Memperjuangkan Indonesia Lewat Bahasa
Pejuang pendidikan yang menggunakan bahasa untuk memperjuangkan berdirinya Indonesia. Menuangkan hasil Kongres Pemuda 1928 ke dalam kurikulum Taman Siswa.
MESKI terbilang masih muda, 24 tahun, Sarmidi Mangunsarkoro menyampaikan pidato dengan lantang ketika menjadi pembicara di sesi pertama hari kedua Kongres Pemuda tahun 1928. Dalam sesi dengan tema pendidikan kebangsaan itu, Mangunsarkoro menyampaikan gagasan tentang pentingnya kebudayaan bangsa untuk dijadikan landasan pendidikan putra-putri Indonesia.
Menurutnya, pendidikan yang berlandaskan kebudayaan bangsa sendiri akan menjadi pupuk istimewa untuk menyuburkan pengetahuan.
“Beliau bicara tentang pentignya pendidikan kebangsaan, pendidikan yang seimbang antara sekolah dan rumah, dan pendidikan demokrasi,” kata Anik Yudhastowo Mangunsarkoro, menantu Mangunsarkoro, pada Historia.
Jalan Hidup Mangunsarkoro
Mangunsarkoro, anak priyayi rendah yang lahir di Surakarta pada 23 Mei 1904, mengenyam pendidikan dasar sekolah ongko loro. Dia setelah itu melanjutkan sekolah di Yogyakrta, pertama di Prinses Juliana School lalu ke Sekolah Guru Arjuna. Lulus dari Sekolah Guru Arjuna, dia langsung berkecimpung dalam dunia pendidikan sembari menulis tentang pendidikan. Beberapa tulisannya seperti pendidikan nasional, ilmu kemasyrakatan, dan masyarakat sosialis.
Mulanya, Mangunsarkoro mengajar di Taman Muda Perguruan Taman Siswa, Yogyakarta. Setelah pindah ke Jakarta, dia menjadi kepala sekolah HIS Budi Utomo dan kepala sekolah HIS Marsudi Rukun tahun 1929.
Sebagai sesama mantan guru Taman Siswa dan orang yang memperjuangkan pendidikan, Mangunsarkoro bekerjasama dengan Ki Hadjar Dewantara. Mangunsarkoro Ialu mengutarakan keinginannya untuk mendirikan Taman Siswa di Jakarta. Atas restu Ki Hadjar dan bantuan Mohamad Husni Thamrin, berdirilah Perguruan Taman Siswa Jakarta pada 1926 dengan modal 500 gulden.
Perguruan yang terletak di Jalan Garuda No.71 Kemayoran itu merupakan penyatuan dari HIS Budi Utomo dan HIS Marsudi Rukun yang dipimpin Mangunsarkoro. Perubahan dari HIS ke Perguruan Taman Siswa menjadi titik mula penanaman bibit-bibit kebangsaan di Jakarta. Dwi Rahmanto Yahya dalam tulisannya, “Peranan Ki Sarmidi Mangunsarkoro Dalam Bidang Pendidikan”, menyebut warga Kemayoran menyambut baik pendirian Perguruan Taman Siswa Jakarta ini.
Kerjasama Ki Hadjar Dewantara terus berlanjut hingga 1930. Menyepakati hasil Sumpah Pemuda, Ki Hadjar meminta Ki Mangunsarkoro menyusun rancangan pelajaran baru yang mengacu pada hasil Kongres Pemuda 1928. Pada rancangan baru ini pengajaran ditekankan untuk mengajarkan bahasa Indonesia pun bahasa pengantar yang digunakan. Kesempatan ini digunakan Mangunsarkoro untuk menuangkan ide-idenya tentang pendidikan bagi bangsa Indoensia. Rancangan ini kemudian disahkan pada 1932 dan menajdi kurikulum Taman Siswa, dikenal sebagai Daftar Pelajaran Mangunsarkoro.
Pengajaran bahasa Indonesia pun dimasukkan dalam Daftar Pelajaran Mangunsarkoro. Perubahan bahasa pengantar di Perguruan Taman Siswa menjadi bentuk perlawanan politis Mangunsarkoro lewat bangku sekolah. Kala itu, dan bahasa resmi dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah Belanda adalah bahasa Belanda.
Usaha-usaha melanggengkan bahasa Indonesia terus dilakukan hingga Indonesia merdeka. Lewat Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 1532/A, pemerintah pada 26 Februari 1948 mendirikan Balai Bahasa yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Mangunsarkoro masuk dalam Dewan Penasihat bersama Dr. Poerbatjaraka, Dr. Prijana, Dr. Priohutomo, Dr Soemadi, dan Ki Hadjar Dewantara.
Satu tahun setelah duduk di Balai Bahasa, Mangunsarkoro dipercaya menjadi menteri pendidikan, menggantikan Ali Sastroamidjojo. Saat dilantik, Mangunsarkoro mengenakan sarung dan peci sampai-sampai media meledeknya sebagai Ki Mangunsarungan.
“Tahun 1949 bentuk negara masih RIS, beliau tidak sepakat dengan itu. Beliau bersumpah kalau Indonesia belum menjadi negara kesatuan, seterusnya akan memakai sarung dan tidak akan pernah mengenakan celana karena sarung dan peci bagi beliau itu pakaian kebangsaan,” kata Anik.
Semasa menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Mangunsarkoro ikut menggagas UU No. 4 tahun tahun 1950 yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan pendidikan. Regulasi itu mencakup penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dan pendidikan gratis untuk murid-murid sekolah rendah serta berkebutuhan khusus.
Perjuangan Mangunsarkoro baru berhenti tahun 1957 ketika radang selaput otak mengakhiri hidupnya. Kepergian Mangunsarkoro mengejutkan rekan-rekan seperjuangannya, seperti Natsir dan Hamka. “Natsir dari Masyumi beda pandangan dengan Ki Mangunsarkoro yang PNI tapi ketika kepergiannya, Natsir menangis mendengar kabar kepergian Mangunsarkoro yang mendadak,” kata Anik.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar