Kriminalitas Kecil-kecilan Sekitar Serangan Umum 1 Maret
Seorang kapten memunguti uang ringgit dari lemari milik pedagang Tionghoa. Dilaporkan anak buahnya kepada komandan batalyon.
Sebelum hari yang ditentukan tiba, sebuah batalyon yang dipimpin Mayor Andi Mattalata sudah ada di tempatnya. Malam 28 Februari 1949 mereka –kebanyakan berasal dari Sulawesi Selatan– sudah bersiap. Batalyon tersebut dari Resimen Hasanuddin, yang dikomandani Abdul Kahar Muzakkar.
“Pasukan yang kami hadapi ialah pasukan Belanda yang ada Hotel Merdeka dan pasukan yang berada di bawah tenda-tenda di pekarangan kantor KNIP,” aku Andi Mattalata dalam Menata Siri dan Harga Diri.
Posisi pasukan Mattalata berdekatan dengan posisi Kompi 100 yang dipimpin Kapten Abdul Latief. Sepengahuan Latief, dalam catatannya Serangan Umum 1 Maret 1949, dirinya tak bertemu Mattalata dan hanya bertemu bawahannya sehingga sulit berkordinasi. Keduanya berasal dari atasan yang berbeda pula.
Sebagai perwira yang pasukannya akan menyerang, Mattalata tentu berpikir bagaimana mesti bertahan. Pasukan lawan tentu akan menyerang balik pasukannya.
“Dan untuk mengadakan barikade saya terpaksa menyuruh bongkar rumah dan toko-toko Cina. Lalu semua lemari, meja, dan benda apa saja yang dapat digunakan menjadi barikade, saya suruh pasang di jalan. Sehingga dengan demikian panser-panser tidak dapat menerobos masuk ke sektor saya,” aku Mattalata.
Setelah sirine penanda pagi berbunyi di kota Yogyakarta, pasukan Mattalata dan juga pasukan-pasukan lain yang terlibat dalam penyerangan terhadap Yogyakarta pun bergerak. Semua mencari posisi tentara Belanda dan berupaya melumpuhkannya pada pagi 1 Maret 1949 tersebut. Tujuannya tentu saja merebut kembali ibukota Yogyakarta.
Setelah penyerangan oleh pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Yogyakarta itu, tentara Belanda bereaksi. Dari arah Magelang dan Klaten, tentara Belanda bergerak dengan pansernya.
Sebagian kombatan bawahan Mattalata melawan. Letnan Dua Muhammad Nur mencoba menembak lubang pengintip pengemudi panser, namun dia malah ditembak pasukan infanteri bersenjata senapan. Letnan Satu Abdul Rahim mencoba memasukkan granat tangan ke dalam panser lawan, namun begitu mendekat dia juga ditembak pasukan infanteri Belanda yang ada di sekitar panser. Letnan Satu Kipu juga berusaha melakukan seperti yang dilakukan Abdul Rahim, namun juga berakhir nahas. Begitulah yang diingat Andi Mattalata.
Namun, belum juga gempuran tentara Belanda berakhir, Andi Mattalata dapat laporan yang tidak diingikannya.
"Pak, komandan saya melanggar perintah Bapak!" kata bawahan dari Kapten Hasan Daeng Marala.
“Perintah apa yang dilanggar komandanmu?” tanya Mattalata.
"Waktu kita membongkar lemari dari rumah orang Cina, berhamburan ringgit perak, lalu Bapak saya Kapten Hasan memungutnya dan memasukkan di kantongnya."
"Panggil saja Komandanmu Kapten Hasan!"
Kapten Hasan pun datang menghadap Mayor Andi Mattalata. Ia langsung ditegur dalam bahasa Makassar. Namun ternyata Hasan tidak paham paham bahasa tersebut.
"Annggapai nanupakkasiri Daeng Hasan! Siapa kamu? punga!" kata Mattalata yang menunjukkan bahwa tindakannya memunguti uang ringgit yang bukan miliknya itu adalah hal yang tidak terpuji dan memalukan.
"Lakualleji pa'ngurangi!," kata Hasan sambil mengeluarkan uang ringgit yang dipungutinya tadi.
Setelahnya, Hasan disuruhnya kembali ke posnya. Hasan dan Andi Mattalata bergerak ke luar kota usai Serangan Umum 1 Maret 1949 itu. Mereka mengantisipasi jika ada pembersihan tentara Belanda yang bergerak ke pinggir kota.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar