Pasangan Nan Tak Lekang Dimakan Zaman
Kala pria berjas dan perempuan berkebaya.
SETELAH merombak susunan kabinetnya untuk kali pertama, Presiden Joko Widodo melantik anggota kabinetnya pada 12 Agustus 2015. Dalam pelantikan itu, para hadirin pria mengenakan setelan jas dan hadirin perempuan kebanyakan mengenakan kebaya.
Penampilan seperti itu umum terjadi dalam acara-acara formal. Di Indonesia, penampilan seperti itu sebetulnya belum teramat lama.
Awal mula penggunaan jas bisa dilacak sejak era kolonial. Foto RA Kartini saat berusia delapan bulan sedang digendong ayahnya merupakan salah satu bukti. Dalam foto bertahun 1880 itu, RM Sosroningrat (ayah Kartini) tampil mengenakan setelan kemeja putih berkerah tinggi, jas warna gelap dan lapel sampai dada, serta blangkon.
Sebelum akhir abad ke-19, hanya sedikit bangsawan bumiputra yang sudah mengenakan jas. RM Sosroningrat salah satunya. Penampilan modern itu muncul dari keseharian mereka yang –kemudian mendapat akses pendidikan Barat– sering bersinggungan dengan orang-orang Eropa di Hindia Belanda. “Interaksi ini membuat priyayi pelan-pelan mengakuisisi gaya kolonial dalam kehidupan, termasuk dalam berpakaian,” tulis Denys Lombard dalam Nusa-Jawa Silang Budaya, Jilid 1.
Namun, singgungan jas dan kaum bumiputra baru “resmi” terjadi setelah pemerintah kolonial memberlakukan Politik Etis pada awal abad ke-20. Kelas menangah (priyayi rendah) mulai diizinkan mengenyam pendidikan Barat kala itu. Pemerintah memberi mereka pendidikan untuk mendapatkan tenaga kerja terdidik yang murah, ketimbang harus mendatangkan dari Eropa.
Kaum bumiputra berpendidikan rendah itu akhirnya bekerja sebagai pegawai di berbagai kantor pemerintahan dengan beragam bidang profesi, mulai guru hingga pewarta. Mereka umumnya menggunakan jas dalam pakaian sehari-hari ketika bekerja. Seringkali, penggunaan jas itu dipadukan dengan blangkon.
Menurut Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land, tahun 1912 sudah ada orang-orang bumiputra yang mengenakan pakaian ala Barat. Penggunaan pakian barat lengkap yang meliputi celana panjang, sepatu, jas, dasi, serta topi itu banyak ditemukan dalam arsip foto kelompok pertama politisi bumiputra seperti Sukarno.
Selain melalui pendidikan, iklan juga berperan dalam “kampanye” penggunaan jas. Pasalnya, selain mempromosikan produk, poster iklan juga menampilkan lelaki bumiputra mengenakan jas sebagai simbol modernitas era tersebut.
Secara implisit, iklan mengajak mereka untuk meninggalkan ketradisionalan dan beralih ke hal yang lebih modern. Seringkali hal modern itu merujuk pada produk-produk yang ditawarkan: makanan kaleng, sabun, atau lampu. Poster iklan lampu Philips yang dijadikan salah satu contoh oleh Henk Schulte Nordholt dalam tulisannya berjudul “Modernity and Cultural Citizenship in the Netherlands Indies: An Illustrated Hypothesis”, misalnya. Iklan itu menggambarkan pria bumiputra berpakaian jas sedang membaca koran sementara istrinya mengenakan kebaya sambil menyulam. Gambarana itu merupakan potret realitas sosial-budaya kelas menengah bumiputra di masa akhir kolonial.
Namun, bila lelaki mengenakan jas begitu mendapat pendidikan Barat, hal serupa tak berlaku untuk perempuan. Meski telah mengenyam pendidikan Barat, perempuan tetap mengenakan kebaya dalam acara-acara resmi. Dalam Kongres Perempuan pertama, misalnya, para perempuan hadir dengan mengenakan kebaya.
Jas dengan demikian menyimbolkan bahwa laki-laki menjadi agen modernitas sedangkan perempuan yang tetap berkebaya diharapkan menjadi agen penjaga nilai-nilai tradisional. Dengan mengenakan jas, para pemakainya mendapat citra modern karena menandakan persinggungan dengan budaya Eropa.
“Setelan jas Barat merupakan kostum para pemimpin kolonial yang secara politis berkuasa. Pakaian ini kemudian ditiru oleh kaum bumiputra yang telah mengenyam secuil pendidikan Barat sebagai simbol modernitas,” tulis Julia Suryakusuma dalam artikelnya, “Kebaya Mencitrakan Perempuan, Bagaimana dengan Laki-laki?”.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar