Kala Pram Mulai Mendongeng
Karena kamp kebanjiran, para tapol Pulau Buru mengungsi ke gubuk-gubuk di bukit. Ditemani singkong rebus, Pram mulai mendongeng tentang Nyai Ontosoroh.
Alam Pulau Buru memang keras ketika para tahanan politik (tapol) Orde Baru tiba pada akhir 1969. Suhu di siang hari amat tinggi, sedang malamnya dingin begitu menusuk tulang. Tanahnya didominasi savana yang sulit sekali ditanami. Jika hujan, jalanan berlumpur dan air genangan sukar meresap.
Bulan-bulan awal di Buru, kelaparan menjadi hal yang lumrah di dalam kamp. Dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pram berkisah bahwa bertemu seekor kadal adalah berkah. Reptil ini menjadi sumber protein yang menyelamatkan mereka dari kekurangan gizi. Sebab, tanah Buru begitu tandus dan rendah mineral.
“Pengetahuan yang sangat terbatas dan sedikit tentang alam Buru Utara ini memang mengecilkan hati bagi mereka yang terdidik jadi petani dan mempunyai naluri petani,” tulis Pram.
Baca juga: Ketika Sartre Mengirim Mesin Tik untuk Pram
Lukas Tumiso, eks tapol Pulau Buru, mengamini Pram. Untuk menanam singkong saja, ungkapnya, mereka hampir putus asa. Meski sudah dicarikan air dari sungai, singkong tak mau tumbuh. Orang Bugis memberi saran agar singkong ditanam pada posisi rebah, namun tetap tak tumbuh.
“Kita jadi orang bodoh. Singkong itu ditanam dengan cara bagaimanapun ndak tumbuh. Jadi kita datang Agustus. September, Oktober, itu menanam singkong tidak tumbuh,” kata Tumiso kepada Historia.
Singkong baru tumbuh beberapa bulan kemudian ketika hujan mulai turun. Namun, hujan juga membawa masalah lain. Posisi kamp yang diapit perbukitan membuat air hujan tak menemukan jalan keluar. Padahal, tanah sulit meresapkan air. Maka, banjirpun datang.
Memasuki tahun 1970 itu, kamp terendam banjir dan barak-barak tak bisa dihuni. Para tapol beramai-ramai mengungsi ke bukit. Mereka mendirikan gubuk-gubuk kecil yang dibuat dengan bahan-bahan alakadarnya.
“Jadi Pulau Buru itu ndak ada barak (yang bisa dihuni), sudah. Jadi seperti gubuk di Senen itu, di stasiun. Gubuk-gubuk jelek sekali,” kenang Tumiso.
Tak ada makanan kembali menjadi persoalan. Jika dulu mereka bisa mengambil sagu di pinggir sungai, kini sungai arusnya begitu deras. Tak ada tapol yang berani mendekati pohon sagu. Sementara, kebun singkong mereka yang umurnya baru beberapa bulan turut terendam.
Lantaran tak ada pilihan lain, mereka terpaksa mencabuti pohon singkong lebih awal. Umbi singkong ternyata sudah muncul meski hanya sebesar gagang arit. Singkong-singkong dibagikan lalu direbus.
Baca juga: Ingin Kembali ke Pulau Buru
Banjir, gubuk kecil, dan singkong rebus ternyata membawa ilham. Lima hingga enam tapol berkumpul di gubuk Pram. Gubuk itu tak bisa menampung lebih. Sambil menikmati singkong rebus, Pram pun mulai mendongeng.
“Terjadinya itu karena keadaan kepepet. Terus ada makanan yang seperti itu terjadinya, barulah Pak Pram itu cerita,” ujar Tumiso.
Dari cerita tentang tokoh-tokoh seperti Nyai Ontosoroh, Minke, dan Annelies berkembang ke cerita tentang Sarekat Dagang Islam hingga Boedi Oetomo. Selain itu, muncul pula cerita-cerita silat Tiongkok seperti To Liong To dan Sie Jin Kwie.
Menurut Tumiso, Pram pandai menulis tapi tak pandai mendongeng. Tumiso menyebut Pram tak pandai menjelaskan bagaimana kecantikan tokoh-tokoh perempuan, misalnya.
“Annelies itu cantiknya seberapa, Ontosoroh itu seperti apa, perempuan cantik desa, kutangnya berkancing merah, hijau, biru, di sebelah sini ada sakunya. Ndak bisa dia menceritakan,” kata Tumiso.
Ia lalu membandingkan Pram dengan dalang Ki Tristuti Rachmadi. Ki Tristuti, katanya, bisa membangkitkan imajinasi seseorang tentang penggambaran tokoh-tokoh dalam cerita wayangnya.
“Tapi Pram ndak bisa. Wong ayu, ya paling (Pram menjelaskan): apa itu kecantikan? Kecantikan itu adalah tepatnya melekatnya daging pada sususan tulang tertentu. Sudah, itu cantik,” jelas Tumiso.
Baca juga: Pram Minta Karyanya Dikembalikan
Betapapun, cerita-cerita Pram tentu tetap menarik. Sementara tapol lain harus bergantian ke gubuk Pram karena situasi tak memungkinkan, Tumiso bersama mantan wartawan olahraga Harian Rakjat bernama Mujayin dan tapol muda bernama Marjo menjadi pendengar setia cerita Pram. Tak hanya mendengarkan, Tumiso dan kawan-kawan juga turut membumbui cerita-cerita Pram. Pram pun mau mendengarkan balik.
“Kita tidak tahu bahwa cerita ini dulu pernah dikonsep waktu belum ditahan. Jadi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca ternyata itu tulisan Pak Pram yang dirampas sama tentara,” terang Tumiso.
Cerita yang menurut Tumiso kaku ketika didongengkan awal itu ternyata baru menarik setelah ditulis Pram. Mula-mula Pram menulis pada kertas semen yang kini disimpan eks tapol Oei Him Hwie di Perpustakaan Medayu Agung Surabaya. Cerita kemudian makin berkembang ketika Pram mulai diizinkan menulis pada 1973.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar