Kisah Pengorbanan Seorang Babu
Orang Belanda awalnya memandang buruk babu dari Hindia Belanda. Namun, peristiwa kebakaran mengubah pandangannya.
CORNELIS Eliza van Koetsveld, ahli teologi asal Belanda, tidak pernah tinggal di Hindia Belanda. Ia tidak tahu pasti bagaimana gambaran tentang Hindia Belanda. Dalam memoarnya, Op de Wandeling En Bij Den Haard Vertellingen Aan Mijne Jeugdige Vrienden yang terbit pada 1870, Koetsveld mengaku belum pernah melihat bagaimana bentuk fisik orang-orang Hindia Belanda. Ia hanya mengetahui bahwa gambaran manusia Hindia Belanda berkulit putih, tinggi, bermata terang, serta berambut pirang.
Koetsveld baru melihat orang dari Hindia Belanda setelah tantenya, Remeerda yang tinggal di Hindia Belanda, pulang sejenak ke Belanda. Ia membawa seorang babu Jawa yang mengurus rumah tangga dan mengasuh keponakannya yang masih bayi, Mary. Koestveld pun mendapat gambaran bagaimana bentuk fisik orang dari Hindia Belanda serta mendapatkan pengalaman diasuh oleh babu.
“... Ketika ia tersenyum dengan giginya seperti itu, ia hampir membuatku takut. Sungguh menyeramkan ketika mata putih itu menembus wajah cokelatnya. Ia selalu mencium Mary kecil dengan bibirnya. Aku tidak akan mengizinkan itu jika aku menjadi bibi. Tampaknya, makhluk itu sangat menyayangi anak-anak. Ia berlari ke arah Cornelis dan aku, lalu mengulurkan tangannya. Tangan cokelat yang menjijikkan! Aku sudah mencuci tanganku sebanyak tiga kali!” tulis Koetsveld.
Koetsveld merasa jijik saat pertama kali bertemu dengan babu tersebut. Bahkan, ia menyebut babu sebagai monyet yang mengenakan pakaian sehingga membuatnya ketakutan. Ia selalu menghindar dan menjaga jarak agar tidak begitu dekat dengannya. Koetsveld menganggap babu dari Hindia Belanda sebagai sosok mengerikan dan menakutkan, sangat berbeda secara fisik dengan orang-orang Belanda.
Ridha H. Budiana dalam skripsinya, “Kedudukan Pekerja Rumah Tangga Perempuan (Babu) dalam Kehidupan Orang Eropa di Hindia Belanda”, di Universitas Padjadjaran tahun 2021, menjelaskan ada kejadian yang mengubah pandangan Koetsveld terhadap babu.
“Di suatu sore, orang tua Koetsveld mengunjungi rumah tante dan paman Remeerda yang berada di sebuah rumah susun tepat di atas toko roti. Di saat itu pula terjadi kebakaran yang apinya dipicu dari oven pemanggang roti,” tulis Budiana.
Kebakaran membuat suasana di sekitar rumah susun menjadi tegang. Orang-orang berhamburan menyelamatkan diri, termasuk Koetsveld, orang tuanya, dan pasangan Remeerda. Mereka melompat dan melemparkan anak-anak mereka dengan bantuan alas pelindung ke bawah gedung. Mereka semua selamat meskipun mendapatkan luka-luka ringan. Karena suasana tegang dan semua orang fokus menyelamatkan diri sendiri dan keluarganya, mereka lupa dengan bayi Mary dan babu.
Mereka pun meneriaki, dalam bahasa Melayu, babu agar turun dan melompat. Namun, ia tidak kunjung melompat. Ia begitu kalut melihat api yang berkobar dan sontak teringat dengan anak asuhnya, bayi Mary yang terbaring dan menangis di kamar belakang.
Baca juga: Pengasuh Anak di Masa Kolonial
“... Orang-orang berteriak dari bawah, ‘Selamatkan dirimu, lompat!’ dilengkapi dengan isyarat yang tidak dimengerti orang Melayu. Melompat dari bangunan tinggi tentu tidak akan sulit bagi babu. Betapapun lambatnya mereka, orang Melayu itu gesit dan cepat,” tulis Koetsveld.
Babu menggendong Mary menggunakan selendangnya. Ia meletakkan bayi mungil itu di dadanya agar terlindung dari kobaran api. Ia juga menanggalkan pakaiannya untuk menutupi tubuh Mary. Lalu, dengan berani, babu menerjang api dan melompat.
Meskipun Mary selamat, babu mengalami luka bakar serius akibat kain yang digunakan untuk melindungi Mary menempel di tubuhnya. Ia dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan, namun hanya bertahan beberapa hari kemudian meninggal dunia.
Baca juga: Riwayat Tempat Penitipan Anak
Kejadian tersebut membuat Koetsveld menyadari pandangannya terhadap babu tidaklah benar. Sebaliknya, babu adalah seorang yang tulus dan penuh kasih, bahkan rela mengorbankan nyawanya. “Oh, Mama! Orang dengan kulit cokelat itu pasti memiliki jiwa yang baik, setia, dan tulus!” kata Koetsveld.
Dalam memoarnya, Koetsveld menuturkan jika diberi kesempatan untuk bertemu lagi dengan babu, ia akan mencium tangannya tanpa perlu mencuci tangan hingga tiga kali. Meskipun tak pernah mengenal Hindia Belanda secara langsung, namun ia memiliki kenangan akan tanah jajahan itu melalui kesetiaan seorang babu.
Apa yang diceritakan Koetsveld cukup menjadi bukti, meskipun ada jarak antara babu dan majikan yang dilatarbelakangi perbedaan ras dan budaya, hal tersebut tidak membatasi seorang babu untuk berdedikasi pada keluarga Eropa.*
Penulis adalah educational content development specialist.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar