Kembali ke Sunda Kelapa
KRI Dewaruci kembali ke Jakarta dari Muhibah Budaya Jalur Rempah. Dulunya Jakarta juga Kota Rempah.
SEJAK pukul 8.00 WIB tanggal 15 Juli 2024 KRI Dewaruci, yang digandeng dua kapal tarik, mulai terlihat dari kejauhan memasuki alur dermaga Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamal), Tanjung Priok, Jakarta Utara. Sekitar pukul 08.23 WIB, kapal layar antik Angkatan Laut itu mulai terlihat di lapangan dermaga Kolinlamil. Musik militer pun berkumandang menyambutnya.
Begitulah sambutan terhadap KRI yang 38 hari silam meninggalkan dermaga Kolinlamil. Pada 7 Juni 2024, KRI yang dikomandani Letnan Kolonel Ronny Lutviadhani itu beranjak dari Kolinlamil dengan membawa Laskar Rempah, awak media, peneliti, dan undangan lain dalam Muhibah Budaya Jalur Rempah (MBJR) Batch 1 dengan rute ke Belitung Timur dan Dumai. Dari Dumai, Dewaruci membawa Batch 2 menuju Sabang, Malaka, dan Tangjung Uban. Kini, KRI legendaris itu membawa peserta Muhibah Batch 3 dari Tanjung Uban dan Lampung dengan selamat.
Dari Kolinlamil, peserta MBJR Batch 3 menuju Pelabuhan Sunda Kelapa. Pelabuhan kuno itu hingga kini masih berperan dalam pelayaran rakyat, selain pelayaran kapal komersil pengangkut peti kemas.
Dulunya, jalur tempat kapal-kapal kayu berlabuh itu adalah jalur masuk kapal dari luar ke dalam kota Batavia semasa perniagaan rempah. Ukuran kapal abad XVII tak sebesar kapal-kapal sekarang. Ukuran sungai sendiri tidak terlalu lebar.
“Sejak abad ke-4 masehi Pelabuhan terpenting di Teluk Jakarta adalah Sunda Kelapa yang terletak di Pasar Ikan sekarang. Sunda Kelapa telah menjadi pelabuhan utama Kerajaan Sunda yang berpusat di Pajajaran,” catat RZ Leiriza dalam Sunda Kelapa Sebagai Bandar Sutra.
Sunda Kelapa berada di hilir Sungai Ciliwung, yang mengalir dari daerah Bogor. Menurut Tome Pires dalam Suma Oriental, Sunda Kelapa adalah pelabuhan teramai abad XVI. Pelabuhan Sunda Kelapa menjadi semakin ramai setelah perniagaan di Pelabuhan Banten meredup.
“Banten runtuh karena sedimentasi,” kata arkeolog Mohamad Ali Fadillah dalam seminar di Museum Bahari, 15 Juli 2024. Kapal-kapal dagang berukuran besar dari luar tak bisa merapat di Banten.
Museum Bahari cukup dekat jaraknya dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Ia menempati bangunan bekas gudang di masa lalu.
“Museum bahari adalah gudang rempah,” terang edukator Museum Bahari Firman Faturohman dalam seminar yang sama.
Era tersebut yang dimaksud adalah era perdagangan rempah. Dari Nusantara, rempah dijual dengan harga murah ke pedagang asing untuk dipasarkan ke Eropa dengan harga mahal.
Rempah mengundang migrasi para pedagang Eropa ke Sunda Kelapa. Orang Eropa, yang dipelopori Portugis lalu diikuti Belanda, mulanya membangun gudang dan benteng. Kemudian, Belanda pelan-pelan membangun kota hingga Sunda Kelapa dikenal sebagai Batavia.
Batavia dijadikan pusat operasi perdagangan rempah oleh maskapai Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Sejak 1602 hingga 31 Desember 1799, VOC berhasil mengandalikan beberapa kerajaan di Nusantara, seperti Gowa, Mataram, ataupun Bintan. Karena kebutuhan yang terus berkembang, Batavia terus membesar ke arah selatan hingga berubah nama jadi Jakarta dan status sebagai ibukota Republik Indonesia.
Di masa Republik Indonesia, Pelabuhan Sunda Kelapa dijadikan pelabuhan kedua. Pemerintah lebih mengutamakan Pelabuhan Tanjung Priok yang tinggalan Belanda era 1930-an.
Kini, kapal-kapal kayu yang masih banyak bersandar di Pelabuhan Sunda Kelapa berasal dari luar Jawa. Menurut General Manager Pelindo Regional 2 Sunda Kelapa Agus Edi Santoso, kapal-kapal rakyat itu ada yang berlayar sampai ke Natuna nun jauh di sisi utara Kalimantan. Kapal-kapal kayu pelayaran rakyat itu mengangkut beras, air mineral kemasan, bahkan juga semen. Dari daerah, kapal-kapal itu mengangkut hasil bumi atau bahan mentah. Kapal-kapal kayu itu bersama Pelabuhan Sunda Kelapa kini menjadi hal yang tersisa dari sejarah pelayaran zaman rempah.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar