Ketika Paus Sastra Indonesia Menerjemahkan Max Havelaar
Selama lebih dari seabad Max Havelaar tidak diterjemahkan ke bahasa Indonesia. H.B. Jassin melakukannya dan berhasil.
Hans Bague (H.B.) Jassin, Paus Sastra Indonesia, telah meninggal dunia 20 tahun lamanya (11 Maret 2000). Tapi amalnya semasa hidup terus kekal hingga kini. Dia berjasa mengembangkan kehidupan, dokumentasi, dan penerjemahan sastra di Indonesia. Di bidang terakhir, amal Jassin paling kesohor ialah menerjemahkan novel Max Havelaar karya Eduard Douwes Dekker alias Multatuli serentang 1971–1972.
Sastrawan Eka Budianta berpendapat terjemahan Jassin sangat halus. Bahkan cenderung melankolik. “Dia mengarahkan Max Havelaar ke bacaan keluarga,” kata Eka kepada Historia, usai mengisi acara "H.B. Jassin Sang Penjaga Sastra" di Bentara Budaya Jakarta, 12 Maret 2020.
Eka mencontohkan bagian ini. Aku tidak tahu di mana aku akan mati. Kulihat lautan luas di pantai selatan. Ketika aku membuat garam di sana bersama ayahku.
“Saya terpesona pada nyanyian Melankolis Saidjah yang terasa mendalam di hati Havelaar. Saya tidak menyangka bahwa untuk membuat garam di masa kolonial diperlukan keberanian. Mengapa? Karena produksi garam dimonopoli oleh pemerintah,” catat Eka dalam “Harapan, Keberanian, Kemanusiaan Kita”, makalah pada Festival Multatuli di Rangkasbitung, 10 September 2019.
Baca juga: Menemukan Kembali Saidjah dan Adinda
Saidjah (Saijah ejaan sekarang, red.) adalah salah satu tokoh dalam Max Havelaar. Dia penduduk Lebak, Banten, dan menjadi korban kesewenang-wenangan penguasa setempat. Max Havelaar adalah Asisten Residen di Lebak. Dia personifikasi Eduard Douwes Dekker, penentang polah sewenang-wenang penguasa.
Sebelum Jassin menerjemahkan Max Havelaar, buku ini mempunyai cerita panjang hingga sampai ke tangan Jassin.
Max Havelaar memuat kisah perilaku menyeleweng Bupati Lebak, sikap abai atasan Dekker terhadap penyelewengan, kondisi orang tempatan yang rudin, dan hayat Max Havelaar sebagai tokoh utamanya.
Terbit perdana di Belanda pada 14 Mei 1860, Max Havelaar cepat menggetarkan Negeri Belanda. Orang-orang jadi mafhum keadaan penduduk di negeri koloni. Banyak orang percaya bahwa kisah ini faktual. Segelintir lainnya tidak. Tapi mereka diam-diam membenarkan gagasan kemanusiaan di dalamnya.
Kemudian Max Havelaar masuk ke Jawa pada Oktober 1860. Surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad mengulas buku itu dalam edisi 27 Oktober 1860. Sepenggal ulasannya berupa pujian kepada hasil kerja Multatuli.
"Apa yang ia tulis telah mendapatkan tempat terhormat di antara harta yang berharga daripada kesusastraan kita," tulis Herman des Amorie van der Hoeven, redaktur surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad seperti dikutip Willem Frederik Herman dalam Multatuli yang Penuh Teka-Teki.
Tahu dari Guru
Sirkulasi Max Havelaar mendorong perubahan secara bertahap di Hindia Belanda.
"Boleh dikatakan bahwa sejak tahun 1860 muncullah suatu generasi baru dalam kalangan pegawai BB (Binnelaand Bestuur atau pegawai negeri Hindia Belanda berkebangsaan Belanda, red.) yang diutus dari Belanda. Mereka hampir semua pernah membaca buku tersebut, mereka hampir semua kurang lebih terpengaruh oleh ide-idenya," ungkap Rob Nieuwenhuys dalam Bianglala Sastra: Bunga Rampai Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia.
Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan untuk memperluas pendidikan untuk kalangan anak negeri. Sekolah didirikan, lalu muncullah kaum melek huruf latin. Mereka juga mampu berbahasa Belanda. Dan pada akhirnya, mereka mengenal Max Havelaar. Generasi ini bersambungan hingga awal abad ke-20.
Jassin sebagai generasi kelahiran 1917 memperoleh pendidikan cukup baik. Ayahnya gila baca. Begitu pula dirinya. Dia pertama mengetahui Max Havelaar dari M.A. Duisterhof, guru sekolah dasarnya (dulu disebut Hollandsch-Inlandsche School).
Duisterhof membacakan sebagian cerita dalam Max Havelaar kepada murid-muridnya di kelas. Antara lain penggalan pidato Max Havelaar kepada orang-orang di Lebak dan romansa Saijah dan Adinda.
“Meskipun kami sebagai anak kelas lima belum mengerti segalanya, kami merasa pidato dan cerita itu bagus sekali karena keindahan bunyi dan irama dan terutama karena pandainya kepala sekolah kami membacakannya,” kenang Jassin dalam “Saya dan Max Havelaar”, termuat di Horison, November 1973.
Sejak itu nama Multatuli bermukim di benak Jassin. Menurutnya, Multatuli menulis dari rasa keadilan yang dimengerti oleh setiap orang. “Max Havelaar bukan saja suatu dokumen sejarah tapi juga suatu gagasan terhadap keburukan-keburukan yang terasa aktuil dalam setiap masyarakat,” kata Jassin.
Karena muatan termaksud, Jassin menduga bahwa Balai Pustaka, penerbit milik pemerintah kolonial di mana dia juga bekerja di dalamnya, enggan menerjemahkan dan menerbitkan Max Havelaar.
Tidak Layak dan Raib
Begitu Indonesia merdeka, sentimen anti-Belanda menguat. Tapi tidak pada Max Havelaar. Bakrie Siregar, sastrawan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), memelopori penyaduran sejumlah bagian cerita itu.
Tapi selama lebih dari satu abad usia Max Havelaar, ia belum pernah diterjemahkan dan diterbitkan secara utuh dalam bahasa Indonesia.
D.N. Aidit, ketua CC PKI, pernah menyebut alasan mengapa Max Havelaar belum ada terjemahannya.
“Ada kawan-kawan yang berpendapat bahwa karya-karyanya tidak bisa dimasukkan ke dalam sastra Indonesia karena ditulis dalam bahasa asing, bahasa Belanda,” kata Aidit dalam pidato bertajuk “Kapan Ronggowarsito dan Multatuli Diterjemahkan", 1 September 1964.
Baca juga: DN Aidit: PKI menentang pemretelan terhadap Pancasila
Aidit menekankan pentingnya penerjemahan Max Havelaar. “Multatuli dalam karya-karyanya mengungkapkan tema-tema Indonesia dan ia menulis dengan kecintaan yang besar kepada rakyat Indonesia,” kata Aidit. Dia menyeru kepada para sastrawan untuk jangan bersikap pasif terhadap karya Multatuli.
Kemudian para sastrawan menyambut seruan itu. Tapi sayang hasil terjemahan mereka tak pernah terbit. “Karena tidak memenuhi syarat untuk diterbitkan,” catat Horison, November 1973.
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia, juga pernah menyelesaikan terjemahan Max Havelaar. Tapi manuskrip terjemahan itu raib ketika Pram diasingkan ke Pulau Buru saat Orde Baru berkuasa.
Terjemahan Laris
Jassin menyambung segala ikhtiar penerjemahan orang-orang sebelumnya. Masanya pun klop. Pemerintah Indonesia-Belanda menyetujui beberapa kesepakatan budaya ketika itu. Jassin pun memperoleh subsidi dari pemerintah Belanda untuk menerjemahkan Max Havelaar.
Jassin mengaku menerjemahkan Max Havelaar dengan nikmat. “Saya menikmati bahasa dan gayanya, pikiran-pikiran, dan rasa kemanusiaannya, saya geli membaca tingkah Droogstoppel (salah satu tokoh dalam Max Havelaar, red.) yang sok pintar dan uraian-uraian ‘logikanya’ yang kontradiktoris dan saya turut merasakan dengan Max Havelaar yang dipersalahkan, yang berjuang untuk hak dan keadilan,” terang Jassin.
Kesulitan menerjemahkan tentu ada. Jassin tak memungkiri. Dia memang fasih berbahasa Belanda. Tapi Max Havelaar mengandung kata-kata dan idiom dari masa seabad silam. Banyak kata dan idiom sudah tak terpakai lagi pada masa dia menerjemahkan. Dia harus menyesuaikan semua itu agar terjemahan bisa masuk ke pembaca semasa.
"Saya sebisa-bisanya mempergunakan bahasa Indonesia percakapan dengan kata-kata yang diambil dari dialek Jakarta, sebab Multatuli mempunyai gaya yang paling tepat dapat dinyatakan dengan bahasa pergaulan Indonesia biasa," kata Jassin.
Contoh kata-kata terjemahan itu antara lain: konyol, brengsek, melotot, ngeluyur, dan setan alas. Selain dialek Jakarta, Jassin menyertakan pula khazanah kata Melayu dan Minangkabau dalam penerjemahan, seperti kata memiuh, belia, kakas (keras), menghala (menuju atau mengarah), menggalakkan (mendorong), peluang, dan sebati (inheren).
Jassin mendiskusikan terjemahannya dengan A. Teeuw, pakar sastra Indonesia dari Universitas Utrecht. Jassin fasih berbahasa Belanda, tapi tetap meminta orang lain mengoreksi kesalahannya. Ini terungkap dalam suratnya kepada Teeuw, 16 Februari 1972.
"Syukur sekali saudara sudi membacanya dan membandingkannya dengan aslinya, sehingga dapat dihindarkan beberapa kesalahan menyolok karena kekurangtelitian dan kadang-kadang juga kekurangmengertian dalam bahasa Belanda," tulis Jassin dalam Surat-Surat 1943–1983.
Baca juga: Gugatan Eduard Douwes Dekker
Terjemahan Jassin diterbitkan oleh Djambatan. Hasilnya laris manis. Lima ribu eksemplar cetakan pertama pada pertengahan 1972 habis terjual. Atas kerjanya itu, Jassin memperoleh undangan Panitia Inti Persetujuan Kebudayaan untuk bertamu ke Belanda pada September 1972.
Sesampai di Negeri Belanda, Jassin bekerja mendokumentasikan catatan-catatan sastra Indonesia yang tersimpan di badan arsip dan perpustakaan setempat. Dia juga mendapat kabar bahwa karya terjemahannya masuk nominasi penghargaan Martinus Nijhoff.
Martinus Nijhoff adalah penghargaan yang diinisiasi oleh Prins Bernhard Fonds untuk kategori terjemahan puisi, drama, atau prosa yang istimewa karena nilai sastranya. Dan Jassin akhirnya terpilih sebagai pemenangnya.
Di Indonesia, terjemahan Jassin terus mengalami cetak ulang tiap dekade. Sekarang sejumlah penerbit menerjemahkan ulang Max Havelaar dengan bahasa yang lebih bisa ditangkap generasi sezaman. Tapi mereka tetap menaruh terjemahan Jassin di tempat terhormat, sebagai pembanding atau rujukan utama terjemahan mereka.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar