Jangan Berpaling dari Siskamling
Sistem pengamanan ini dahulu sempat populer. Belakangan ia mulai ditinggalkan.
DI kampung-kampung, setiap malam sejumlah lelaki melakukan ronda, memastikan tak ada maling atau hal-hal yang membahayakan keselamatan warga. Mereka memukul kentongan tiap satu jam dan mengambil jimpitan (iuran beras).
Menilik asal katanya, kata “ronda” berasal dari bahasa Portugis, yang menunjukkan betapa tua aktivitas ini. Vicente L. Rafael dan Rudolf Mrazek dalam Figures of Criminality in Indonesia, the Philippines, and Colonial Vietnam, menduga ronda merupakan institusi prakolonial. Ini bisa dilihat dari perangkat utamanya, kentongan –yang selama berabad-abad dipakai untuk memanggil penduduk dan membuat orang waspada terhadap bahaya tertentu. Ronda juga bukan khas Indonesia. Di Peru, misalnya, ronda campesinos pada 1980-an memainkan peranan penting dalam membendung upaya kelompok gerilyawan Sendero Luminoso dan militer Peru untuk memaksa warga sipil terlibat dalam perang.
Dalam pranata tradisional, desa tak punya hak memungut pajak, tapi berhak menuntut penduduk desa agar ikut dalam kerja-kerja desa, dari pembuatan jalan hingga ronda. Di Mangkunegaran, wilayah yang relatif menjaga pranata tradisional semacam itu, sistem keamanan di wilayah pedesaan berada di tangan kepala distrik (wedana gunung), dibantu oleh polisi dan gunung. Karena jumlah polisi terbatas, sistem keamanan masyarakat pun diterapkan. Warga wajib menanam bambu ori di wilayah sekitar desa. Jalan-jalan desa dipagari dengan tanaman hidup.
“Pada pintu depan dari jalan masuk desa dibangun gardu penjagaan. Gardu itu wajib dijaga oleh penduduk desa dengan ketentuan setiap gardu dijaga oleh tiga orang. Penjagaan dilakukan sejak pukul 18.00 hingga pukul 06.00,” tulis Wasino dalam Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran. “…setiap jam para peronda mengelilingi desa dengan membunyikan tong-tong untuk membangunkan orang tidur.”
Tapi, ronda juga menjadi aktivitas komunitas masyarakat ketika ada ancaman terhadap perkampungan atau permukiman mereka. Pada masa VOC, misalnya, sekalipun ada penjaga malam yang bertugas ronda dan wijkmeester (lurah) untuk mengatur pelaksanaan ronda, komunitas Tionghoa harus mengandalkan kemampuan mereka sendiri untuk mengamankan lingkungan mereka. Sejak pembantaian massal pada 1740, kelompok Tionghoa membangun betengan (barikade) dari kayu dan papan di depan kampung mereka. Mereka juga membangun gardu-gardu selama Perang Jawa, ketika ada isu kawanan berandal akan menyerbu kampung Tionghoa. Hal yang sama mereka lakukan ketika muncul konflik dengan Sarekat Islam. Gardu dan ronda menjadi sarana komunitas Tionghoa untuk mempertahankan diri dan menjaga keselamatan mereka.
Pada masa kolonial, pelibatan warga sipil dalam sistem keamanan lingkungan mulai dilakukan karena tingginya tingkat kriminalitas. Pada 1920-an, peraturan mengenai tugas kepolisian (Het Herzine Indonesisch Reglement) antara lain menyebutkan, jika dirasa perlu menurut pertimbangan bupati dan disetujui oleh residen, kepala desa wajib mengadakan jaga malam dan meminta semua penduduk desa menjalankannya secara bergiliran. Dan kepala desa tak boleh memberi kelonggaran tanpa alasan yang jelas.
Di Solo, daerah perkebunan tebu sering jadi sasaran kecu, Mangkunegara VI (1896-1916) mengkritik kerja polisi dan meminta mereka melakukan penjagaan ketat dengan mengintensifkan sistem keamanan yang ada. Antara lain mengawasi secara ketat gardu ronda desa (patrolan dusun), jangan sampai ada desa yang tak melakukan tugas ronda. Di setiap tempat yang dipandang berbahaya didirikan gardu ronda dan diatur perondanya.
Wajib ronda seringkali memberatkan warga, yang sudah dibebani dengan pajak dan kerja rodi. Menurut Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak, di desa Nglunge, Klaten, pada awal 1919, penduduk butuh tani harus melakukan ronda malam di jalan negara sekali setiap 35 hari. Jika mengabaikan, penduduk bisa dikenai hukuman. Pemogokan petani pun pecah, yang digerakkan oleh Sarekat Islam. Mereka antara lain menuntut penghapusan kewajiban ronda malam. Tapi pemerintah kolonial juga tak tinggal diam. Di Jepara –sebagaimana ditulis dalam biografi tokoh pergerakan politik Raden Mas Adipati Ario Koesoemo Oetoyo, Perjalanan Panjang Anak Bumi–, Residen Semarang J. van Gigh melaporkan, 63 penduduk desa yang tak mau ronda dan jaga malam dihukum denda sebesar f 2,50 atau tiga hari penjara.
Pada masa pemerintahan Jepang, ronda menjadi salah satu tugas pokok anggota keibodan, organisasi semimiliter yang bertugas membantu polisi –seperti hansip. Selain menjamin keamanan, mereka harus menjaga dan mencari penyamun, pencuri, penjahat, serta melakukan jaga malam dan ronda kampung. Di daerah tertentu, ronda melibatkan masyarakat sipil. Harian Asia Raya, 17 April 1943, memuat peraturan meronda bagi seluruh penduduk Tegal tanpa terkecuali, mulai jam 10 malam sampai jam 8 pagi. Setiap 30 rumah penduduk akan dijaga satu regu terdiri dari tiga orang. Hasilnya? “Sejak diadakan peraturan ini keadaan di sekitar Tegal jadi semakin aman,” tulis Asia Raya.
Sistem keamanan lingkungan (siskamling) yang kita kenal sekarang muncul pada 1981. Didahului berbagai persoalan dalam negeri, dari gejolak politik hingga kriminalitas, Kepala Polisi Awaloedin Djamil menggagas bentuk pengamanan swakarsa, dari ronda kampung atau siskamling di sektor tradisional hingga industrial security seperti satpam. Siskamling menempatkan warga sipil sebagai pelaksana. Penangungjawab atau pelaksana harian siskamling di lapangan biasanya dilakukan oleh seorang hansip. Sejak itu, dibentuklah pos keamanan lingkungan (poskamling) di kota-kota sampai pelosok desa.
“…siskamling menjadi perpanjangan tangan pengawasan polisi ke dalam lingkup lokal,” tulis antropolog Joshua Barker dalam “State of Fear: Controlling The Criminal Contagion In Suharto’s New Order”, yang dimuat dalam jurnal Indonesia No 66, Oktober 1998.
Terlepas dari muatan politisnya, ada banyak sisi positif dari aktivitas ronda. Ronda malam menjadi sarana untuk menjaga hubungan antarwarga, meningkatkan solidaritas, dan tentu saja menjaga keamanan lingkungan. Tapi, ronda sebagai garda terdepan pengamanan lingkungan mulai ditinggalkan warga. Padahal kejahatan tak pernah mereda. Juga terorisme. Kini warga lebih memilih membangun portal ketimbang gardu dan mengeluarkan kocek untuk membayar hansip ketimbang bergantian ronda.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar