Kuntilanak dan Pontianak
Di balik kisah horornya, Pontianak jelas punya sejarah. Dibuka oleh seorang Syarif.
BERITA tentang peretasan Pusat Data Nasional (PDN) yang sempat viral beberapa waktu lalu menyasar beberapa instansi pemerintah pusat. Namun, peretasan itu sampai pula ke daerah. Pontianak ikut jadi korban peretasan. Universitas Tanjungpura selaku kampus paling bergengsi di ibukota Kalimantan Barat itu juga kena retas.
“Server Universitas Tanjungpura Pontianak diretas dan sebabkan bocornya 52 ribu data. Data yang bocor antara lain ID, email, nama pengguna, kata sandi dan nomor telepon,” demikian kumparan.com, 15 Juli 2024, memberitakan.
Kota yang dibelah Sungai Kapuas itu memang kerap “terkena” berita miring. Dalam hal paling dasar pun, yakni nama, Pontianak tak bisa dilepaskan dari “berita” miring.
Jauh sebelum Suzanna dikenal karena aktingnya sebagai kuntilanak dalam film-film horornya, kota Pontianak sudah lama diidentikkan dengan kuntilanak. Pontianak bahkan dianggap sebagai nama lain dari kuntilanak.
Kuntilanak adalah hantu yang dipercaya berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia. Hantu semacam ini tak hanya dipercaya di Kalimantan Barat ataupun Jawa, di Thailand pun juga.
Di Pontianak, kisah tentang kaitan kuntilanak dan nama kota itu dimulai oleh cerita rakyat (folklore) yang mengisahkan tentang Sultan Syarif Abdurahman bin Husin Alkadrie (1729-1807) sang pendiri Kesultanan Pontianak. Dalam cerita rakyat dikisahkan, Sultan Syarif Abdurrachman suatu ketika hendak membuka sebuah negeri di Kalimantan Barat. Ketika dia memulai pendirian daerah itu, konon pontianak (kuntilanak) datang untuk mengganggunya.
Sultan yang geram lalu menembaki pontianak (kuntilanak) itu dengan meriam. Pontianak itu pun lari kocar-kacir.
Keberhasilan sultan mengusir pontianak (kuntilanak) mudian menimbulkan kepercayaan di masyarakat bahwa hanya golongan Sayyid atau Syarif (keduanya golongan keturunan Nabi Muhammad SAW) beserta keturunan mereka yang dapat mengusir hantu jenis itu.
“Sama sekali hal yang seperti ini adalah cerita yang tidak berdasar, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut ilmu pengetahuan dan inilah sisa-sisa kepercayaan jahiliyah yang masih ada pada orang yang masih berpikir sederhana,” kata Buya Hamka membantah dalam Tafsir al-Azhar Jilid 8 Diperkaya dengan Pendekatan Sejarah, Sosiologi, Tasawuf, Ilmu Kalam, Sastra, dan Psikologi.
Kendati dibantah Hamka lantaran tidak rasional, tetap saja negeri/kota yang didirikan Sultan Syarif Abdurahman itu dinamai Pontianak. Apa yang terjadi dalam sejarah Kesultanan Pontianak adalah sedari awal penguasa atau sultan Pontianak adalah keturunan Syarif dengan nama belakang yang dilafalkan al-Qodri atau Al Qadrie atau Alkadrie.
Sultan Syarif Abdurahman membuka daerah yang belakangan menjadi Pontianak itu di wilayah Kesultanan Mempawah setelah ayahnya meninggal. Pusat kerajaan tersebut berdiri pada 23 Oktober 1771.
“Kota Pontianak pada mulanya merupakan sebuah tanjung di persimpangan Sungai Kapuas Besar, Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Landak. Konon tempat ini dulunya dihuni hantu kuntilanak (pontianak), yang kemudian menjadi nama kota tersebut,” catat M. Junus Melalatoa dalam Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jilid L-Z.
Daerah kesultanan itu berkembang sebagai kota dagang. Kota Pontianak menjadi persinggahan bagi para pedagang dari luar yang hendak membeli komoditas dari pedalaman Kalimantan Barat. Selain orang Melayu, pedagang dari luar itu juga datang dari sekitar Sumatra, atau dari Sulawesi seperti orang Bugis.
Sebagai daerah transit yang strategis, Pontianak cepat maju. Banyak pedagang dari luar itu kemudian menetap di wilayah Kesultanan Pontianak.
“Pedagang-pedagang yang datang dari berbagai daerah Nusantara dan luar Nusantara sebagian menetap dan mendirikan pemukiman setelah mendapat izin dari sultan untuk membuka hutan. Para pedagang pendatang yang menetap mendirikan perkampungan,” catat Hasanuddin dalam Pontianak, 1771-1900: Suatu Tinjauan Sejarah Sosial Ekonomi.
Sebagaimana di daerah-daerah lain Nusantara, perkampungan di pesisir Pontianak juga cukup heterogen. Orang Melayu, Orang Dayak, dan suku-suku lain berbaur dan saling kawin di sana. Maka, lahirlah orang-orang dengan darah yang bercampur.
Orang Pontianak dianggap sebagai Melayu-Pontianak. Mereka merupakan keturunan orang Dayak atau penduduk etnis-etnis lain yang bercampur dengan Melayu sejak lama.
“Di kerajaan-kerajaan pantai di samping usaha bertani dan berkebun, penduduk hidup juga dari usaha berdagang. Pertanian secara menetap terutama hanya terdapat di daerah-daerah kerajaan yang ada di pantai, sedang di daerah-daerah pedalaman penduduk masih tetap menyelenggarakan usaha bertani yang berpindah-pindah tempat,” kata buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Barat yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan lewat Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar