat ini pula tinggal Nyi Blorong yang jahat dan dikenal sebagai dewi uang.
Nyi Blorong digambarkan memiliki kepala manusia, namun badannya berbentuk seperti ikan dengan lengan dan kaki sebanyak kelabang. “Namun ada pula yang menggambarkannya sebagai seorang wanita cantik tetapi tanpa kaki dan sebagai gantinya ia memiliki ekor ular yang sepenuhnya ditutupi dengan sisik emas,” tulis Dr. G.A. Wilken dalam “Het Animisme bij de Volken van den Indsichen Archipel”, yang termuat di De Indische Gids Volume 7.
Baca juga: Makhluk Halus dalam Catatan Perjalanan Orang Belanda
Masyarakat percaya Nyi Blorong dapat memberikan kekayaan, tetapi dengan syarat seseorang harus memberikan jiwanya kepada roh jahat itu. Meski mengerikan, Pah-Sidin tetap melakukan ritual untuk mewujudkan keinginan bergelimang harta. Ia menaburkan berbagai bunga serta kemenyan di pintu masuk gua. Ketika muncul asap membubung tinggi, Pah-Sidin menangis dan memohon kepada Nyi Blorong agar menjadikannya kaya raya. “Nyi Blorong! Aku memohon kepadamu! Saya miskin dan benar-benar malang! Berilah aku uang, dan aku akan memberikan jiwaku kepadamu, wahai Nyi Blorong!”
Nyi Blorong menjawab permohonan Pah-Sidin dengan seketika mengubah gua menjadi rumah besar dan megah yang penuh harta karun. Namun, ketika Pah-Sidin melihat lebih dekat, rumah itu ternyata dibangun dari tubuh manusia; lantai, dinding, dan atap terbuat dari manusia yang masih hidup, yang menangis dan mengerang karena tak sanggup menghadapi penderitaan.
Pah-Sidin awalnya mau pingsan karena ketakutan. Tetapi ia segera mengingat dirinya masih muda dan kuat. Oleh karena itu, ia menganggap waktu kematiannya masih jauh. Tak ingin bernasib sama seperti orang-orang yang meminta bantuan Nyi Blorong, Pah-Sidin memutar otak untuk menyusun rencana agar dapat menipu roh jahat itu demi menikmati kekayaan yang luar biasa. Dengan demikian, ia menjawab, “Nyi Blorong, saya memiliki keberaniaan untuk meminta bantuan kepadamu.”
Setelah mendengar jawaban Pah-Sidin, Nyi Blorong meminta lelaki itu kembali ke rumahnya untuk menunggu kedatangan makhluk halus tersebut. Pah-Sidin menuruti perintah itu dan menunggu dengan sabar di rumah. Demi memuluskan rencananya, ia tak mengatakan apapun kepada istrinya.
Baca juga: Mengungkap Sejarah Babi Ngepet
Saat malam tiba, Nyi Blorong datang menemui Pah-Sidin. Terpesona dengan kecantikan makhluk halus itu, Pah-Sidin tergerak untuk memeluknya. Namun, niat itu dibatalkannya karena ketakutan hingga bersiap melarikan diri saat melihat bagian bawah tubuh Nyi Blorong memiliki ekor bersisik yang panjang. Nyi Blorong mendekap Pah-Sidin dengan kuat agar tak melarikan diri. “Jika engkau mencoba melarikan diri, aku akan membunuhmu,” kata roh jahat tersebut.
Selepas pertemuan dengan Nyi Blorong, kehidupan Pah-Sidin berubah menjadi paling kaya di wilayahnya. Tak hanya memiliki rumah megah dengan lumbung dan kandang kuda yang bagus, lelaki itu juga memiliki perkebunan luas dengan berbagai jenis pohon dan buah-buahan. Pah-Sidin yang sebelumnya hidup miskin hingga harus menahan lapar karena tidak mampu mendapatkan makanan, kini memiliki sawah yang luas membentang sejauh mata memandang.
“Pah-Sidin kemudian menceraikan istrinya yang sudah tidak muda lagi dan sudah letih karena bekerja keras. Tak lama setelah menceraikan istrinya, lelaki itu menikahi seorang putri raja yang kaya raya serta tiga gadis lain yang cantik seperti bidadari,” tulis de Wit.
Kekayaan yang dimilikinya tak membuat Pah-Sidin puas. Setiap kali ia menginginkan lebih banyak uang, Nyi Blorong akan mendatanginya di malam hari, dan memeluknya lalu memberinya lebih banyak dari yang ia minta. Demikianlah tahun demi tahun berlalu dengan penuh kebahagiaan bagi Pah-Sidin hingga rambutnya mulai memutih, matanya mulai sulit melihat, dan giginya mulai rontok.
Baca juga: Selain Jadi Babi Ngepet
Di suatu malam, Nyi Blorong datang menemui Pah-Sidin tanpa dipanggil. Ia berkata, “Pah-Sidin! Waktunya telah tiba. Ikutlah denganku, dan aku akan menjadikanmu ambang pintu istanaku.” Tetapi Pah-Sidin menjawab, “Aduh! Nyi Blorong, lihatlah aku, betapa kurusnya aku, tulang rusukku hampir menembus kulit pinggangku. Tentu saja, engkau akan melukai ekormu saat melewatiku, jika engkau menjadikanku sebagai ambang pintu rumahmu. Lebih baik bawalah anak buahku yang masih muda, gemuk, dan mulus ini bersamamu!”
Nyi Blorong kemudian membawa anak buah Pah-Sidin. Setelah berhasil lolos dari ajakan Nyi Blorong, Pah-Sidin justru menikahi istri baru dan hidup lebih bahagia dari sebelumnya. Tahun demi tahun berlalu dengan penuh kebahagiaan bagi Pah-Sidin hingga di malam terakhir tahun kesepuluh, Nyi Blorong kembali datang menemui lelaki itu tanpa dipanggil, dan berkata “Pah-Sidin! Waktunya telah tiba. Ikutlah denganku, dan aku akan menjadikanmu pilar istanaku.”
Pah-Sidin kembali mencoba menipu Nyi Blorong dengan berkata: “Aduh, Nyi Blorong! Lihatlah aku, betapa lemahnya aku. Bahuku sangat bengkok sehingga aku hampir tidak bisa menahan jaket baju agar tidak meluncur ke bawah. Sesungguhnya atap rumahmu akan runtuh dan menimpamu jika engkau menjadikan aku sebagai tiang rumahmu. Lebih baik, bawalah adik bungsuku yang kuat, tinggi dan berbahu lebar.”
Baca juga: Babi Ngepet, Mitos, dan Krisis
Nyi Blorong kemudian membawa adik bungsu Pah-Sidin, dan sekali lagi ia berhasil lolos dari ajakan makhlus halus tersebut. Tak berselang lama, Pah-Sidin kembali menikah dengan istri baru dan hidup lebih bahagia dari sebelumnya. “Demikianlah sepuluh tahun berlalu dengan penuh kemuliaan dan kebahagiaan. Namun, pada malam terakhir di tahun kesepuluh, Nyi Blorong untuk ketiga kalinya datang menemui Pah-Sidin tanpa dipanggil,” tulis de Wit, “roh jahat itu kembali mengajak Pah-Sidin ke rumahnya untuk dijadikan batu perapian di istana makhluk halus tersebut.”
Pah-Sidin menganggap akan kembali berhasil mengelabui Nyi Blorong. Ia mengatakan bahwa suhu tubuhnya terlalu dingin serta basah oleh keringat, dan oleh karena itu akan sulit bagi Nyi Blorong untuk menyalakan api perapian di istananya. Lelaki serakah itu meminta Nyi Blorong membawa anak sulungnya yang sehat, hangat, dan kering untuk dijadikan batu perapian. Akan tetapi, dengan suara yang membuat jantung Pah-Sidin berdegup kencang, Nyi Blorong berteriak, “aku tidak akan mengambil siapa pun kecuali engkau, orang tua! Dan, karena engkau begitu dingin dan basah, aku akan memberikan api yang tidak dapat binasa untuk menghangatkan dan mengeringkanmu!”
Nyi Blorong kemudian mencengkeram leher Pah-Sidin, dan membawanya ke tempat tinggalnya yang mengerikan untuk dijadikan batu perapian selama-lamanya. “Inilah akhir kisah yang panjang ini, dan begitulah nasib mereka yang membiarkan diri mereka ditaklukkan oleh keserakahan dan tipu muslihat Nyi Blorong yang jahat,” tulis de Wit.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar