Denting Gitar dari Mancasan
Cerita sebuah desa pengrajin gitar. Keahlian yang turun-temurun.
PEMBUATAN gitar secara massal, yang dikerjakan secara rumah tangga, di Indonesia, ada di Desa Mancasan, Sukoharjo, Jawa Tengah. Perintisan kerajinan gitar di desa ini, tak lepas dari peran lima orang laki-laki yaitu Jito Pawiro, Minarto, Tarjo Wiyono, Hadi Wiyono, dan Parno.
Jito Pawiro, warga Mancasan, lahir sekira tahun 1935. Mereka belajar membuat gitar dari seseorang yang tinggal di daerah Danukusuman, Dawung, Solo.
“Kelima orang ini sebenarnya masih ada ikatan keluarga,” ujar Sutono (48 tahun), putra keempat Jito Pawiro, kepada Historia.
Danukusuman atau Danusuman merupakan sebuah kampung kecil yang berada di sisi selatan kota Solo. “Dalam pelafalan masyarakat, biasa terjadi perubahan. Misal, kampung Mlayakusuman, dari tokoh Mlayasuma,” tulis sejarawan Heri Priyatmoko melalui surel kepada Historia.
Tempo doeloe, di sana terdapat tokoh terkemuka dari keraton Kasunanan Hadiningrat, bernama Danusuma. Kemudian hari, nama tokoh tersebut dicomot oleh masyarakat sekitar untuk menyebut kampung tersebut.
Asal-usul nama kampung Danusuman sendiri memang mengacu pada tradisi pemberian nama tempat yang berdasarkan nama tokoh berlatar belakang pada jabatan seseorang yang pantas dihormati, kesetiaan orang, dan pengaruh orang tersebut terhadap masyarakat sekitar dan kerajaan.
“Menilik tradisi sejarah kerajaan Mataram-Islam, pemberian nama tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada abdi dalem atau sentana dalem kerajaan yang disegani oleh rakyatnya (kawula di sekitarnya). Para tokoh kerajaan itu, seperti halnya Danusuma, dihormati lantaran berkelakuan baik, berjasa kepada masyarakat dan raja, serta berwibawa atau masih keturunan bangsawan (sentana dalem),” catat Heri.
Dari Mancasan, sekira tahun 1950-an, Jito Pawiro muda berjalan kaki menuju Danukusuman, sekira 10 kilometer, untuk belajar atau kursus membuat gitar. Dia harus merogoh 5 rupiah per bulan dan mendapat fasilitas makan di tempat kursus.
Setelah berhasil menyerap ilmu membuat gitar, Jito Pawiro memutuskan membuka usaha kerajinan sendiri di kampungnya, Mancasan. Dia mulai menekuni secara mandiri pembuatan gitar, sekira tahun 1960-an.
Produksinya kala itu tak banyak. Setelah cukup mapan, Jito Pawiro baru memutuskan untuk menikah. Dari pernikahannya ini, dia mempunyai tujuh anak. Dia mewariskan ilmu membuat gitar kepada anak-anaknya.
“Enam dari tujuh putra bapak, menggeluti kerajinan gitar,” ujar Sutono. Jito Pawiro tak hanya mengajarkan membuat gitar, namun juga pembuatan biola dan gambus yang terkenal sangat rumit.
Generasi berganti. Pemasaran pengrajin gitar di Mancasan berkembang menjadi lebih baik memasuki tahun 1990-an. Sutono sendiri mulai terampil membuat gitar sejak tahun 1994. Empat tahun kemudian, dia mendirikan usaha kerajinan sendiri bernama Gian Musik. Dan baru tahun 2010, dia mengurus izin resmi dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat.
Gian Musik milik Sutono mempekerjakan lima orang utnuk membuat gitar. Saat musim baik, dalam arti tidak hujan, bisa memproduksi sekira 120-an buah gitar per bulan. Jika pada musim hujan, hanya separuhnya. Alasannya, dia tidak memakai oven dalam proses pembuatan gitar, namun dengan cara konvensional, dijemur di bawah terik matahari.
Kompas, 23 Oktober 2009, melaporkan berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sukoharjo tahun 2006 ada 162 unit usaha produksi gitar dengan produksi 169.700 lusin. Saat ini, di kelurahan Mancasan, ada sekira 200 pengrajin gitar yang tersebar di dukuh Kembangan, Ngrombo dan Wetan.
“Tidak semuanya membuat gitar, namun ada pengrajin yang khusus bikin neck, body, bagian stem, bagian finishing,” terang Sutono. Mereka pun mulai membuat paguyuban pengrajin gitar yang bernama Amanah yang beranggotakan 55 orang pengrajin. Paguyuban ini kemudian ditingkatkan statusnya menjadi koperasi.
Kendala produksi gitar saat ini adalah faktor harga bahan baku. Gitar dengan kualitas nomor satu tentu memiliki bahan baku yang berbeda dengan gitar-gitar biasa.
“Gitar kualitas nomor 1, neck-nya pakai kayu maple. Body depan pakai triplek cyprus, dan body belakang pakai meranti,” papar Sutono. Dia sendiri tidak bisa memenuhi pesanan dalam jumlah ratusan, sebab selain kendala bahan baku, mencari tenaga kerjanya pun sulit.
Kini, kelima ‘satria bergitar’ perintis kerajinan gitar di Mancasan sudah uzur, bahkan Jito Pawiro sudah meninggal 20 tahun lalu. Dari mereka, nada merdu gitar Mancasan bergema ke seantero Nusantara.
Baca juga:
Titian Sejarah Gitar
Leo Fender Revolusioner Dunia Musik
Jejak Tapping Manjakan Kuping
Tambahkan komentar
Belum ada komentar