Film Nasional Pertama
Sempat kena gunting sensor dan pencekalan, hari pertama produksinya diperingati sebagai Hari Film Nasional.
USMAR Ismail mulai menggarap film “pertama”-nya. Bersama krunya, pada 30 Maret 1950 dia berangkat ke Subang dan Purwakarta untuk syuting The Long March atau dikenal juga Darah dan Doa. Pemainnya adalah pemuda-pemuda yang tidak punya pengalaman di dunia seni peran, seperti Del Yuzar dan Awaluddin Djamin (di kemudian hari jadi Kepala Polri).
Awaloedin Djamin yang baru pertama main film pun diajari seluk-beluk film dan acting dari yang paling dasar. “Usmar menceritakan kepada kami tentang cara-cara membuat film. Untuk pertama kalinya saya melihat diri saya sendiri bergerak dan berbicara di layar putih,” kata Awaloedin dalam memoarnya Awaloedin Djamin, Pengalaman Seorang Perwira Polri. Meski mengambil aktor nirpengalaman, di kemudian hari salah satu pemainnya menjadi aktris terkenal yang membintangi banyak film, yakni Suzanna, si pemeran tokoh Ina dalam Darah dan Doa.
Untuk membuat Darah dan Doa, Usmar terlebih dulu membuat perusahaan film NV Perfini. Usmar duduk sebagai sutradara. Skenario film digarap Usmar bersama Sitor Situmorang. Film itu bercerita tentang perjalanan prajurit pimpinan Kapten Sudarto dari Yogyakarta ke Jawa Barat. Ada banyak hal yang ditemui dalam perjalanan tersebut, seperti pertarungan dengan Belanda, affair Kapten Sudarto dengan dua gadis kendati dia sudah beristri, sampai konflik antar saudara pasca-merdeka.
Baca juga: Fragmen DI/TII dalam Film Darah dan Doa
Dalam Prisma terbitan 1990, Darah dan Doa sebenarnya bukan film pertama Usmar. Pada 1949 Usmar pernah menyutradarai Tjitra, Harta Karun, dan Si Bachil. Namun Usmar selalu menganggap Darah dan Doa sebagai film pertamanya, begitu pula Rosihan Anwar yang ikut membintangi film itu.
“Filmnya yang pertama tidak berjalan dengan mulus. Ketika film selesai diproduksi, muncul beragam reaksi dari masyarakat,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah kecil "Petite Histoire" Indonesia Jilid 2. Mereka mempertanyakan cara Usmar menggambarkan Divisi Siliwangi juga bagaimana ia memposisikan Darul Islam sebagai antagonis.
Beberapa perwira Angkatan Darat di beberapa daerah menganggap Usmar gagal menggambarkan keperwiraan alih-alih menunjukkan kelemahan seorang tentara. Beberapa komandan daerah juga melarang beredarnya Darah dan Doa. Menurut Usmar, sikap para tentara itu menunjukkan kesempitan cara berpikir.
Baca juga: Kisah Tragis Akhir Hidup Bapak Film Nasional
“Sudarto bukan pahlawan dalam arti yang biasa, tetapi seorang manusia Indonesia yang terseret oleh arus revolusi…. menceritakan secara jujur kisah manusia Indonesia dengan tidak jatuh menjadi film propaganda yang murah,” kata Usmar dalam tulisannya “Film Saya yang Pertama”.
Banyaknya protes membuat Darah dan Doa kena gunting sensor pada adegan-adegan pertempuran yang di zamannya dianggap terlampau realistis. Lembaga sensor juga tidak menyetujui adanya kisah asmara antara perwira TNI dan seorang gadis Eropa. Atas berbagai pertimbangan, film yang semula berjudul The Long March itu kemudian diganti judul menjadi Darah dan Doa.
Sebelum diluncurkan, Darah dan Doa memerlukan persetujuan Presiden Sukarno. Maka, film diputar di Istana Negara. Presiden bersama para menteri dan pejabat negara menontonnya sebelum publik menonton. Usai tayang, Sukarno memberi pujian pada film itu. “Setelah selesai tayang, Sukarno bilang, film ini oke,” tulis Rosihan Anwar.
Baca juga: Mengenang Film Nasional Pertama
Darah dan Doa menjadi artefak penting dalam sejarah film Indonesia. Meski Loetoeng Kasaroeng (1926) merupakan film pertama yang dibuat di Indonesia, Darah dan Doa dianggap sebagai film “nasional” pertama karena diproduksi oleh perusahaan dan disutradarai oleh orang Indonesia.
Buku Film Indonesia menyebutkan, pada Konferensi Kerja Dewan Film Indonesia 11 Oktober 1962, diputuskan 30 Maret sebagai Hari Film Indonesia. "Menetapkan hari syuting pertama dalam pembuatan film nasional yang pertama The Long March sebagai Hari Film Indonesia." Pengakuan resmi dari pemerintah baru keluar tiga dekade setelahnya lewat Keppres No 25 th. 1999 tentang Penetapan Tanggal 30 Maret Sebagai Hari Film Nasional yang ditandatangani Presiden BJ Habibie.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar