Munculnya Si Doel (Bagian I)
Sedari masih dalam novel era kolonial hingga imejnya ‘nyantol’ pada Rano Karno, sosok Si Doel senantiasa memunculkan kisah yang menyelipkan aneka pesan moral.
BELAKANGAN ini, seiring Pilkada 2024, nama Si Doel muncul lagi. Aktor kawakan dan politikus Rano Karno yang mempopulerkannya kembali seiring Pilkada yang diikutinya. Rano menggunakan “Si Doel” di belakang namanya. Alasannya, agar masyarakat tidak kebingungan antara nama aslinya dan nama panggungnya karena toh pihaknya mengklaim nama “Si Doel”, yang identik dengannya sejak 1990-an, hasil aspirasi masyarakat.
Kendati telah beken akibat membintagi banyak film sejak belia, nama Rano Karno baru mendapatkan alias yang ikonik setelah membintangi Kasdullah alias “Si Doel” di sinetron Si Doel Anak Sekolahan (1994-2003). Imej karakternya begitu identik dengan Rano lantaran ia juga membintangi versi film sebelumnya, Si Doel Anak Betawi (1972) garapan sineas Sjuman Djaja, di mana ia juga berperan sebagai Si Doel.
Kendati pengembangan ceritanya berbeda jauh antara versi layar kaca dan layar lebar, ada rupa-rupa pesan moral di balik karakter Si Doel dan tokoh-tokoh di sekelilingnya. Terutama, soal stigma sebagai seorang anak Betawi yang lebih mengutamakan pendidikan agama dibanding pendidikan sekuler yang membuat anak-anak Betawi tertinggal dari anak-anak lain, sebagaimana pesan-pesan yang terselip dalam novel aslinya, Si Doel Anak Betawi (1932) karya sastrawan Minang Aman Datuk Madjoindo.
Baca juga: Aminah Cendrakasih Sebelum Jadi Mak Nyak
Aman yang lahir di Solok, Sumatera Barat pada 5 Maret 1896, menurut Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern, merantau ke Batavia (kini Jakarta) pada 1920. Cita-citanya sebagai penulis dirintis seiring berkarier Commissie voor de Volkslectuur (Balai Pustaka).
Salah satu karyanya, Si Doel Anak Betawi, diterbitkan Balai Pustaka pada 1932 dan turut diiklankan di suratkabar Persatoean Goeroe edisi 5 Juni 1932. Kisah dalam novel ini dekat dengan lingkungan pendidikan, mengingat Aman pernah menjadi guru di Solok (1912-1914) dan di Padang (1914-1919) sebelum merantau ke Batavia.
Cerita Abdoel Hamid alias Si Doel dikarang dengan dialek Melayu Betawi kental. Alasannya dialek itu lebih familiar bagi masyarakat di luar Batavia.
“Buku Si Doel Anak Betawi karangan Aman ini agak lain keadaannya dari buku-buku Melayu biasa keluaran Balai Pustaka karena percakapan-percakapan di dalamnya ditulis dalam bahasa Melayu Betawi yang dikenal orang di mana-mana. Digambarkan oleh pengarangnya dengan baik sehingga nyata bahwa perhatian anak-anak Betawi itu sangat kurang kepada sekolah-sekolah. Buku ini teruntuk bagi besar dan kecil tetapi terutama bagi anak-anak,” tulis suratkabar tersebut.
Baca juga: Sastrawan Peranakan yang Terlupakan
Novel tersebut terbilang laris. Karya Aman itu kemudian dimunculkan kembali dalam beberapa cetakan dan penyegaran premis yang menyesuaikan zaman. Salah satunya dalam cetakan kelima tahun 1951, di mana Aman mengubah tajuknya dari Si Doel Anak Betawi menjadi Si Doel Anak Djakarta.
“Karena nama ‘Betawi’ sudah hilang sama sekali dari perasaan, hanya nama ‘Djakarta’ jua yang terlintas di hati, maka saya tambahkan kembali nama itu jadi Si Doel Anak Djakarta,” tulis Aman dalam preambul cetakan kelimanya.
Potret Pendidikan Anak-Anak Betawi
Abdoel Hamid alias Si Doel di masa kolonial hidup sebagai anak yatim di permukiman miskin di jantung kota Batavia. Dia anak tunggal dari seorang nyak yang sangat relijius dan babe yang jawara silat dan berprofesi sebagai sopir truk. Begitu Aman melukiskan prolog novel Si Doel Anak Betawi.
Doel tumbuh jadi bocah yang pintar mengaji karena saban petang diajari membaca Al-Quran oleh engkongnya. Perlahan tapi pasti, Doel juga pintar menyerap ilmu-ilmu silat dari ayahnya hingga ia sering terlibat perkelahian dengan “anak-anak Kumpeni” alias anak-anak prajurit KNIL.
“Geng tiga serangkai anak Indo, Ambon, dan Melayu menjadi musuh bebuyutan Si Doel yang menyebut geng ini sebagai ‘anak Kumpeni’. Perlu diingat bahwa pada zaman kolonial Belanda sering merekrut orang Ambon sebagai tentara KNIL dan orang Melayu di sini mewakili anak-anak tentara yang hidup di tangsi yang memang sudah terkenal suka berkelahi,” tulis Keith Foulcher dalam Clearing A Space: Kritik Pasca Kolonial tentang Sastra Indonesia Modern.
Baca juga: Oplet, Moyang Angkot di Indonesia
Pikiran tentang pentingnya pendidikan modern yang sekuler ala Barat mulai hadir setelah babeh Si Doel meninggal akibat kecelakaan. Khususnya dari nasihat-nasihat nyak dan juga babe tirinya. Aman menggambarkan babeh tiri Si Doel bukan dari kalangan Betawi dan berprofesi sebagai montir mobil.
“Saya lihat orang di sini kurang suka menyerahkan anaknya ke sekolah. Mereka hanya diserahkan mengaji saja. Betul belajar mengaji dan agama itu sangat baiknya, tetapi sekolah jangan dilupakan. Karena dengan ilmu sekolah itulah sekarang orang dapat mencari hidup yang lebih baik,” kata babeh tirinya, dituliskan Aman.
Namun ketika nyak ingin menyekolahkan Si Doel, upayanya itu mendapat penentangan dari engkongnya Si Doel. Anggapan kolot saat itu mengkhawatirkan pendidikan sekuler akan membuat anak-anak Betawi menjadi murtad.
Baca juga: Nangke Lande Punye Cerite
Penggambaran tersebut begitu presisi. Jangankan mengenyam pendidikan tinggi, anak Betawi kala itu yang mengenyam sekolah dasar saja masih terbilang langka. Terbukti dari sangat terpinggirkannya etnis Betawi di sistem pemerintahan kolonial.
“Pada abad ke-20 jabatan-jabatan kebanyakaan diisi orang-orang yang berasal dari bagian lain pulau Jawa. Akibatnya tidak ada unsur elit Betawi di atas level wijkmeester (demang/lurah). Salah satu penyebabnya adalah tingkat pendidikan mereka yang rendah. Orang Betawi takut akan pendidikan barat karena mereka menganggapnya sebagai tahap pertama dalam Kristenisasi,” ungkap Lance Castles dalam Profil Etnik Jakarta.
Memang, engkong akhirnya insyaf bahwa pada kenyataannya tidak serta-merta anak Betawi yang mengenyam pendidikan modern ala Barat jadi murtad. Doel membuktikannya, dia tetap sekolah saat pagi, membantu nyak jualan nasi uduk begitu siang, bermain dengan teman-temannya anak-anak Sunda dan Melayu, hingga tetap belajar mengaji dengan engkongnya menjelang maghrib.
Baca juga: Benyamin Sueb, Ikon dari Kemayoran
Dalam “wajah” berbeda, pesan moral serupa dimunculkan sineas Sjuman Djaja yang meracik alih wahananya di layar lebar dengan tajuk yang sama, Si Doel Anak Betawi (1972). Lebih kentara lagi dengan sisipan soundtrack-nya, “Si Doel Anak Betawi” ciptaan Sjuman Tiasa yang digarap komposer RM Isbandi Soewardi dan dinyanyikan langsung oleh Rano Karno si pemeran Si Doel.
“Film Si Doel Anak Betawi beberapa scene-nya diselingi musik. Sekitar tiga lagu saya menyanyi. Dan (lagu ‘Si Doel Anak Betawi’) liriknya mudah diingat. Ilustrasi musiknya ada orkestranya segala. Isbandi, legenda musik di film yang menggarapnya,” kenang Rano Karno dalam Rano Karno: Si Doel.
Kelak, dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan (1994-2003) dan Si Doel Anak Gedongan (2005-2006), lagunya dinyanyikan kembali oleh boyband ME Voices. Pun dalam trilogi film Si Doel The Movie (2018), Si Doel The Movie 2 (2019), dan Akhir Kisah Cinta Si Doel (2020) lagunya disegarkan kembali oleh band Armada.
‘Anak Betawi, ketinggalan zaman,
Katenye...
Anak Betawi, enggak berbudaye, ‘
Katenye...’
Tambahkan komentar
Belum ada komentar