Musik Orkestra, Dari Penguasa Hingga Hamba Sahaya
Diperkenalkan para penguasa kolonialis, musik orkestra bertahan di tangan hamba sahaya dan peranakan Tionghoa hingga menjadi budaya populer di Indonesia.
Di tengah kegelapan ruang pertunjukan Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), suara koor plus duet penyanyi Lisa Depe-Judika memecah keheningan. Cahaya menerang beberapa detik kemudian, menemani merdunya suara koor menyanyikan sebuah tembang.
Lebih dari 30 orang, yang duduk di bawah tempat para personel koor berada, serius memainkan alat musik masing-masing sambil memperhatikan partitur di hadapan mereka. Dipandu konduktor Avip Priatna, laku mereka menghasilkan alunan nada harmonis yang di pertengahan berganti tempo menjadi cepat dan enerjik. Itulah “Bohemian Rhapsody”, tembang rock legendaris karya band rock Inggris Queen, yang dibawakan dalam bentuk simfoni oleh Jakarta Concert Orchestra (JCO) di konser bertajuk “Love of My Life”.
Konser yang berlangsung di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, pada 18 April 2015 itu menjadi bukti kreativitas JCO. Di tangan JCO, musik orkestra dijauhkan dari kesan kuno yang identik dengan karya-karya klasik macam Bach, Beethoven, Mozart, atau Vivaldi. JCO mem-vermak “wajah” musik orkestra dengan konser-konser kreasinya yang “kekinian” macam “Simfoni Untuk Bangsa 2018: Dari dan Untuk Anak Indonesia” dan “Invitation to The Dance” pada 2018, serta “Love of My Life”, “Queen Night: We Are The Champions”, dan “Konser Idul Fitri” pada 2019.
Dibawa Kolonalis, Diselamatkan Budak dan Peranakan
Disadari atau tidak, konser-konser JCO itu telah “menjaga” jalinan sejarah musik orkestra yang telah lama ada di Bumi Pertiwi. Musik orkestra –atau biasa disingkat orkes merupakan kelompok musik dengan banyak anggota yang biasa terdiri dari empat seksi (string, brass, woodwind, dan perkusi) dan memainkan musik secara bersamaan; orkestra biasa memainkan simfoni klasik– telah eksis di negeri ini sejak era kolonial. Embrionya lahir dari para penjelajah Portugis ketika singgah di Nusantara.
Ada tiga jenis musik Barat yang dibawa orang-orang Portugis ke Nusantara: musik gereja, musik sekuler, dan musik militer. Kecuali yang pertama, Portugis melibatkan para budak dalam memainkannya. Para budak itulah yang melanjutkan eksistensi musik Barat ketika Portugis hengkang dan digantikan kongsi dagang Belanda VOC.
Selain meningkatkan peran band-band militer, para pembesar VOC juga memainkan musik Barat menggunakan budak, baik yang didatangkan dari Eropa maupun yang diambil dari berbagai daerah di Nusantara. Para budak itu dihimpun ke dalam sebuah grup atau orkestra yang lalu dikenal sebagai slaven orkest (orkes budak). Tugas slaven orkest menghibur para tamu tuan-tuan mereka. Pertunjukan oleh slaven orkest itu dikenal sebagai slaven concerten (konser budak).
“Slaven Orkest sering digunakan untuk memeriahkan pesta. Gubernur Jenderal Valckenier pernah memiliki sebuah rombongan Slaven Orkest yang terdiri dari lima belas. Mereka memainkan alat musik tiup, pemain gamelan, pesuling Cina dan Petambur –tambur Turki,” tulis Moh. Husaini Lubis dalam The Untold Story of Abdul Muin Ikram: Catatan Lengkap Mengenai Khazanah Kajian Budaya Melayu Sambas.
Selain gubernur jenderal, elite VOC awal yang memiliki slaven orkest ialah Augustijn Michiels, tuan tanah di Citeureup, Bogor, awal abad ke-19. Michiels gemar menghibur tamunya dengan musik yang dimainkan orkesnya. Saking gemarnya, Michiels sampai punya empat orkestra: satu marching band tentara, satu orkestra Eropa, lalu orkestra Tionghoa, dan terakhir orkestra yang khusus memainkan gamelan.
Gamelan menjadi salah satu musik tradisional yang amat memikat para elite VOC. Untuk urusan itu, mereka tak segan merogoh kocek dalam-dalam. Dana itu digunakan untuk membentuk dan mendanai slaven orkest yang juga banyak memainkan gamelan.
Namun, bukan para elite VOC saja yang terpikat pada musik tradisional macam gamelan. Banyak raja dan pembesar keraton di Nusantara juga tertarik pada musik Barat sejak era Portugis. Di Buton, drum-drum yang ditabuh pasukan Jenderal Anthony van Diemen ketika parade kemenangan pada 1637 amat memukau sultan. Drum-drum –di samping seragam pasukan– itu menginspirasi sultan untuk mengadopsinya dan mendomestifikasinya dengan musik tradisi setempat hingga melahirkan tradisi Tamburu.
“Efek drum-drum yang intimidatif pasti telah membuat Sultan terkesan, yang memutuskan untuk menggunakan instrumen itu demi keuntungannya sendiri untuk menakut-nakuti orang lain. Awalnya, drum Barat lebih dari sekadar alat musik, mendapatkan banyak kepentingan dari konteks militer di mana mereka awalnya tertanam. Seiring dengan instrumen lain seperti simbal dan terompet, drum diimplementasikan di kompi-kompi militer Eropa, setelah melihat bagaimana mereka telah digunakan oleh band-band militer Turki di awal era Ottoman,” tulis Miriam L. Brenner dalam “Drummers of the Sultan of Buton: The Lasting Influence of the Dutch East India Company on Local Music Traditions”, yang termuat dalam buku Recollecting Resonance: Indonesian-Dutch Musical Encounters suntingan Bart Barendregt dan Els Bogaerts.
Sebagaimana Kesultanan Buton, Kesultanan Yogyakarta pun mengadopsi musik Barat. Keraton Yogyakarta bahkan punya abdi dalem yang bertugas khusus memainkan musik Barat.
“Para pemain musik Barat ini bertempat tinggal di Kampung Musikanan (Sebelah timur Pagelaran),” tulis sejarawan Djoko Soekiman dalam Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi.
Bukan hanya nada, irama, dan pola musik Barat yang diadopsi keraton Yogyakarta, instrumen-instrumen musik Barat juga diadopsi. Dari adopsi itu keraton kemudian melokalisasi dan “mengawinkannya” dengan musik tradisional setempat hingga melahirkan kreasi baru.
“Sejarah Indonesia meliputi sukses interaksi dengan budaya asing. Perdagangan, diikuti dengan konversi agama dan penjajahan, menjadi ciri perjalanan sejarah Indonesia. interaksi tersebut sangat mempengaruhi pertumbuhan tradisi budaya Indonesia; pertumbuhan, dilambangkan dengan lokalisasi dan hibridisasi elemen asing. Perkembangan musik dan budaya musik di Indonesia juga mengikuti skema umum ini. Walaupun masing-masing daerah di Indonesia memiliki tradisi sosial budaya yang berbeda, interaksi tersebut menghasilkan keragaman bentuk musik Indonesia yang terlokalisasi/hibridisasi,” tulis Sumarsam dalam “Past and Present Issues of Javanese-European Musical Hybridity: Gendhing Mares and Other Hybrid Genres”, termuat di Recollecting Resonance: Indonesian-Dutch Musical Encounters.
Di antara kreasi hibrid yang dihasilkan keraton Yogyakarta adalah Gendhing Mares. Gendhing tersebut digunakan untuk melengkapi pertunjukan sebuah tarian tradisional.
“Gendhing mares membutuhkan penggabungan instrumen kuningan dan drum Eropa dan digunakan untuk mengiringi keluar dan masuknya serimpi, salah satu tarian paling halus di keraton Yogyakarta,” sambung Sumarsam.
Namun, popularitas musik Barat dan hibrid tidak datang dari keraton yang memainkan musik Barat, tradisional, dan hibrid hanya untuk kepentingan di dalam tembok keraton. Popularitas justru datang dari “pinggiran”, yakni dari orang Tionghoa ataupun inlaanders yang tergabung dalam slaven orkest. Dari merekalah Tanji sebagai musik tradisional di Sambas atau Tanjidor di pinggiran Batavia dilahirkan.
“Tanjidor adalah kelompok pemain alat musik pukulan dan tipuan, ‘brass band’, yang sudah dikenal di Betawi semenjak ada kampung-kampung budak asal luar Indonesia. Dalam bahasa Portugis ada kata ‘tanger’, yang aslinya berarti memainkan alat musik, dan seorang ‘tangedor’ (ucapan: tanjedor) asalnya seseorang yang memainkan alat musik ‘snaar’ (tali), tetapi selalu bermain di luar ruang. Kemudian tangedores berarti ‘brass band’ yang dimainkan pada parade militer atau pawai keagamaan. Di Portugal sampai kini tangedore mengikuti pawai-pawai keagamaan pada pesta penghormatan Pelindung Masyarakat (umpamanya Santo George, pelindung kota Lisabon pada tanggal 24 Juni),” tulis sejarawan Paramita Rahayu Abdurachman dalam Bunga Angin Portugis di Nusantara: Jejak-Jejak Kebudayaan Portugis di Indonesia.
Tanjidor mendapat popularitasnya ketika perbudakan dihapuskan pada pertengahan abad ke-19. Para budak mantan slaven orkest itu melanjutkan tradisi bermain musik bareng. Selain main berkeliling, mereka biasa main dalam pesta-pesta hari raya atau yang diadakan para orang kaya, umumnya Tionghoa.
Orang Tionghoa sendiri merupakan bagian dari pelestari tradisi orkes. Selain menanggap orkes, banyak dari mereka juga main musik Barat ataupun hibrid.
“Orang Tionghoa, khususnya elite peranakan, mengadopsi budaya Barat, selain budaya setempat. Jadi, selain menyimpan gamelan maupun keris dan wayang, keluarga elite peranakan tertarik pada budaya Belanda karena mereka merupakan kelompok penguasa dalam masyarakat dan tentu akan berguna jika menjalin hubungan baik dengan mereka. Maka mereka pun ikut mengambil aspek-aspek budaya Barat, belajar bahasa Belanda, dan dalam beberapa kasus, menikmati, memainkan, atau bahkan mengajarkan komposisi-komposisi Johann Sebastian Bach, Wolfgang Amadeus Mozart, dan Ludwig von Beethoven kepada anak-anak mereka,” tulis sejarawan Didi Kwartanada dalm “Musik Klasik”, dimuat dalam Tionghoa dalam Keindonesiaan: Peran dan Kontribusi Bagi Pembangunan Bangsa, Jilid II.
Bersama kaum bangsawan bumiputera, kaum peranakan Tionghoa memainkan musik setelah mendapat pelajaran dari sekolah-sekolah yang banyak berdiri usai Politik Etis. Para peranakan itu kemudian serius memainkan beragam genre musik, termasuk jazz yang berkembang pada paruh pertama abad ke-20.
Peranakan Tionghoa pertama yang tercatat bersentuhan dengan musik Barat modern yakni keluarga The, petinggi Tionghoa di Surabaya. Pada Imlek 1870 di rumahnya, keluarga The menyuguhkan hiburan musik Barat plus dansa. Namun, “raja gula” Oei Tiong Ham-lah yang memelopori keterlibatan peranakan Tionghoa dengan musik Barat modern di Indonesia.
“Pengusaha terkemuka asal Semarang yang namanya kemudian melegenda, Oei Tiong Ham (1866-1924), mendorong putri-putrinya, Oei Tjong Lan (lahir 1886) dan Oei Hui Lan (lahir 1889), untuk belajar musik dan vokal Eropa. Menariknya, lebih dari semata belajar notasi not balok dan memainkannya, dia merelakan kedua putrinya tampil di panggung, muncul di hadapan publik. Barangkali Tiong Ham ingin menunjukkan kepada pihak-pihak lain bahwa dia seorang progresif, mengikuti kemajuan zaman,” sambung Didi.
Peran peranakan dalam mempopulerkan musik Barat “modern” kian bertambah setelah masuknya teknologi gramofon dan radio. Peluang bisnis yang ada pada teknologi baru itu mereka manfaatkan untuk mencari laba dengan menjual mesin gramofon dan piringan hitam yang pertama diimpor kolonialis Belanda pada awal abad ke-20 dan diikuti dengan masuknya label-label internasional seperti Gramonophone Company, Beka, dan Columbia Gramophone Company. Tio Tek Hong, saudagar di Pasar Baru yang punya penerbitan dan percetakan, segera menggapai peluang bisnis baru itu. Pada 1904, ia mulai mengimpor mesin fonograf dan piringan hitam dan menjualnya. Besarnya “cuan” dari bisnis musik itu mendorong Tio Tek Hong membuka label sendiri untuk merekam penyanyi-penyanyi lokal yang memainkan beragam musik, mulai dari keroncong, gambus, hingga swing setahun kemudian. Label Tio Tek Hong tercatat menjadi label pertama Indonesia.
Dalam perkembangannya, peranakan Tionghoa mengisi semua lini dalam dunia musik Indonesia. Ada yang menjadi pemain, komposer, guru, hingga pebisnis yang meliputi pemilik toko dan penyewaan alat musik, label, promotor, produsen alat musik, hingga pemilik gedung pertunjukan. Itu berlanjut hingga kini.
Ketika kaum peranakan Tionghoa memulai kiprah musik Barat mereka, segelintir bangsawan bumiputra juga mulai serius mempelajari musik Barat dari sekolah-sekolah yang mereka masuki. Sekolah terpenting awal dalam penyebaran musik Barat yakni Muntilan Kweekschool yang didirikan Pater van Lith tahun 1904.
“Dengan program musiknya yang kuat, Muntilan Kweekschool menjadi lembaga musik paling terkemuka di era kolonial. Ini menghasilkan komposer, kritikus, dan pemain pribumi terkemuka selama beberapa generasi,” tulis R. Franki S Notosudirdjo dalam artikelnya, “Musical Modernism in the Twentieth Century”, dimuat dalam buku Recollecting Resonance: Indonesian-Dutch Musical Encounters.
Tangan dingin Van Lith berhasil “menelurkan” komposer Indonesia pertama, Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih dikenal dengan Ki Hadjar Dewantara. Pada 1916, Ki Hadjar menciptakan karya musik pertamanya untuk piano dan sopran yang berjudul “Kinanthie Sandoong”.
Terinspirasi dari Macapat Jawa, Ki Hadjar mengaransemen karyanya itu dengan praktik musik Barat. Dengan memadukan gendhing Jawa dan praktik musik Barat, “Kinanthie Sandoong” bukan hanya sebagai tembang pertama yang diciptakan komposer Indonesia, tapi juga sekaligus menunjukkan penguasaan luar biasa Ki Hadjar terhadap musik tradisional maupun Barat. Tembang tersebut menuntut penguasaan teknik tinggi vokalis lantaran diharuskan menggunakan cengkok-wilet alias pola improvisasi tradisional dan penghias melodi dalam gamelan. Penggunaan cengkok-wilet bukan hanya sebagai koreksi Ki Hadjar terhadap kelemahan musik Barat, tapi juga wahana penyanyi untuk benar-benar bebes mengekspresikan diri lewat tembang yang dinyanyikannya, yang tak mungkin didapatkan lewat pelantunan menggunakan notasi penuh musik Barat yang kaku.
“Selain ide komposisinya unik, Kinanthie Sandoong juga merupakan tantangan serius bagi para musisi. Dengan menggunakan dua sistem musik secara bersama-sama hanya dapat dibawakan oleh seorang penyanyi yang menguasai musik klasik Barat maupun musik tradisional Jawa,” sambung Notosudirdjo.
Bersama pamannya, RM Soerjo Poetro, yang juga komposer cum teoretikus musik yang aktif menulis di media-media Belanda, Ki Hadjar mentransformasikan ilmu musik kepada murid-muridnya di Taman Siswa. Pelajaran musik di Taman Siswa dipegang langsung oleh Soerjo Poetro. Keduanya bersama-sama mengarahkan musik hibrid ciptaannya untuk perjuangan kemerdekaan.
“Berdasarkan fakta-fakta ini, saya menduga bahwa ini adalah periode ketika tradisi musik baru, yang saya sebut musik seni atau seni musik, lahir di Indonesia. Saya berpendapat bahwa Ki Hadjar, RM Soerjo, Atmadarsana, R. Soehardjo, dan R Machjar Koesoemadinata dapat dikatakan sebagai pelopor seni musik Indonesia.”
Dalam perjalanannya, musik yang dirintis Ki Hadjar dan kawan-kawan terus berkembang dan dijadikan wahana perjuangan. Dalam Sumpah Pemuda, violis WR Supratman memperkenalkan gubahannya yang kemudian dijadikan lagu kebangsaan, “Indonesia Raya”. Muatan perjuangan makin kuat ketika Jepang berkuasa, yang kepentingan propagandanya lewat bermacam wahana –termasuk musik– kerap “diselewengkan” para pejuang untuk mempropagandakan kemerdekaan Indonesia.
Pasca-proklamasi, musik Indonesia telah “merdeka”. Gaung kemerdekaan dimanfaatkan para seniman untuk menciptakan karya-karya bertema perjuangan, kebanyakan bertempo mars untuk menunjukkan semangat juang. Pada era itu pula Presiden Sukarno meminta aransemen ulang lagu kebangsaan “Indonesia Raya” yang dianggapnya masih terlalu kental pengaruh Barat. Aransemen ulang itu akhirnya jatuh kepada Jos Cleber, komposer Belanda yang hijrah ke Indonesia pada saat Perang Kemerdekaan dan mendirikan Cosmopolitan Orkest di Radio Batavia.
Beriringan dengan perkembangan seni musik Indonesia itu adalah mekarnya industri musik. Kendati embrionya telah ada sejak era kolonial, industri musik terhenti saat Jepang berkuasa dan dilanjutkan Perang Kemerdekaan. Baru setelah pengakuan kedaulatan (1949), industri musik Indonesia mulai mencari jalan keluar dari “rahim Ibu Pertiwi”. Menurut pengamat musik Denny Sakrie, janin industri musik Indonesia baru bisa lahir pada dekade 1950-an.
“Ini bertolak dari asumsi bahwa pada 1950-an, musik populer sebagai bagaian dari budaya pop mulai menggeliat di dunia secara industrial –tepatnya setelah Perang Dunia II. Di samping asumsi tersebut, titik awal era 1950-an saya anggap sebagai tonggak monumental, juga berdasar bahwa di awal era tersebut mulai berdiri perusahaan rekaman milik pribumi yang pertama yaitu Irama, yang digagas oleh seorang perwira Angkatan Udara bernama Soejoso Karsono,” tulis Denny Sakrie dalam 100 Tahun Musik Indonesia.
Kendati hingga paruh pertama 1960-an lagu-lagu perjuangan yang diciptakan tanpa memikirkan sisi bisnis masih terus bermunculan, yang terutama diciptakan para komposer Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), musik orkestra semakin populer. Selain untuk mengiringi lagu-lagu populer yang dibawakan para bintang yang terus bermunculan, ia juga menjadi soundtrack ataupun music scoring film-film yang terus bermunculan seiring bergeliatnya bisnis bioskop.
Industri musik Indonesia, termasuk musik orkestra di dalamnya, baru tumbuh cepat ketika Orde Baru berkuasa. Pada saat itu, penguasa menjadikan ekonomi sebagai panglima dan perekonomian dibawa ke arah liberal. Industri musik salah satu yang menikmatinya. Musik orkestra tak hanya menjadi pelengkap musik pop ataupun film-film yang bermunculan, tapi juga menjadi penampil di berbagai gedung pertunjukan di kota-kota besar.
Geliat Industri Usai Reformasi
Ketika Reformasi menumbangkan rezim Orde Baru, industri musik tanah air yang telah terbentuk sistemnya tetap bertahan. Musik orkestra bukan hanya tetap eksis tapi bahkan menjadi bisnis menjanjikan. Kelompok-kelompok orkestra bermunculan, konser-konser pun kian sering diadakan, bahkan gedung pertunjukan dengan akustik baik banyak didirikan guna mengakomodir kebutuhan pasar. Musik orkestra menjadi “prestise” tersendiri bagi sebagian kaum.
Di antara pemain aktif dalam industri musik orkestra itu adalah Jakarta Concert Orchestra (JCO). JCO didirikan Avip Priatna dan Mendiang Profesor Toeti Heraty Roosseno pada 2002 dengan nama Jakarta Chamber Orchestra itu. Dengan anggota musisi profesional dari berbagai kota di Indonesia, JCO mengorientasikan dirinya sebagai orkes standar yang representatif dan menjadi salah satu aset ibukota. JCO, yang aktif mengadakan konser dengan kreasi kekiniannya meliputi bermacam genre musik, merupakan bagian The Resonanz Music Studio yang –diasuh oleh antara lain Ibu Giok Hartono– juga payung bagi Batavia Madrigal Singers, The Resonanz Children’s Choir, dan Kertanegara Recital Hall.
Selain aktif menggelar konser, JCO memiliki kreativitas tinggi. Konser-konser JCO bukan hanya menghibur, tapi juga mendobrak “kesakralan” musik orkestra khususnya di tanah air yang kadung identik dengan musik klasik.
Tahun ini, JCO genap 20 tahun. Untuk memeriahkan 20 tahun berdirinya, JCO menggelar konser bertajuk “From the New World” pada 26 Mei 2022. Konser yang dikonduktori Avip Priatna itu sekaligus untuk meresmikan gedung New Balai Resital Kertanegara.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar