Kisah Sabidin Bangsawan Palsu
Pelaut pelarian dari kapal pemerintah ini mengaku sebagai putra mahkota Banten. Menipu banyak orang.
JAUH sebelum Albert Dietz mendaku diri sebagai titisan dari Pangeran Timur Muhamad alias Gusti Muhammad Herucokro alias Haji Mohammad Ngusman (anak tunggal Sultan Hamengkubuwono V yang terbuang) di Jawa Tengah, lelaki bernama Sabidin telah mendaku diri sebagai sultan Banten. Sejak 1915, Dietz menuntut takhta atas dirinya di Kesultanan Yogyakarta. Takhta tersebut katanya seharusnya untuk Pangeran Timur Muhamad setelah sultan Hamengkubuwono V mangkat.
Dietz disebut De Nieuwe Vorstenlanden tanggal 2 Mei 1929 sebagai seorang tabib, dukun sakti ajaib, juga peramal. Dia mencari uang dari penduduk dengan pamornya itu. Dietz dan Sabidin pernah berada dalam naungan orang Belanda pula. Kisah Sabidin yang menggemparkan itu diberitakan koran Java Bode tanggal 18 Agustus 1888 dan Algemeen Handelsblad tanggal 27 September 1888.
Sabidin disebutkan lahir di Yogyakarta. Sejak usia 12 tahun ia meninggalkan ibu kandungnya. Dia lalu ikut seorang Belanda bernama Willemsen ke Surabaya. Selama di Surabaya, selain belajar menjadi pandai besi dia pernah bekerja di instalasi mesin uap, juru gambar, dan juru mudi untuk jawatan pelayaran Hindia Belanda Gouverment Marine (GM). Dikabarkan, dia pernah berada di Telukbetung, kota pelabuhan di selatan Lampung.
Soal menggambar, dia pernah bertemu pelukis Raden Saleh yang sohor dan Sabidin diajari menggambar. Konon, Sabidin pernah dibawa Raden Saleh ke Paris. Sabidin pernah bertemu pula bertemu AJW van Delden dan Raden Mas Soenario, yang katanya cucu Mangkunegoro, sekitar 1879.
Sabidin akhirnya bosan dengan kehidupan sebagai pelaut. Dia memilih kabur dari GM. Sabidin lalu mencari penghidupan ke Karang Antu. Di sana dia bertemu Djaro Massid. Dari perjalanannya kemudian, dia bertemu pensiunan patih Lebak, Djaja Koesoemah.
Sabidin memperlihatkan dirinya pandai mengaji dan tampak berbudaya. Dalam sebuah obrolan, dia ditanya Koesoemah di mana tempat kelahirannya. Sabidin menjawab Anyer. Oleh pensiunan patih itu Sabidin lalu disebut sebagai Pangeran Timoer, putra sultan terakhir Banten Safioeddin, yang diasingkan ke Surabaya tahun 1850. Sabidin mengiyakannya saja.
Ketika bertemu dengan bupati Serang kemudian, secara terang-terangan Sabidin mendaku diri sebagai putra mahkota sultan Banten. Namun kata bupati Serang, dia tidak ingin menuntut takhta atau kekuasaan politik yang mengganggu ketertiban. Banyak rakyat jelata begitu menghormatinya. Namun setelah mendapatkan kepercayaan, Sabidin disebut-sebut menyalahgunakannya untuk memeras sejumlah uang.
Tak hanya berkelana di daerah Banten, Sabidin juga berkelana ke Cirebon. Di sana, Sabidin mendatangi Haji Abdul Adjit, penjaga makam suci Sunan Gunung Jati di Astana. Sabidin main peran tipuannya lagi hingga dijuluki Haji Maulana, gelar yang bukan sembarang gelar di sana. Sabidin disebutkan juga merayu putri Haji Talka.
Dari Cirebon, dia ke Majalengka, lalu Bandung, Cianjur, dan terakhir Bogor. Akhirnya Sabidin kembali ke Serang sebagai orang terpandang.
Di Serang, dia dinikahkan dengan Sapirah, putri Djaja Koesoemah, di masjid kampung Kasoeniatan. Sebagai Haji Maulana Pangeran Timor, Sabidin menikahi Sapirah dengan mas kawin 40 reichsdaalder. Setelah kawin, dia tinggal bersama nenek mertuanya, Ratu Aminah. Sabidin sering berkunjung ke rumah orang-orang terpandang. Mulai dari bupati Serang, bupati Pandeglang, patih Lebak, wakil jaksa Bogor hingga Haji Thalib di Sukabumi, Haji Idjang di Cianjur, dan Haji Saripah di Bandung. Istrinya kadang dia tinggalkan ketika bepergian.
Setelah Sabidin sukses menjadi Pangeran Timoer sebagai putra mahkota sultan Banten, rupanya sebagian orang curiga dan saling berkirim surat untuk memastikan status Pangeran Timur. Keluarga sultan Banten yang dibuang ke Surabaya pun rupanya tak satu pun kenal Sabidin alias Pangeran Timur itu.
“Kisah Sabidin dan seorang pelaut pedalaman, yang pada tahun delapan puluhan menggemparkan seluruh Banten dan mengelabui penguasa Eropa dan pedalaman di wilayah itu selama berbulan-bulan dengan berpura-pura menjadi Pangeran Timoer, putra sulung orang terakhir yang diasingkan ke Surabaya dari Banten, Sultan Rafioedin. Sabidin ini juga jatuh ke dalam perangkap dengan mempercayai tipuannya sendiri, melakukan hal-hal yang membuat residen (yang kemudian menjadi direktur Binnenlands Bestuur) van Vleuten dari Bandung curiga. Sebuah telegram tunggal ke Surabaya dari Sabidin terbongkar,” demikian Limburger Koerier, 4 Maret 1932, memberitakan.
Sabidin alias Pangeran Timoer palsu itu akhirnya ditangkap pada 29 April 1884. Landraad (pengadilan rendah pribumi) menjatuhi hukuman dua tahun kerja paksa padanya karena desersi dari GM. Pada 28 Agustus 1886, Sabidin dihukum lagi karena kejahatan serupa, dengan hukuman empat tahun kerja paksa di Surabaya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar