Sikap Sukarno Terhadap Kaum Intelektual
Saat Presiden Kennedy bertanya tentang peran kaum intelektual Indonesia, Presiden Sukarno enggan menanggapinya.
PAGI, 24 April 1961. Sebuah pesawat mendarat di Pangkalan Udara Andrews, Maryland, Amerika Serikat, disambut Presiden John F. Kennedy bersama sejumlah pejabat pemerintah. Orang yang ditunggu-tunggu Kennedy tak lain adalah Presiden Sukarno dari Indonesia yang hari itu memulai kunjungan resmi kenegaraannya ke Amerika Serikat.
Sukarno dan rombongan disambut oleh Kennedy dalam suatu upacara resmi. Setelah sedikit bercengkrama, perjamuan kemudian dilanjutkan di White House dalam suasana yang lebih santai.
“Ini adalah isyarat sambutan kehormatan luar biasa yang dilakukan Presiden Amerika kepada pemimpin Indonesia,” tulis Walentina Waluyanti de Jonge dalam Tembak Bung Karno, Rugi 30 Sen.
Baca juga: Ketika Sukarno dan Kennedy Berdebat
Beragam hal diperbincangkan oleh keduanya. Mulai dari isu-isu berat yang membawa kepada perdebatan seperti tentang Irian Barat, hingga candaan-candaan kecil yang mencairkan suasana.
Di tengah perbincangan santai itu, Kennedy melontarkan pertanyaan yang tidak terduga. Ia menanyakan perihal keberhasilan Sukarno membangun Indonesia setelah lepas dari pengaruh kolonialisme. Ia menduga di balik besarnya nama Sukarno ada orang-orang dari golongan terpelajar (kaum intelektual), atau di Barat dikenal sebagai intellectual classes, yang membantu usahanya itu.
Bagi Amerika sendiri keberadaan kaum intelektual telah cukup lama berubah. Dalam buku The End of Ideology, Profesor Sosiologi dari Universitas Columbia Daniel Bell menyebut pada kurun masa 1950-an para penggerak yang dahulu menjadi motor ideologi-ideologi besar seperti Marxisme, Liberalisme, Konservatisme sudah kehilangan kharismanya.
Sejalan dengan itu, politikus Partai Buruh di Inggris Anthony Crosland juga mengatakan bahwa masyarakat di Amerika dan Eropa yang telah makmur secara ekonomi mulai meninggalkan diskusi-diskusi dan debat-debat politik. Bahkan mereka menganggap kegiatan itu tidaklah penting.
“Kita berhadapan di sini dengan apa yang dinamakan ‘post-politics society’,” pungkasnya.
Baca juga: Dari Ho Chi Minh hingga Kennedy
Namun kondisi itu tidak berlaku bagi negara-negara baru di sepanjang Asia-Afrika. Menurut Bell keberadaan kaum intelektual di sana berbanding terbalik dengan di Amerika dan Eropa, atau malah berbeda sama sekali. Jika di Amerika dan Eropa pengaruhnya mulai melemah, di Asia-Afrika para terpelajar itu justru baru saja memulai aksinya. Mereka menjadi penentu arah berdirinya negara-negara baru tersebut.
“Ideologi-ideologi massa Asia-Afrika adalah parokial atau picik, instrumental, dan diciptakan oleh para pemimpin politik,” ucap Bell.
Berangkat dari sana, rasa penasaran Kennedy terhadap keberhasilan Indonesia semakin besar. Ia pun lantas memberanikan diri bertanya kepada Sukarno. “Apakah kaum intelektual berada di belakang Anda?” tanya Kennedy.
Dalam buku Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961-1965 karya H. Rosihan Anwar diceritakan bahwa setelah mendengar pertanyaan presiden ke-35 Amerika itu, Sukarno tidak memberikan tanggapan apapun.
Sebagai gantinya Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio, yang kala itu ikut mendampingi Sukarno bersama Wakil Perdana Menteri Pertama Johanes Leimena dan Duta Besar Zirin Zain, berusaha memberikan jawaban mewakili Sukarno.
“Kaum intelektual di Indonesia sekarang adalah reaksioner. Mereka tidak bisa dipakai untuk ikut dalam revolusi,” kata Subandrio.
Percakapan dua pemimpin bangsa itu pun kembali dilanjutkan.
Baca juga: Wisma Sukarno untuk Kennedy
Sekembalinya ke tanah air, Subandrio pergi menemui salah seorang intelektual dari Partai Sosialis Indonesia, yang juga berprofesi sebagai diplomat Soedjatmoko. Ia mempertanyakan sikap kaum intelektual di Indonesia terhadap rezim Sukarno.
“Kenapakah teman-temanmu itu (golongan intelektual) begitu negatif selalu sikapnya? Kenapa mereka tidak menyokong pemerintah sekarang,” tanya Subandrio.
“Soalnya mudah juga. Kalau saja Sukarno menyerukan kepada kaum intelektual untuk menyokong pemerintahannya atas dasar understanding dan kerja sama yang baik, pasti kaum intelektual tidak akan berdiri di pinggir terus. Bahkan pemerintah RRT (Republik Rakyat Tiongkok) pernah melakukan seruan kepada kaum intelektual Cina untuk menyokong dan memberikan bantuan kepada pemerintah RRT,” jawab Soedjatmoko.
Dengan santai Subandrio menjawab, “Hal itu akan sukar di sini. Kau tahu betapa presiden tidak begitu suka kaum intelektual.”
Baca juga: Perempuan Terpelajar Masa Jawa Kuno
Persoalan kaum intelektual masa pemerintahan Sukarno juga pernah diperbincangkan oleh Rosihan Anwar, tokoh pers dan sastrawan Indonesia. Dalam bukunya, Rosihan bercerita bahwa beberapa kawan pernah bertanya kepadanya tentang permasalahan kaum intelektual tersebut.
Umumnya mereka mempertanyakan sikap para intelektual yang terkesan diam saja meski banyak kebijakan pemerintah Sukarno yang merugikan rakyat. “Mengapa kaum terpelajar tidak bangkit memimpin gerakan perlawanan, mempelopori rakyat dalam menentang paksaan-paksaan yang dilakukan ruling elite?”
“Mungkin karena kini ketakutan telah terlalu mendalam,” jawab Rosihan. “Mungkin juga karena menyebar anggapan bahwa perlawanan toh sia-sia belaka. Lihat sajalah pada perlawanan yang dilakukan oleh PRRI-Permesta (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) yang dipimpin oleh kaum intelektual itu. Bagaimana akhirnya? Gagal.”
Baca juga: Permesta dan Awal Gagasan Otonomi Daerah
Tambahkan komentar
Belum ada komentar