Mengaku Sosok Istimewa untuk Memikat Para Petani
Mengaku diri sebagai raja atau tokoh istimewa bukan kali ini saja terjadi. Dulu ada yang mengaku Sunan Kalijaga hingga Imam Mahdi.
Beberapa orang mengklaim dirinya sebagai titisan tokoh atau pemimpin pada awal 2020. Toto Santosa di Purworejo, Jawa Tengah, yakin dirinya adalah Raja Keraton Sejagat. Rangga Sasana di Bandung, bilang dirinya adalah Gubernur Jenderal Nusantara Teritory. Sebagian kecil orang mengikuti mereka. Mayoritas orang justru terbelalak kaget.
Tapi pengakuan diri seseorang sebagai titisan tokoh atau pemimpin bukan kali ini saja terjadi. Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjadi tonggak maraknya trend semacam ini. Kebanyakan terjadi di perdesaan dan menggaet pengikut dari kalangan petani.
Motifnya beragam. Dari keinginan mengembalikan kejayaan masa lampau, penipuan, sampai pemimpinnya ternyata mengidap gangguan jiwa. Fenomena ini terekam dalam arsip kolonial. Merata di seluruh bagian Jawa.
Mari mulai dari Jawa Barat, dari laporan G.A.F.J. Oosthout, Residen Priangan, kepada J.B. van Heutz, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, bertanggal 14 Januari 1907.
Cerita bermula dari laporan Saliin dan Bapa Masri, dua penduduk Kampung Cireunden, Sukabumi, ke Wedana Ciheulang. Keduanya melapor telah ditipu gurunya, Bapa Rahman. Awalnya Bapa Rahman mengumpulkan sanak saudaranya untuk dijadikan murid. Dia mengaku bisa memasukkan roh orang mati ke badannya sendiri. Elmu itu disebut ngadegdeg. Dia menyatakan pula dirinya sebagai jelmaan Ratu Pelabuhan. Panggilannya Juragan.
Bapa Rahman mendaku kehadiran dirinya ke dunia untuk memimpin perang melawan semua pejabat pemerintahan, baik Eropa maupun anak negeri. Dia melatih muridnya menari dan menggunakan senjata.
Baca juga: Gubernur Jawa Barat Menolak Beras Belanda
Untuk memulai perang, Bapa Rahman meminta murid-muridnya rela menyumbangkan harta benda. Saliin memberikan seekor itik, 10 batok beras, sejumlah uang, dan beberapa setel pakaiannya kepada Bapa Rahman. Saliin mulai curiga sehingga melapor ke wedana.
Wedana menindaklanjuti laporan Saliin. Dia, anak buahnya, dan polisi bergerak menggeledah rumah Bapa Rahman dan keluarganya. Dari penggeledahan itu, polisi menemukan senjata tajam dan barang sumbangan murid-murid Bapa Rahman. Polisi menahan Bapa Rahman, anggota keluarganya, dan segelintir muridnya.
Penahanan Bapa Rahman membakar amarah murid-murid lainnya. Mereka mengepung rumah wedana pada dini hari. Tapi wedana meloloskan diri dan melapor ke pejabat di atasnya. Murid-murid membubarkan diri.
Siang hari, murid-murid Bapa Rahman berkumpul di alun-alun desa sembari menari dan mengacungkan senjata. Polisi mendatangi lokasi dan mengajak mereka berdialog. Kesepakatan tercapai.
Murid-murid menurunkan senjatanya. Polisi menanyai mereka satu per satu lalu membawanya ke Sukabumi untuk diperiksa lebih lanjut.
"Berakhirkah pemberontakan yang tidak berarti itu. Korban dan kerugian dapat dikatakan tidak ada,” catat Oosthout seperti termuat dalam Laporan-Laporan tentang Gerakan Protes di Jawa Pada Abad XX, kodifikasi Arsip Nasional Republik Indonesia.
"Sunan Kalijaga" Menipu
Bergerak ke Jawa Tengah, kasus pendakuan diri sebagai tokoh legendaris juga muncul. Ini terekam dalam laporan K.J.A. Orie, Residen Semarang, kepada J.C. de Vos, Gubernur Jawa Tengah pada 14 Februari 1935.
Sekelompok tukang gerobak dari Desa Genuk menyerang pos polisi di Kaligawe, Semarang pada 4 Februari 1935. Penyerangan ini berpunca dari penghentian gerobak-gerobak di perbatasan Kaligawe oleh petugas pajak pada 1 Februari 1935.
Petugas pajak meminta tukang gerobak membayar pajak gerobaknya lebih dulu. Tenggat akhirnya tanggal 7 Februari. Selama itu belum lunas, tukang gerobak dilarang masuk ke kota Semarang.
Tukang gerobak lalu mengadakan pertemuan untuk membicarakan masalah itu di rumah Sukaeni, seorang mandor gerobak, pada Sabtu malam, 2 Februari. Ada 60-an orang berkumpul di sana.
Sukaeni memperkenalkan seorang lelaki sebagai inkarnasi Sunan Kalijaga, salah satu wali terkenal dalam masyarakat Jawa, kepada peserta rapat. Dia mengklaim lelaki itu tokoh keramat dan mampu memasukkan tukang gerobak ke kota Semarang tanpa bayar pajak gerobak. Caranya dengan membawa jimat bikinan Sunan Kalijaga. Harganya 3 sen untuk setiap jimat.
Baca juga: Sebelum Tobat, Sunan Kalijaga Pernah Jadi Begal
Kebanyakan tukang gerobak adalah petani miskin. Hasil tani mereka tak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Mereka menjadi tukang antar barang untuk menutup kebutuhan harian. Barang-barang diantar dengan gerobak. Dan tiap gerobak terkena pajak.
Adanya pajak gerobak mengurangi penghasilan petani. Karena itu mereka memilih cara ringkas untuk menghindari pajak. Tawaran Sunan Kalijaga pun diambil.
Sunan Kalijaga mengatakan tukang gerobak harus menunjukkan jimat pemberiannya kepada petugas pajak di pos pemeriksaan. Jika jimat sudah ditunjukkan tapi petugas pajak tak memperkenankan tukang gerobak masuk ke kota, tindakan petugas itu harus dilawan. Dan seperti itulah kenyataannya.
Baca juga: Minang Menolak Bayar Pajak
Petugas pajak melarang tukang gerobak masuk. Jimat tak berlaku. Karuan tukang gerobak mengamuk, mengikuti seruan Sunan Kalijaga. Polisi dan petugas pajak jadi sasaran. Mereka tidak menduga bakal diserang. Jatuh empat korban luka dari pihak polisi.
Bantuan untuk polisi datang. Situasi berbalik memihak polisi dan petugas pajak. Sebagian tukang gerobak tertangkap, sisanya melarikan diri.
Polisi menginterogasi tukang gerobak. Hasil interogasi menunjukkan biang kerok kerusuhan adalah Sukaeni dan R. Ahmad alias Sunan Kalijaga. Keduanya memanfaatkan tukang gerobak untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Sukaeni sebagai mandor gerobak mengaku rugi dengan penerapan pajak gerobak. Tukang gerobak tidak bisa masuk kota Semarang karena pajak. Larangan itu membuat penghasilannya berkurang. Karena itu dia mengklaim R. Ahmad sebagai Sunan Kalijaga agar bisa memperoleh uang dari penjualan jimat.
Gangguan Jiwa
Kasus pendakuan seseorang sebagai sosok tertentu di Jawa Timur lain cerita.
Moerakat, warga Desa Sukorejo, Distrik Ngoro, Afdeeling Jombang menghilang selama 15 tahun. Selama itu dia bertapa di Banyuwangi kepada seorang bernama Sapoedjagad.
Moerakat kembali ke desanya lagi, mengaku sebagai Imam Mahdi, dan mengabarkan kiamat sudah dekat. Dia melihat sebuah visi tentang masa depan dunia. Seluruhnya diliputi kegelapan selama 3 sampai 7 hari. Cahaya hanya muncul di kota Madinah. Di situlah dia akan menjadi raja.
Baca juga: Kiamat Kian Dekat
Moerakat mulai mengumpulkan orang. Saban kali menyampaikan khotbah, dia hadir bersama temannya bernama Sonotaroeno. Khotbahnya memikat 70—80 orang.
"Kepada mereka itu diberitahukan bahwa mereka harus menjalankan ibadah dengan baik, karena hari kiamat sudah dekat dan tidak lama lagi akan datang gangguan berupa sekelompok banteng," catat W.P. Hillen, Residen Surabaya kepada D. Fock, Gubernur Jenderal, 5 November 1921
Moerakat mengatakan banteng-banteng itu jelmaan malaikat. Barang siapa malas beribadah, banteng-banteng itu akan datang menyeruduk mereka. Tapi mereka bakal selamat bila mengikuti ibadah selayaknya Moerakat.
Polisi menganggap keyakinan Moerakat dapat mengganggu ketertiban umum. Mereka bergerak menangkap Moerakat dan Sonotaroeno. Tapi hanya Moerakat yang dihadapkan ke pengadilan. Sonotaroeno telah melarikan diri. Pengadilan memutuskan Moerakat menderita gangguan jiwa. Dia bebas dari segala tuduhan, tapi tetap berada dalam pengawasan polisi.
Baca juga: Cara Belanda Tangani Penderita Gangguan Jiwa
Seiring waktu berjalan, pengawasan polisi melemah. Moerakat bergerak lagi mengumpulkan orang pada April 1924. Kali ini dia bersama seorang bernama Ambijat. Moerakat menyatakan diri lagi sebagai Imam Mahdi, sedangkan Ambijat adalah patihnya dengan nama Damarwulan, tokoh legenda masyarakat Jawa.
Moerakat menyerukan pengikutnya supaya tak mengakui kekuasaan pemerintah. Dia mengutarakan janji-janji keselamatan kepada para pengikutnya. Dengan mengikutinya, orang-orang akan selamat. Dia berencana memproklamasikan dirinya menjadi raja pada hari Lebaran.
Tapi sebelum hari lebaran tiba, polisi menangkap Moerakat untuk kali kedua, lalu memasukannya ke RSJ Lawang, Malang. Polisi juga menciduk Ambijat dan meminta RSJ Lawang memeriksa keduanya.
Hasil observasi RSJ Lawang keluar. Skizofrenia Moerakat kambuh sehingga harus dirawat di RSJ, sedangkan Ambijat bebas.
Terhadap peristiwa-peristiwa tadi dan mengapa petani percaya pada gagasan orang-orang tersebut, Sartono Kartodirdjo, begawan sejarawan Indonesia, punya jawabannya. Dalam “Mitos Ratu Adil dan Aspirasi Petani,” termuat di Prisma, 1 Januari 1977, Sartono menyebut peristiwa tadi sebagai protes petani. Ia lahir dari keadaan masyarakat perdesaan yang tertekan akibat perubahan sosial setelah masuknya sistem ekonomi uang, pajak, dan tata nilai baru.
Petani pun kehilangan arah dan ingin mengembalikan keadaan seperti zaman lampau. Kebetulan muncul orang-orang yang memanfaatkan gagasan seperti itu. Sehingga kloplah antara harapan dari petani dan tawaran yang datang dari tokoh-tokoh tertentu.
"Munculnya seseorang yang mengambil peranan sebagai Ratu Adil merupakan kondisi yang cukup untuk melancarkan suatu gerakan," ungkap Sartono. Tapi dia mengingatkan gerakan itu tak pernah berumur panjang dan meluas.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar