Sukarno Menembus Hutan Bukit Barisan
Sebuah perjalanan berat Sukarno dan keluarganya menembus hutan. Dipicu ketakutan pemerintah Hindia Belanda terhadap bakal kerjasamanya Sukarno dengan Jepang.
Setelah memberitahu Inggit Garnasih istrinya, Sukarno berkeliling kota Padang untuk mencari Woworuntu. Kepada rekannya itu Sukarno hendak mencari bantuan tempat tinggal. Meski tak mudah, Sukarno akhirnya menemukan tempat tinggal Woworuntu dan segera mengetuk pintu rumahnya.
Tuan rumah kaget begitu mendapati tamunya adalah Ir. Sukarno, kawan yang saat itu menjadi tokoh perjuangan kemerdekaan paling populer. “Dia memelukku. ‘Sukarno, saudaraku’,” kata Woworuntu berteriak sambil berlinang air mata saat menyambut tamunya, dikutip dalam otobiografi yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Pertemuan dua kawan yang lama tak jumpa itu begitu hangat. Tanpa disangka Sukarno, Woworuntu menawarkan apa yang diinginkan Sukarno. “Bawalah keluarga Bung Karno ke sini...bawalah ke sini dan anggaplah ini rumah Bung Karno sendiri,” kata Woworuntu yang berharap akan mendapat teman di rumahnya karena anak-istrinya telah dia ungsikan akibat suasana kota tak kondusif menyusul kedatangan tentara Jepang. Keluarga Sukarno pun tinggal di rumah Woworuntu dan menempati kamar Woworuntu. Tuan rumah sendiri pindah ke kamar lain.
Pertemuan membahagiakan Sukarno dengan Woworuntu itu menjadi bayaran atas kepedihan Sukarno sekeluarga selama empat hari menjalani perjalanan sulit dari Bengkulu menuju Padang. Pemindahan tempat pembuangan Sukarno dari Bengkulu dilakukan pemerintah Hindia Belanda karena tak ingin tokoh perjuangan paling populer itu bekerjasama dengan Jepang yang sudah mulai masuk ke Sumatera.
Dalam perjalanan itu Sukarno beserta Inggit, Sukarti anak angkatnya, dan Riwu pembantu setianya mesti melakukan perjalanan jauh menembus belantara Bukit Barisan dengan hanya membawa sedikit perbekalan. Mereka dibawa menuju Padang menjelang tengah malam 22 Februari 1942. Hanya empat polisi yang mengiringi perjalanan mereka. Mereka menyisir pantai barat Sumatra lewat Mukomuko. Ada 13 sungai yang mereka seberangi menggunakan rakit atau perahu milik penduduk sebelum mencapai Mukomuko.
Begitu sampai di Mukomuko sore keesokan harinya, mereka amat kelelahan. “Di Desa Mukomuko mereka ditimbangterimakan kepada polisi dari Karesidenan Sumatera Barat,” kata Hasjim Ning, keponakan Bung Hatta yang menjadi sahabat Sukarno, dalam otobiografinya Pasang Surut Pengusaha Pejuang.
Setelah beristirahat di sebuah rumah, perjalanan dilanjutkan pukul tiga dini hari. Perjalanan kali ini lebih berat bukan hanya karena polisi yang mengawal mereka dari Bengkulu telah diganti oleh polisi-polisi kaku dari Mukomuko, namun mobil pengangkut Sukarno sekeluarga telah dibawa kembali oleh polisi Bengkulu. “Maka rombongan Bung Karno berangkat ke arah Padang dengan menggunakan pedati yang ditarik sapi dari Muko-muko lewat Lunang dan Silaut, terus ke Painan,” sambung Hasjim yang mendengar kisahnya dari Ibu Inggit.
Gerobak-sapi itu hanya diperuntukkan mengangkut beras dan logistik selama perjalanan. Hanya Sukarti yang diizinkan naik gerobak itu jika kelelahan. Praktis, semua mesti berjalan kaki menembus belantara untuk mencapai Padang yang berjarak sekira 300 kilometer.
Meski kaget dan awalnya enggan meneruskan perjalanan, Inggit akhirnya terpaksa ikut. Akibat menyusuri hutan lebat dengan vegetasi rapat, kakinya sampai bengkak. Karena itulah ia terkadang menumpang gerobak logistik. Perjalanan berat itu akhirnya berakhir sementara menjelang magrib ketika mereka mencapai sebuah gubuk panggung kosong di tengah persawahan. Di sanalah mereka istirahat untuk menunggu pagi.
“Kalaupun disuruh berjalan terus, tak seorang pun di antara kami yang masih sanggup berjalan. kami terlalu lelah. Dan kaki bengkak-bengkak oleh gigitan serangga. Sukarti tidak memakai topi, badannya terbakar oleh terik matahari,” kata Sukarno.
Meski gubuk kosong itu kondisinya tak bagus, ia seakan surga bagi para anggota rombongan. Sebuah tikar yang ada langsung ditiduri Sukarno. Mereka akhirnya bisa istirahat meski kondisi sekitar yang menyeramkan. “Seekor ular menjalar melalui kaki. Cicak berkeliaran di atas atap. Bunyi binatang buas di malam hari di sekeliling tempat kami membikin badan jadi dingin. Tetangga kami adalah harimau, beruang, kucing hutan, rusa, babi hutan, dan monyet tak terhitung banyaknya,” kenang Sukarno.
Baca juga: Bandoola, Gajah Pahlawan Perang Dunia
Teriakan monyet yang tak henti-henti membuat Sukarti ketakutan ketika bangun tengah malam. Baru setelah ditenangkan oleh sang ayah bahwa mereka dijaga 24 jam full oleh polisi-polisi bersenjata, Sukarti bisa tenang dan kembali tidur.
Setelah bangun dan sholat serta sarapan, sereka kembali melanjutkan perjalanan di saat hari masih gelap. Itu dilakukan agar mereka bisa mencapai jarak sejauh mungkin ketika magrib tiba dan istirahat. Menjelang tengah hari bukan main senangnya mereka ketika mendapati sebuah sungai berair jernih. Tanpa melepas pakain, mereka langsung menceburkan diri ke sungai itu. Mereka lalu istirahat di sebuah gubuk yang mereka temukan tak jauh dari sungai.
Banyaknya jejak harimau yang mereka lihat selama perjalanan tak begitu menakutkan karena langit terang. Namun tidak demikian ketika seekor siamang besar mendekati mereka. “Akan tetapi kami tidak diapa-apakan, hanya jantung kami yang memukul-mukul dada dengan keras,” sambung Sukarno.
Dengan bekal ikan tangkapan dari sungai tadi, mereka lalu menjadikannya lauk. Nasi dan sayur mereka masak dari beras dan sayuran yang dibawa. Mereka pun makan siang. Perjalanan lalu mereka lanjutkan. Namun, di hari ketiga itu mereka semua telah kelelahan. Inggit bahkan sampai makan sambil berdiri akibat lelahnya dan khawatir jika duduk dia tak bisa kembali berdiri. Seorang polisi yang mengawal bahkan putus asa.
“Di samping matahari yang membakar, haus, kehabisan tenaga dan gangguan binatang, para pengiring kami harus pula mengawal kami. Sekalipun kami adalah orang tawanan dan orang yang menawan, kami semua sama merasakan pahit-getirnya perjalanan,” kata Sukarno. Maka sambil berjalan, Sukarno mencoba mengajak ngobrol polisi pengawal untuk menaikkan kembali semangatnya dan memecah kebisuan perjalanan. “Saya berterimakasih kepada saudara-saudara, karena sudah memperlihatkan daerah pedalaman ini kepada saya,” kata Sukarno.
Perkataan Sukarno langsung disambut seorang polisi dengan pertanyaan. Obrolan pun terjadi. Cerita-cerita yang dikeluarkan Sukarno menjadi hiburan bagi para polisi pengawal. Perjalanan kembali bergairah hingga ketika mereka beristirahat di satu tempat untuk menikmati air kelapa yang diambil oleh Riwu dari pohon yang ada.
Perjalanan mereka tak seberat sebelumnya. Di hari keempat, mereka sudah keluar dari hutan dan masuk ke wilayah Mingangkabau. Dengan menumpang bus, mereka lalu mencapai Padang malam itu juga dan diinapkan di sebuah hotel sebelum akhirnya Sukarno sekeluarga menumpang di rumah Woworuntu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar