Yang Setia dengan Jalannya
Kisah seorang lelaki tua yang hampir setengah abad berprofesi sebagai tukang patri
Panas menyengat Jalan Raya Ampera, Jakarta Selatan siang itu. Pada satu ruas trotoar, seorang lelaki tua tengah berjalan dengan kaki setengah pincang. Sementara bahu rentanya memikul seperangkat alat untuk mematri (anglo, air keras, solder tradisional dan lain-lain), tangan kanannya mengayunkan rangkaian lempengan logam yang mengeluarkan bunyi khas: krelek…krelek…krelek.
Hamik, nama lelaki asal Cirebon itu. Kali pertama datang ke Jakarta pada 1970 dan langsung mengambil pematri sebagai profesinya. Ada beberapa alasan ia mengambil profesi tersebut. Selain mengikuti jejak sang ayah, juga (kala itu) banyak orang-orang yang memerlukan jasa tukang patri.
Rata-rata langganan Hamik adallah ibu-ibu rumah tangga dan para pengelola warung tegal (warteg). Mereka kerap meminta tolong kepada Hamik untuk menambal panci, dandang dan kompor. Bahkan saking banyaknya, dalam satu hari ia bisa mengerjakan puluhan pematrian. “Sampai-sampai, lagi ngerjain di Cilandak eh dari Ragunan udah ada yang manggilin…” kata Hamik sambil tertawa.
Sejatinya, situasi bisnis patri stabil terus saat itu. Namun pada 1989, Hamik sempat tergoda untuk pindah profesi. Ia kemudian banting setir: mencoba peruntungan lain dengan menjadi tukang cendol lalu tukang gorengan-gorengan. Namun bidang niaga kuliner itu ternyata tidak cocok dengan dirinya. Singkat cerita, Hamik pun memutuskan untuk kembali menjadi tukang patri hingga kini.
“Ternyata pekerjaan yang membuat saya lebih nyaman ya jadi tukang patri kayak begini,” ungkap ayah dari enam anak itu.
Kiamat kecil mulai mengunjungi hidup Hamik, ketika pada awal 2000-an ibu-ibu rumah tangga dan para pengelola warteg mulai meninggalkan kompor minyak tanah dan menggantikannya dengan kompor gas. Sejak itulah, ia banyak kehilangan pelanggan. Kendati ia sudah berupaya menyiasati dengan lebih menambah jangkauan jelajah, namun keuntungan tak jua kembali menghampirinya.
“Di mana-mana orang sudah pakai kompor gas, terlebih zaman sekarang memasak nasi saja enggak pakai dandang lagi tapi langsung ada wadahnya yang dicolokin ke listrik,” keluh lelaki kelahiran tahun 1945 itu.
Kini Hamik praktis mengandalkan rasa belas kasihan semata. Kendati ada satu-dua pedagang mie ayam minta dandang nya yang bocor dipatri atau pengendara sepeda motor yang kebetulan knalpotnya bolong lalu menggunakan jasa Hamik untuk menambalnya, namun pendapatan yang paling banyak justru didapat dari pemberian orang-orang di jalanan. Termasuk untuk makan , ada saja orang yang mengantarkan bungkusan nasi dan lauk pauk kepadanya setiap hari.
“Saya ini sudah seperti setengah pengemislah istilahnya. Tapi ya gimana, jalan hidup saya harus begini, saya terima saja…” kata Hamik.
Lantas kenapa Hamik tidak mencari profesi lain yang lebih kekinian? Selain pofesi sebagai pematri sudah menjadi panggilan hidup, ia pun merasa umur sudah tak muda lagi dan sering sakit-sakitan terutama di bagian kakinya. Kendati ia paham dunia telah banyak berubah, namun ia meyakini semua mahluk Tuhan pasti sudah memiliki rezekinya masing-masing. Itulah yang utama membuat ia setia dengan jalannya tersebut.
Akibat perubahan zaman , bisa dikatakan kini hidup Hamik ada dalam jurang kemiskinan. Menurutnya dengan profesi sebagai tukang patri pada hari ini, sangatlah mustahil diandalkan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup dirinya dan salah satu anak lelakinya selama di Jakarta. “Kontrakan rumah saja sebulan 500 ribu, sedangkan keuntungan jadi tukang patri sebulan 100 ribu saja enggak ada,” ungkapnya.
Kenyataan pahit yang melingkari hidupnya menjadikan Hamik tak lagi memiliki harapan untuk menurunkan ketrampilan mematri kepada anak-anaknya. Berbeda dengan ayahnya yang meyakini profesi ini akan memberi penghidupan sehingga mewariskan kepadanya, Hamik sangat sadar profesi pematri sebentar lagi akan mati. “Ya, kalau dunia tambah modern, siapa yang butuh lagi tukang patri?” tanyanya seolah kepada dirinya sendiri.
Profesi tukang patri pernah menjadi bagian penting dalam masyarakat Indonesia terutama di Jawa. Menurut antropolog S. Ann Dunham, meskipun bersifat usaha kecil namun patut dicatat bahwa pernah ada sejumlah pandai besi yang pekerjaan rutinnya adalah memperbaiki alat . “Mereka memang tidak dihitung oleh sensus industri…” tulis Dunham dalam Pendekar-Pendekar Besi Nusantara.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar