Guru Para Sineas
Semasa Jepang, dia kenal dan dekat dengan sejumlah seniman Indonesia, tak sulit bagi dirinya untuk menyesuaikan diri di tengah revolusi kemerdekaan.
Pada Juli 1948, sebuah konferensi pers digelar Kementerian Penerangan di Yogyakarta, pusat pemerintahan Republik ketika agresi militer II Belanda. Isinya, Kementerian Penerangan akan membuka sekolah film dan teater, Cine Drama Institute, di Manduretna, Notoprajan, Yogyakarta. Tujuan pendirian sekolah film modern itu adalah mendidik seniman Indonesia dengan teori dan praktik.
“Cine Drama Institute itu sifatnya dapat disamakan dengan Hollywood’s Quarterly atau Course Dunham School of Drama and Theatre di Amerika dan Soviet Film Academy di Rusia,” ujar Iskak, kepala bagian Film dan Sandiwara di Kementerian Penerangan, sebagaimana ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam Kronik Revolusi.
Huyung, yang karena pengalamannya diangkat menjadi pegawai bagian Film dan Sandiwara di Kementerian Penerangan, mengatakan bahwa institut ini akan mengajarkan teknik film, teknik drama, pressphoto, musik, tari, ilmu kesusastraan, kesenian, serta bahasa Indonesia dan Inggris.
Di Yogya inilah terekam perjalanan kreatif Huyung di bidang drama dan film. Di sini dia sering memberi ceramah tentang sandiwara dan film. Di antara murid-muridnya tercatat nama Usmar Ismail, bapak perfilman nasional. Pembentukan Cine Drama Institute juga tak lepas dari perannya. Sekolah ini menerima pemuda lulusan Sekolah Menengah Tinggi (SMT) atau yang sederajat dan pegawai film yang sudah berpengalaman. Lama pendidikan: 1,5 tahun. Pemimpin umum sekolah adalah Mr Sujarwo. Iskak dan Huyung menjadi kepala sekolahnya. Guru-gurunya antara lain Drs Sigit, Ki Hajar Dewantara, Armijn Pane, Drs Sumaji, dan Intojo. Salah seorang siswanya, Soemardjono, kelak menjadi sutradara terkemuka. Tapi institut itu tak bertahan lama. Huyung sendiri mengundurkan diri karena adanya konflik sesama pendiri.
Baca juga: Huyung di Negeri Penjajah Jepang
Setahun kemudian dia mendirikan Stichting Hiburan Mataram, dengan R.M. Darjono dan R.M. Harjoto sebagai pucuk pimpinannya. Sticting Hiburan Mataram lalu menelorkan Kino Drama Atelier (KDA) yang dikerjakan secara sungguh-sungguh oleh Huyung. Dia juga masih sempat membuat naskah drama “Malam Sutji” yang pementasannya diusahakan oleh Badan Persatuan Pendidikan Tionghoa Yogyakarta dan “Kisah Pendudukan Yogya” yang dipentaskan kelompok drama Ksatrya. Sukarno bahkan memuji pertunjukan dramanya.
Dia tak ingin perkembangan seni di Indonesia mandeg. Dia sering berdiskusi dengan sejumlah seniman. Percakapannya dengan Sudjojono dan Sudarso Wirokusumo, misalnya dimuat di majalah Kesenian tahun 1950, lalu dijadikan brosur yang diterbitkan Kementerian Penerangan. Isinya membicarakan berbagai kesenian di Indonesia dan kemungkinan-kemungkinannya di masa datang.
Pada tahun itu juga, Huyung kembali ke Jakarta dan membikin film Antara Bumi dan Langit, produksi Stichting Hiburan Mataram dan Pusat Film Nasional. Naskah skenarionya dibikin sastrawan Armijn Pane. Ceritanya tentang kedudukan pribumi dan Belanda yang bagaikan bumi dan langit serta cinta yang tak tergapai antara Abidin (diperankan oleh S. Bono) dan Frieda (Grace), gadis blasteran. Dalam film itu, Huyung menyelipkan adegan ciuman –yang kelak dianggap sebagai yang pertama dalam sejarah film Indonesia.
Baca juga: Kisah Tragis Akhir Hidup Bapak Film Nasional
“Pemilihan pokok ceritanya memang aktual (persoalan Indo) tapi dalam pengubahan skrip tetap mengarah pada komersialisme…. Antara Bumi dan Langit telah melakukan konsesi terhadap selera penonton-banyak, karena sex-appeal dan nyanyiannya, seperti pernah ditulis sendiri oleh Armijn Pane bahwa memang sengaja memasukkan resep film Amerika: avontuur, spanning, romantik, tragik, nyanyian, dan sebagainya,” tulis Usmar Ismail dalam Mengupas Film.
Masalah muncul ketika beberapa adegan ciuman muncul di suratkabar. Kontroversi pun merebak. Pada 21 Januari 1951, empat bulan sebelum badan sensor memberikan persetujuan, Pelajar Islam Indonesia cabang Medan memprotes film itu. Ekspatriat di Indonesia memprotes isinya yang sensitif. Film ini tertahan di lembaga sensor selama dua tahun dan beredar kembali setelah revisi dan mengubah judulnya jadi Frieda, nama tokoh utamanya. Revisi itulah yang membuat Armijn Pane menolak pencantuman namanya.
Film itu meraih sukses. Huyung lalu membuat film Bunga Rumah Makan (dari karya Utuy Tatang Sontani), Gadis Olahraga, dan Kenangan Masa. Tapi ajal keburu menjemputnya sebelum dia sempat menyumbangkan lebih banyak karya bagi perfilman Indonesia. Dia meninggal dunia karena sakit di usia 43 tahun, pada 9 September 1952. Dia dimakamkan di Petamburan, Jakarta.
Sebagian perjalanan hidup Hinatsu coba dirangkai oleh Moeko, anak perempuannya. Semula dia berpikir ayahnya gugur dalam perang. Lalu dia mendengar dari ibunya bahwa sang ayah pergi ke Jakarta sebagai agen penerangan tentara Jepang dan tak diketahui rimbanya. Moekoe sendiri berpikir ayahnya masih hidup dan membuat film di Indonesia. Usai perang dia lega ketika tahu ayahnya masih hidup, menikah lagi, dan punya anak dari istri keduanya. Dari film-film ayahnya, dia merasa bahwa ayahnya sangat mencintai keluarga.
“Ibu, ayah menggunakan namamu dalam film-film yang dibuatnya di Indonesia. Misalnya film Restoran no Hana atau drama Asia no Hana no Kisetsu,” bisik Moeko dalam hati kepada arwah ibunya. Hanako, istri pertama Huyung, meninggal pada 1960.
Sepeninggalan Huyung, kelompok filmnya bubar. Para sineas dan dramawan Indonesia merasa kehilangan. Bagaimana pun Huyung sudah meletakkan dasar bagi perkembangan seni pentas dan film di Indonesia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar