Geliat Seni Rupa Semasa Pendudukan Negeri Sakura
Agenda propaganda Jepang dijadikan para seniman sebagai alat untuk mengasah diri dan mendapatkan material seni.
SEJAK didirikan Agustus 1942, Sendenbu (Departemen Propaganda) menggenjot produksi alat propaganda lewat berbagai media. Radio, film, surat kabar, serta pameran dan pertunjukan seni merupakan media propaganda Jepang di Indonesia.
Untuk memaksimalkan usaha propaganda tentang perang Asia Timur Raya, Jepang juga membentuk Biro Pengawas Siaran Jawa (Jawa Hoso Kanrikoru), Perusahaan Surat Kabar Jawa (Jawa Shinbunkai), dan Perusahaan Film Jepang (Nihon Eigasha Nichi’ei).
Alhasil, banyak karya seni anak bangsa muncul semasa pendudukan Jepang. Hal itu mendorong Dewan Kesenian Jakarta membuat pameran arsip bertajuk “3,5 Tahun Bekerja”. “Arsip kesenian masa Jepang belum banyak digali. Padahal perlu adanya pembacaan ulang atas seni masa Jepang bukan hanya sebagai alat propaganda,” kata Afrizal Malna mewakili Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta kepada Historia.
Wajah Lain Pendudukan Jepang
Agenda propaganda Jepang di bidang seni di satu sisi merupakan alat mengagitasi massa. Tapi di sisi lain, ia menjadi sarana hiburan dan alat untuk memperkaya budaya. Lewat praktik berkesenian dalam berbagai organisasi seperti Pusat Tenaga Raktyat (Putera), Keimin Bunka Sidhosho, dan Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa (POSD), produksi seni meningkat.
Beberapa penulis dan seniman Indonesia seperti Affandi, Sudjojono, dan Emiria Sunnasa ikut dalam pusaran itu. Mereka bekerjasama dengan para seniman Jepang, seperti desainer grafis Takahashi Kono, karikaturis Seseo Ono, dan pelukis Miyamoto Saburo, Ryohei Koiso, serta Seizen Minami.
Keikutsertaan para seniman Indonesia bukan tanpa sebab. Jepang berhasil mengambil hati bangsa Indonesia, termasuk Sukarno, lewat janji kemerdekaan. Hubungan saling mendukung Jepang-Indonesia ini juga terjadi di dunia seni.
Dari sisi teknis, situasi krisis yang membuat material lukis sulit didapat itu teratasi karena Jepang memberikan secara cuma-cuma. Para seniman dalam proyek propaganda menerima cat minyak, kanvas, studio, model, dan ruang pameran secara gratis. Jepang juga memberi kursus melukis dengan seniman Jepang dan seniman senior Indonesia sebagai gurunya.
“Banyak hal yang tidak kita ketahui terjadi di masa Jepang, terutama seni. Karya di masa Jepang tidak hanya dilihat sebagai poster, lukisan, atau media propaganda tapi bisa dilihat lebih jauh terkait perkembangan seni rupa. Misalnya, penggunaan teknik, warna, dan gaya,” kata Antariksa, kurator pameran.
Pelukis Indonesia mempelajari banyak teknik baru dari para seniman Jepang. Dari Saseo Ono, seniman Indonesia mulai mengenal mural dan belajar membuat sketsa cepat di luar ruangan. Sementara, Takahashi Kono memperkenalkan teknik montase dan kolase di bidang seni fotografi dan desain. Takahashi juga menjadi pengarah desain untuk media massa Indonesia masa Jepang semisal Djawa Baroe.
“Arsip kesenian masa Jepang tidak hanya dilihat dari kacamata sejarah politik, tetapi bagaimana di masa tersebut kesenian berkembang. Juga menjadi referensi bagi seniman muda untuk memperkaya kerja penciptaan masa kini,” kata Antariksa.
Hubungan seni, seniman, dan Jepang menjadi saling membutuhkan. Jepang menggunakan seni sebagai alat propaganda sementara para seniman memperoleh pendidikan, material, dan kesadaran akan kekuatan seni dalam dunia politik (kelak digunakan oleh Lekra) yang digunakan 20 tahun berikutnya.
Di masa Belanda, akses untuk mendapatkan pendidikan dan material lukis hanya bisa dijangkau para bangsawan dan orang Eropa. Maka ketika Jepang memberikan semua kebutuhan untuk membuat karya secara gratis, jumlah pelukis Indonesia meningkat tajam.
“Selama masa Belanda kita hanya mengenal kurang dari 10 seniman dan pelukis. Sementara di masa Jepang, ada 60-an nama yang terdaftar,” kata Antariksa.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar