Akar Sejarah Singkong
Singkong penyelamat kala paceklik atau gagal panen. Namun peningkatan konsumsi singkong dipandang tanda kemiskinan.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi mengeluarkan Surat Edaran No 10 Tahun 2014 agar semua instansi pemerintahan menyediakan makanan lokal, seperti singkong. Menurut Yuddy, selain untuk menghargai petani dan merangsang orang bercocok-tanam, makan singkong juga tak berpotensi besar menimbulkan penyakit. Kebijakan ini mulai berlaku 1 Desember 2014.
Singkong (Manihot Utilisima), disebut juga ubi kayu atau ketela, berasal dari Amerika Selatan, yang tumbuh liar di hutan-hutan. Bangsa Portugis kemudian menyebarkan tanaman ini ke seluruh dunia. Menurut Haryono Rinardi dalam Politik Singkong Zaman Kolonial, singkong masuk ke Indonesia dibawa oleh Portugis ke Maluku sekira abad ke-16. Tanaman ini dapat dipanen sesuai kebutuhan. “Sifat itulah yang menyebabkan tanaman ubi kayu seringkali disebut sebagai gudang persediaan di bawah tanah,” tulis Haryono.
Butuh waktu lama singkong menyebar ke daerah lain, terutama ke Pulau Jawa. Diperkirakan singkong kali pertama diperkenalkan di suatu kabupaten di Jawa Timur pada 1852. “Bupatinya sebagai seorang pegawai negeri harus memberikan contoh dan bertindak sebagai pelopor. Kalau tidak, rakyat tidak akan mempercayainya sama sekali,” tulis Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen dalam Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia.
Baca juga: Sehidup Semati Bersama Nasi
Namun hingga 1876, sebagaimana dicatat H.J. van Swieten, kontrolir di Trenggalek, dalam De zoete cassave (Jatropha Janipha) yang terbit 1875, singkong kurang dikenal atau tidak ada sama sekali di beberapa bagian Pulau Jawa tapi ditanam besar-besaran di bagian lain. “Bagaimanapun juga, singkong saat ini mempunyai arti yang lebih besar dalam susunan makanan penduduk dibandingkan dengan setengah abad yang lalu,” tulisnya, sebagaimana dikutip Creutzberg dan van Laanen.
Sampai sekira 1875, konsumsi singkong di Jawa masih rendah. Baru pada permulaan abad ke-20, konsumsinya meningkat pesat. Pembudidayaannya juga meluas. Terlebih rakyat diminta memperluas tanaman singkong mereka.
Peningkatan penanaman singkong sejalan dengan pertumbuhan penduduk Pulau Jawa yang pesat. Ditambah lagi produksi padi tertinggal di belakang pertumbuhan penduduk. “Singkong khususnya menjadi sumber pangan tambahan yang disukai,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia V.
Terkait pertumbuhan penduduk ini kemudian muncul istilah “anak singkong,” yaitu anak yang lahir karena suburnya sang orangtua, yang membuat anak tanpa mengikuti program keluarga berencana. Ini mengacu kepada mudahnya menanam singkong.
Selain itu, istilah “anak singkong” dipakai untuk anak-anak bumiputera sebagai lawan “anak keju” atau anak-anak Belanda. Istilah “anak singkong” juga digunakan untuk anak yang tumbuh dengan alam.
Baca juga: Gandum Belum Umum di Indonesia
Menurut Creutzberg dan van Laanen, meski nilai singkong sebagai makanan kurang dibandingkan beras atau jagung, ia menggantikan beras di berbagai bagian Jawa Tengah pada masa paceklik sebelum panen atau saat panen gagal.
Namun, menurut Marwati dan Nugroho, karena dipandang lebih rendah daripada padi sebagai bahan pangan pokok, singkong memiliki reputasi buruk di kalangan pakar ekonomi pertanian. Kandungan proteinnya lebih rendah daripada padi dan peningkatan konsumsi per kapitanya biasanya dipandang sebagai tanda kemiskinan. Kendati demikian, peralihan ke singkong menjadi bukti bagi dinamika pertanian tanaman pangan Pulau Jawa pada masa akhir kolonial.
Anjuran pemerintah agar para pejabat memakan singkong semoga dapat mengubah paradigma makan singkong. Barangkali jika dimulai oleh para pejabat, singkong akan bermartabat.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar