Kisah Baju Seksi "You Can See"
You can see busana terbuka. Datang ke Indonesia melalui film dan majalah mode. Memicu perdebatan.
YOU can see busana tanpa lengan untuk perempuan. Biasanya berupa dress atau gaun terusan sebatas lutut, di atas lutut, atau di bawah lutut. Di negeri Barat, orang menyebutnya sleeveless dress. Di Indonesia, khalayak menamainya you can see.
Istilah you can see sangat sohor dalam dekade 1950-an. Beroleh istilah demikian tersebab khalayak bisa melihat ketiak (you can see ket), sebagian payudara (you can see dad), dan lengan si perempuan pemakai. “Meskipun kadang-kadang kita lihat juga nampak panunya atau penyakit kulitnya,” tulis Sunday Courier, 13 Februari 1955.
Kehadiran you can see menimbulkan polemik sengit dan luas. Ia menjadi buah bibir kaum perempuan, laki, kalangan terdidik, politisi, dan polisi. Ia membelah khalayak di Surakarta, Yogyakarta, Kediri, dan Jakarta. Sekelompok orang menentang, selingkar lainnya menerima you can see.
Penentang you can see berdalil busana ini kreasi negeri Barat. Tak laras dengan wanita Indonesia. “Mengenai jurk (gaun, red.) you can see yang menjadi persoalan ramai sekarang ini, sejak ia menjadi mode, kita sudah menyatakan bahwa mode ini tidak tepat bagi kaum wanita kita. Pakaian ini adalah tepat bagi wanita Barat...,” tulis Dunia Wanita, 4 Februari 1955.
Keberatan terhadap you can see berkisar pula pada kesusilaan. Dunia Wanita menilai busana ini melanggar kesusilaan timur. Kalau khalayak menerima you can see, kesusilaan timur bakal rusak. Laki-laki akan kehilangan akal sehat. Mereka memandang perempuan secara bernafsu. Perempuan pun terancam. “…jurk ini juga memancing kemarahan berahi kaum laki-laki… akibatnya kita kaum wanita yang memakai pakaian demikian menjadi stimulan bagi kaum pria untuk mengganggu kita.”
Penentang you can see bersuara kian keras. Mereka menyeru, “Kaum ibu dan organisasi wanita harus ikut memberantasnya,” tulis Dunia Wanita No. 6, Maret 1955. Mereka mengajak para pendidik, pemuda, kaum tua, dan agamawan turut membantu gerakan memberantas you can see. Salah satunya dengan usulan razia oleh pemerintah terhadap pemakai you can see.
Pemerintah agak berpihak pada penentang you can see. Mereka berjanji akan segera melarang penggunaan you can see. Tapi sejumlah orang tak bertanggungjawab bergerak mendahului rencana pemerintah.
Seorang gadis pemakai you can see di Yogyakarta menjadi korban pengguntingan busana you can see oleh orang tak bertanggung jawab. “Setelah pulang dari nonton bioskop mengetahui bahwa rok yang dipakai untuk menarik perhatian para lelaki itu digunting waktu pertunjukan film sedang berlangsung,” tulis Sunday Courier No 13, 1955.
Karuan perempuan pemakai you can see ketar-ketir. “Aku kini sudah agak risih memakai baju you can see. Sudah deg-degan, jangan-jangan aku kelak tercegat oleh tukang gunting baju,” keluh seorang gadis di Jakarta kepada Minggu Pagi, 20 Februari 1955.
Jengah dengan tindakan semena-mena, pendukung you can see bersuara. Seorang polisi terang mengaku tak setuju dengan razia pemakai you can see. “Menurut sepanjang pengetahuanku hingga kini belum ada pemerintah menentukan lengan baju wanita harus sekian panjangnya, bentuk dada harus sebegini, dan sebagainya,” kata seorang polisi kepada Minggu Pagi, 23 Januari 1955.
Ketimbang merazia pemakai you can see, pendukung you can see justru meminta pemerintah lebih dulu memperhatikan model busana terbuka lain. “Misalnya pakaian serimpi, bedoyo, tandak harus diubah,” tulis Sunday Courier No. 13, 1955.
Pendukung you can see juga mempertanyakan mengapa khalayak tak bertindak terhadap pemandangan tepi kali Ciliwung, Jakarta. Mereka bilang banyak perempuan ber-you can see all di sana. Lebih menggoda ketimbang perempuan pemakai you can see. “Dan biasanya kalau orang lihat sedikit tentu ingin lihat lebih banyak. Tapi kalau sudah lihat semua, dianggapnya… biasa! Terserahlah!” tulis Sunday Courier No. 13, 1955.
Razia sepihak terhadap you can see tak menghentikan perempuan untuk memakainya. Kini sebagian besar orang mulai mafhum dengan pemakai you can see. Dan segelintir lagi masih terjebak pada perdebatan lama.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar