Balada Freddie Mercury dalam Bohemian Rhapsody
Dibenci dan dicinta. Anomali yang terjadi pada frontman Queen bernama Freddie Mercury.
STADION Wembley, London, musim panas 1985, amat bergemuruh. Puluhan ribu orang yang menyesakinya menanti performer paling dinanti. Live Aid, konser musik terbesar semuka bumi untuk tujuan amal, itu serasa lebih hidup saat band Queen bersama frontman-nya, Freddie Mercury, selangkah lagi masuk panggung.
Momen penantian terhadap Queen di konser amal untuk bencana kelaparan di Ethiopia yang digelar bersamaan di London dan Philadelphia pada 13 Juli 1985 itu dipilih sutradara Dexter Fletcher untuk membuka biopik Freddie Mercury bertajuk Bohemian Rhapsody.
Dengan adegan pembuka itu Fletcher seakan ingin memberi spoiler untuk klimaks di akhir film yang mau-tak mau meringkas perjalanan band Queen sejak berdiri dengan formasi awal Freddie Mercury (Rami Malek) di lead vocal, Brian May (Gwilym Lee) pada gitar, dan Roger Taylor (Ben Hardy) sebagai penggebuk drum. John Deacon (Joseph Mazzello) sebagai bassist menyusul kemudian via audisi.
Setelah memberi potongan tanggung dari momen Live Aid, Fletcher lantas ingin memberi sedikit wawasan tentang dari mana Freddie Mercury berasal, bagaimana latar belakang rockstar bernama asli Farrokh Bulsara itu, hingga perjumpaannya dengan Brian May dan Roger Taylor yang baru bubar dari band Smile.
Baca juga: Legenda Eddie van Halen mempopulerkan teknik tapping
Tak ketinggalan, bagaimana Freddie secara tersirat jadi nakhoda Queen –dia yang mencetuskan nama Queen dan membuat logonya berbekal kemahirannya menggambar dan pengetahuannya sebagai mantan mahasiswa jurusan seni dan grafis– meski dia tak pernah mengakui memimpin band itu. “Saya bukan pemimpin Queen, saya hanya pemimpin vokal Queen,” tegas Freddie dalam sebuah konferensi pers.
Fletcher memanjakan penonton dengan drama pertengkaran di internal Queen maupun drama kehidupan pribadi Freddie. Meningkatnya tensi plot Bohemian Rhapsody tak lepas dari kekecewaan Mary Austin (Lucy Boynton), kekasih Freddie, pasca-pengakuan Freddie kalau dirinya seorang biseksual. “Tidak, Freddie. Kamu seorang homoseksual,” cetus Mary.
Freddie lantas terjerumus pada kehidupan yang lebih gelap bersama Paul Prenter (Allen Leech), manajer pribadinya. Karakter Prenter yang seolah dijadikan “judas” oleh sineas menambah bumbu melodrama yang bikin jengkel penonton.
Momen pertemuannya dengan Mary di bawah guyuran hujan bak adegan-adegan receh film-film India lalu membuat Freddie tersadar dari “kepingsanannya”. Freddie rindu Mary, rindu teman-temannya di Queen yang meninggalkannya. Kerinduan itu makin menyakitkan lantaran hadir di saat hidup Freddie tinggal menghitung waktu akibat mengidap AIDS. Singkat cerita, konser Live Aid dijadikan sineas jadi ajang reuni Freddie dengan May, Taylor, dan Deacon.
Di konser itu, Queen membawakan sejumlah hits yang mendongkrak angka sumbangan. Lirik-lirik dalam enam lagu yang disenandungkan Freddie sangat menggambarkan kegelisahan hidupnya. Paling jelas termuat dalam “Bohemian Rhapsody”: Too late, my time has come. Send shivers down my spine, body’s aching all the time. Good bye everybody, I’ve got to go. Gotta leave you all behind and face the truth. Mama, ooh…I don’t want to die. I sometimes wish I’d never been born at all.
Lirik yang bikin bergidik bulu roma itu seakan jadi pamitan buat Freddie untuk keluarga, teman-teman, dan penggemarnya. Ini jadi klimaks dan jadi pembuktikan Freddie mengamalkan ajaran ayahnya: Good thoughts, good words, good deeds (niat, kata-kata, dan tindakan yang baik).
Fakta di Balik Bohemian Rhapsody
Tiada gading yang tak retak. Bohemian Rhapsody tentu mendapat kritik di sana-sini. Itu tak lepas dari penggantian sutradara. Fletcher merupakan sutradara pengganti yang di credit namanya dikompensasi sebagai produser eksekutif. Sutradara aslinya, Bryan Singer, dipecat di awal produksi meski namanya tetap dicantumkan dalam credit.
Sebagaimana beberapa kritik yang datang, duduknya Fletcher pada akhirnya membuat Bohemian Rhapsody lebih banyak memberi porsi pada orientasi seksual Freddie dan dampak-dampaknya. Proses berkarya Queen justru mendapat porsi minim.
Faktor minus lain adalah alur dan konflik dalam film ini biasa saja. Penambahan beberapa adegan dan karakter fiktif juga menjadi nilai minus. Itu terlihat, misalnya, dalam karakter Ray Foster (Mike Myers). Andy Greene dalam rollingstone.com, 1 November 2018, menyoroti tentang karakter petinggi label EMI tersebut.
“Perannya adalah mengatakan pada Queen untuk membuat musik yang lebih komersil. Dia (Foster) juga benci lagu ‘Bohemian Rhapsody’. Nampaknya karakter ini terinspirasi dari bos EMI Roy Featherstone. Memang aslinya Featherstone sedikit protes tentang durasi lagu yang terlalu panjang. Tapi adegan yang diperankan Foster tidak benar alias fiksi,” sebut Greene.
Sementara, Richard Brody dalam The New Yorker, 5 November 2018, menyesalkan Bohemian Rhapsody tak menggambarkan lebih jauh dari mana awalnya Freddie gandrung pada musik. “Tak menghadirkan masa kecil Mercury di Zanzibar, masa sekolahnya di Bombay dan kegemaran awalnya pada musik rock and roll.”
Faktor lain yang mendatangkan kritik adalah, beberapa detail dalam film ini tak sesuai fakta. Itu terlihat dalam scene John Deacon sang basis ada di konser pertama Queen tahun 1970. Padahal, menurut Mark Hodkinson dalam Queen: The Early Years, Deacon bukanlah bassist pertama Queen. Pos itu pertamakali diisi Mike Grose, lantas Barry Mitchell, dan Doug Wood Boogie sebelum Deacon jadi personel tetap pada 1971.
Freddie juga digambarkan bertemu Mary Austin di malam yang sama kala Freddie memperkenalkan dan menawarkan diri jadi vokalis pada May dan Taylor. Mary sendiri aslinya mantan pacar May dan baru jadian sama Freddie setelah sang bintang jadi vokalis tetap Queen.
Baca juga: Sketsa frontman Nirvana dalam montase
Jim Hutton, pacar gay terakhir Freddie, dikisahkan pertamakali bersua Freddie dalam sebuah pesta di mansion Freddie. Hutton yang menjadi pelayan, digoda Freddie. Faktanya, Hutton sebelumnya seorang penata rambut di sebuah salon di Hotel Savoy. Pertemuan pertamanya dengan Freddie terjadi di sebuah klub malam, bukan di kediaman mewah Freddie.
Konser Live Aid juga dilukiskan film sebagai reuni Queen setelah masing-masing personilnya berpisah. Faktanya, Queen sudah reuni dan menjalani sebuah tur dua bulan sebelum Live Aid.
Lalu, di konser Live Aid pada 13 Juli 1985 Freddie dideskripsikan mengetahui dirinya positif mengidap AIDS dari seorang dokter di sela-sela latihan dan persiapan Queen jelang Live Aid. Faktanya, Freddie baru mengetahui dirinya terdiagnosa mengidap AIDS pada akhir April 1987.
Namun, overall film ini begitu berarti bukan semata bagi para fans Queen tapi juga pecinta musik rock. Queen dengan kejeniusan masing-masing personilnya tetah menawarkan bentuk baru musik rock, baik dari sisi musikalitas maupun aksi panggung.
Film ini juga wahana nostalgia yang dimainkan dengan apik oleh Rami Malek dkk. Lagu-lagu Queen yang jadi sisipan banyak memancing penonton ikut melantunkan lirik, menghentakan kaki, atau sekadar memainkan jari mengiringi lagu-lagu itu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar