Ken Angrok di Layar Perak
Kisah Ken Angrok diangkat ke layar perak. Wataknya ditampilkan apa adanya sebagai pemuda brandalan, perampok hingga penjudi.
PEMUDA itu tampil gagah. Penampilannya yang selalu bertelanjang dada menonjolkan tubuh bagian atasnya yang bidang dan lengannya yang kekar. Rambutnya dibiarkan tergerai hingga bahu. Wajahnya ditumbuhi kumis lebat. Kulitnya kuning langsat. Begitulah kira-kira penggambaran tokoh Ken Angrok (diperankan George Rudy) dalam film Ken Arok dan Ken Dedes (1983) garapan sutradara Djun Saptohadi.
Tokoh Ken Dedes diperankan oleh Eva Arnaz. Rambutnya bergelombang memanjang hingga ke pinggang, memakai jarik kemben yang menjuntai hingga betis. Setelah menjadi permaisuri akuwu Tumapel, Tunggul Ametung, penampilannya dibalut penutup dada yang sepertinya terbuat dari sutra. Perutnya dibiarkan terbuka. Lantas tubuh bagian bawahnya juga dibalut dengan kain sutra. Rambutnya sesekali tampil dengan hiasan sederhana. Terkadang rambutnya digerai, kali lain terlihat digelung.
Selain dua tokoh sentral itu, film ini juga menampilkan Tunggul Ametung yang dimainkan oleh Advent Bangun. Ada juga Ali Albar yang muncul sebagai Lohgawe.
Yang menarik dari film berdurasi 1,45 jam ini adalah alur ceritanya. Widjojono dan Djoko S. Koesdiman sebagai penulis skrip memilih untuk mengikuti kisah dalam Pararaton tanpa tambahan yang berarti.
Meski begitu, film ini tetap punya tafsiran sendiri di beberapa bagian. Mungkin untuk memperpendek durasi, beberapa lokasi pelarian Ken Angrok tidak disebutkan, seperti Rabut Jalu, Kapundungan, Rabut Katu, bahkan Dusun Sanja yang sengaja dibangun oleh Ken Angrok dan kawannya, Tita.
Alih-alih belajar kepada Tuan Tita di Sangenggeng sebagaimana dalam Pararaton, film ini justru menjadikan padepokan itu sebagai tempat pertemuan Ken Angrok dengan Ken Umang, murid dari pendeta di Sagenggeng.
Ken Angrok dan Ken Umang jatuh cinta sejak perkenalan mereka. Namun, Ken Angrok diusir karena mencuri jambu milik pendeta. Ken Umang juga diusir karena membiarkan Ken Angrok masuk kamarnya malam-malam. Perbuatan itu dianggap mempermalukan padepokan. Kisah seperti ini tak ada dalam Pararaton.
Hal penting lainnya dalam etape petualangan Ken Angrok versi Pararaton adalah dia pernah belajar merajin emas pada Mpu Palot. Itu setelah Ken Angrok mengantarnya pulang dari Kabalon ke rumahnya di Turyantapada. Sementara dalam film, kedua tokoh itu bertemu begitu saja di jalan tanpa hubungan yang lebih dalam. Akhirnya, Ken Angrok pun tak punya kemampuan merajin emas.
Film ini juga memilih untuk menyatukan tokoh Ken Angrok dan Ken Dedes dengan lebih intens. Keduanya kerap digambarkan saling lempar pandangan. Bahkan dalam satu adegan keduanya diam-diam bertemu dan bermesraan di belakang Tunggul Ametung, suami Ken Dedes.
Ganjalan ketika menonton film ini justru pada bagian yang seharusnya bisa menjadi klimaks. Pergerakan Ken Angrok ketika akan menjatuhkan Tunggul Ametung tanpa perhitungan. Dia seakan pemuda pemimpi yang ingin menjadi penguasa Tumapel bahkan Daha.
Begitu pula pada bagian akhir. Naiknya Ken Angrok menggantikan Tunggul Ametung yang dia bunuh dengan mengkambinghitamkan Kebo Ijo seperti terjadi begitu saja. Tanpa sebab. Setelah dia membunuh Kebo Ijo dihadapan rakyat Tumapel, tiba-tiba dia mendeklarasikan diri menjadi akuwu. Lohgawe kemudian maju berdiri di sampingnya tanpa berkata apapun. Begitu juga Ken Dedes berdiri di sisi lainnya. Film ini seakan memilih jalan tercepat dengan menampilkan simbol naiknya Ken Angrok ke takhta Tumapel mendapat dukungan dari semua pihak.
Meski begitu, film ini dengan jujur menampilkan watak Ken Angrok apa adanya sesuai Pararaton: pemuda brandalan, pembegal, perampok, pemerkosa, dan penjudi ulung. Lebih dari itu, film ini banyak memunculkan kekuatan supranatural, terutama ketika Ken Angrok bertempur dengan Tunggul Ametung. Agaknya film ini lebih magis dibanding versi Pararaton.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar