Dendam di Balik Peledakan Pesawat United Airlines 629
United Airlines 629 diledakkan seorang pemuda karena dendam. Menewaskan 44 orang, peledakan itu jadi kasus pengeboman pesawat sipil pertama di Amerika.
John ‘Jack’ Gilbert Graham cemas petang, 1 November 1955, itu. Kemacetan lalu lintas membuatnya tertahan untuk bisa segera sampai di Bandara Stapleton, Denver, Colorado. Padahal, masih banyak urusan mesti dia selesaikan di bandara agar ibunya, Daisie Eldora King, seorang pengusaha restoran, tidak tertinggal penerbangan.
Jack akhirnya sampai di bandara. Bersama Daisie, Gloria istrinya, dan Allen anaknya, Jack langsung menuju terminal keberangkatan. Sementara anak, istri, dan ibunya diperintahkannya menunggu di ruang tunggu, Jack kembali ke tempat parkir tanpa alasan jelas di tengah sempitnya waktu.
“Jack Gilbert Graham memiliki tempat unik dalam sejarah penerbangan Amerika. Dia bukan pilot. Dia juga bukan penumpang pada hari yang menentukan di musim gugur 1955,” tulis kriminolog cum penulis R. Barri Flowers dalam Mass Murder in the Sky: The Bombing of Flight 629 (Historical True Crime Short).
Jack merupakan putra Daisie dengan suami keduanya, William Henry Graham. Jack yang dilahirkan di Denver pada 23 Januari 1932 menjadi yatim setelah ayahnya meninggal pada 1937. Kasih sayang Jack pun didapat hanya dari Daisie, dan berlangsung tidak lama. Memburuknya perekonomian keluarga sepeninggal William membuat Daisie terpaksa bekerja. Jack dan kakak tirinya, Helen Ruth –putri Daisie dari suami pertama, lalu dititipkan ke nenek mereka (ibu Daisie). Lantaran ibu Daisie meninggal dunia pada 1938, Helen dan Jack dititipkan ke panti asuhan.
Kehidupan ekonomi Daisie baru membaik setelah dia menikah dengan Earl King, seorang peternak kaya di Toponas, pada 1941. Daisie bahkan menjadi kaya setelah menerima warisan King yang meninggal pada 1954. Dengan warisan itu Daisie membuka restoran Crown-A Drive-in Dinner. Daisie begitu menikmati kehidupan barunya dan “lupa” kepada anaknya sehingga anak-anaknya tetap di panti. Sikap Daisie itu menimbulkan kesan mendalam di benak Jack.
“Putranya, John ‘Jack’ Graham, membencinya karena meninggalkannya dan kebencian itu semakin membara sejak dia bergabung kembali dengannya,” tulis Philip Jett, seorang pengacara yang beralih menjadi penulis, dalam “United Flight 629: America’s First Mass Murder in the Sky”, dimuat criminalelement.com, 21 Maret 2019.
Usai keluar panti, Jack harus bergonta-ganti pekerjaan untuk menghidupi dirinya. Dari mulai menjadi personel US Coast Guard hingga juru gaji di sebuah pabrik manufaktur di Denver. Namun, dia tidak pernah punya prestasi dan sebaliknya, malah terlibat bermacam tindak kriminal hingga menjadi buron.
Baca juga: Kisah Buronan Sekutu
Pada 1951, Jack tertangkap dalam pelariannya. Namun, dia dilepaskan dan dikembalikan ke Colorado tak lama kemudian karena ditebus Daisie; Jack hanya menjalani hukuman masa percobaan sebentar. Pada 1953, Jack menikahi Gloria kemudian tinggal di Western Slope Colorado. Pada saat itulah Jack dibujuk Daisie untuk tinggal bersama di rumah-peternakan (ranch) Daisie di Mississippi Avenue, Denver. Jack juga diminta bekerja di restoran milik ibunya.
“Menggunakan tawaran untuk membeli rumah sebagai penjamin, Daisie King membujuk putranya untuk pindah kembali ke Denver dan mendaftar ulang dalam program malam di kampus pusat kota University of Denver (di mana dia sebelumnya telah menyelesaikan dua perempat kelas),” tulis jurnalis Andrew J. Field dalam Mainliner Denver: The Bombing of Flight 629.
Jack memenuhi permintaan ibunya. Namun, keharmonisan hubungannya dengan Daisie hanya sebentar. Masalah uang membuat keduanya bak kucing dan anjing.
“Hal-hal menjadi buruk antara Graham dan ibunya ketika dia dipaksa untuk membayar kembali uang yang telah ibunya kumpulkan untuk mencegahnya masuk penjara. Ibunya juga menegaskan bahwa dia membayar sewa untuk tinggal di rumahnya. Saksi mata mencatat bahwa ibu dan anak itu terus-menerus berdebat tentang masalah uang,” tulis Barri Flowers.
Jack kembali menceburkan diri ke dunia hitam untuk bisa mendapat uang guna melunasi utang-utangnya kepada Daisie. Pada awal 1955, dia sengaja meninggalkan truknya di rel sehingga truknya tertabrak keretaapi. Dari “akal-akalan” itu, Jack menerima ribuan dolar pembayaran asuransi atas kehilangan truknya. “Beberapa di antaranya diserahkan kepada ibunya untuk membayar utang, yang hampir lunas pada Oktober tahun itu,” sambung Barri. Lalu, pada September 1955, Jack terlibat dalam sebuah ledakan di resto milik Daisie. Dari kesaksian beberapa karyawan resto, Jack sengaja melakukannya demi mendapatkan asuransi.
Baca juga: Sejarah Bisnis Asuransi di Indonesia
Jack memanfaatkan momen ketika pada musim gugur 1955 Daisie merencanakan liburan ke Alaska untuk menengok Helen sekaligus menyalurkan hobi berburunya. Daisie membeli tiket pesawat United Airlines (UAL) dan mendapatkan penerbangan no. 629 yang dijadwalkan berangkat dari Denver tanggal 1 November 1955 pukul 18.44 menggunakan pesawat DC-6B “Mainliner”.
“United Air Lines Penerbangan 629 dijadwalkan setiap hari antara Bandara LaGuardia, New York, dan Seattle, Washington. Ada pemberhentian terjadwal untuk rute ini di Chicago, Illinois; Denver, Colorado; dan Portland, Oregon, dengan pergantian kru di Chicago dan Denver. Pada 1 November 1956, operasional rutin ini ke Denver dan mendarat pada pukul 18.11, 11 menit terlambat karena beberapa penundaan darat singkat,” tulis Civil Aeronautics Board (CAB) dalam laporannya yang diterbitkan pada 14 Mei 1956, Accident Investigation Report.
Pilot Kapten Lee H. Hall, yang –merupakan veteran Perang Dunia II– akan memimpin penerbangan dari Denver, telah tiba di Bandara Stapleton jauh sebelum pesawat UAL 629 tiba dari Chicago. Kedatangan lebih awal itu untuk mengantisipasi hal-hal tak terduga. Pasalnya, saat itu pemogokan teknisi UAL yang dimulai pada 23 Oktober masih berlangsung.
Pemogokan itu membuat banyak orang terkena imbas. Salah satunya, pasangan muda Brad dan Carol Bynum, yang merayakan ulang tahun pernikahan ke Denver. Pasangan itu sampai menunda kepulangan mereka ke Portland beberapa hari sebelumnya karena penerbangan yang ingin mereka tumpangi dibatalkan. Terpaksa memperpanjang waktu di Denver, pasangan Bynum lega ketika akhirnya mendapat tiket UAL 629 dan tidak ada pengumuman pembatalan hingga hari keberangkatan.
“Para teknisi yang mogok berharap untuk dapat menyebabkan lebih banyak gangguan seperti yang dialami Bynum. Dalam upaya untuk memberi lebih banyak tekanan pada maskapai, Serikat Teknisi Penerbangan baru-baru ini meminta Serikat Teamster (salah satu serikat buruh terbesar UAL, red.) untuk mendukung pemogokan dengan memotong semua pengiriman bahan bakar ke United. Ketegangan antara para teknisi dan maskapai meningkat dengan cepat, dan United telah menempatkan pasukan keamanan dari Burns Detective Agency di Stapleton Airfield untuk ‘mencegah kekerasan’ dan ‘melindungi properti perusahaan’,” tulis Andrew J. Field.
Baca juga: Pemogokan Buruh Kereta Api di Bulan Puasa
Pada 1 November itu, Jack juga sibuk. Menurut Gloria, suaminya hari itu sibuk mencari hadiah natal untuk ibunya. Hadiah itu lalu disatukan dengan barang bawaan Daisie, termasuk beberapa kotak peluru dan amunisi untuk berburu, ke dalam tiga koper saat Daisie mengemasi barang-barang bawaannya di ruang bawah tanah rumah. Ketiga koper itu kemudian diangkat Jack ke mobil Plymouth 1951 yang petang harinya mereka gunakan ke bandara.
Kemacetan lalu lintas membuat mereka tiba dengan waktu mepet dari keberangkatan pesawat. Kendati begitu, Jack masih punya waktu untuk mengurus segala keperluan penerbangan ibunya. Dia sempat membeli tali untuk mengikat satu koper Daisie yang rusak lalu mengirimkan ke bagian bagasi penerbangan. Atas permintaan Daisie pula, Jack sempat membeli tiga polis asuransi untuk Daisie, Helen Ruth, dan Helen Smith adik Daisie.
Setelah semua urusan selesai, mereka masih mengobrol ketika panggilan boarding terdengar tak lama berselang. Daisie langsung menciumi satu persatu anggota keluarganya itu lalu mengucapkan selamat tinggal dan masuk ke ruang menuju pesawat. Jack lalu mengajak anaknya ke lantai dua untuk melihat pesawat UAL 629 mengudara.
“Graham mengatakan dia dan putranya menyaksikan pesawat lepas landas dan tetap berada di dek observasi sampai pesawat itu menghilang dari pandangan. Kembali ke dalam, mereka bergabung kembali dengan Gloria untuk makan malam ringan di kedai kopi di lantai pertama,” tulis jurnalis Andrew J. Field.
Pukul 18.44 waktu setempat, UAL 629 take off dengan mulus menuju Portland. Sesuai manifesnya, pesawat itu mengangkut 39 penumpang plus lima awak. Beberapa menit kemudian pesawat itu telah mencapai ketinggian 4.000 kaki.
“Para penumpang memperhatikan tanda-tanda yang memberi mereka lampu hijau untuk melepaskan sabuk pengaman dan merokok jika mereka mau, kemungkinan memanfaatkan kesempatan itu. Mereka siap untuk bersantai, menerima minuman, dan menikmati sisa perjalanan,” tulis Barri Flowers.
Pengawas di menara ATC terus melakukan komunikasi radio dengan UAL 629. Pada pukul 18.56 pilot Hall menginformasikan pesawatnya telah melewati Denver Omni. Itu menjadi komunikasi terakhir Hall dengan pengawas. Sebab, pada pukul 19.03 pengawas ATC melihat kilatan cahaya yang menerangi langit di barat yang disusul cahaya serupa tak lama kemudian. Hal itulah yang membuat pengawas segera mengontak semua penerbangan yang berangkat dari Stapleton, dan hanya pilot UAL 629 yang tidak menjawab.
Suara dari cahaya itu pula yang didengar di sebuah rumah-pertanian di Longmont, 31 mil utara Denver. Conrad Hopp, 18 tahun, sedang makan malam bersama keluarganya ketika mendengar suara itu.
“Dan kemudian kami mendengar ledakan keras yang mengguncang semua jendela di rumah. Kami melihat ke luar, dan kami bisa mendengar deru mesin –begitulah cara Anda tahu itu pesawat– dan bola api muncul di udara,” ujarnya sebagaimana diberitakan thedenverchannel.com pada 1 November 2019.
Baca juga: Saat Pesawat Sipil Dihantam Misil
Bersama kakaknya, Conrad segera berbegas ke lokasi menggunakan mobil Chevy ’54 ayahnya. Mereka menggunakan jalur yang aman dari puing-puing pesawat yang berjatuhan. Mereka lalu menghampiri Martha, pacar Conrad.
“Dan ketika kami melihat sekeliling, setiap jalan terang. Di atas bukit, ke manapun Anda melihat ada cahaya karena semua orang melakukan hal sama –untuk melihat apa yang terjadi,” kata Martha, dikutip thedenverchannel.com.
Di dekat lokasi jatuhnya sebagian badan pesawat, mereka berhenti untuk memeriksa. Ketika Conrad kembali ke mobil, dia melihat sebuah kursi bagian depan pesawat berikut sesosok mayat yang masih terikat sabuk pengaman di kursinya.
Hampir semua penduduk Longmont keluar rumah malam itu untuk mencari tahu apa yang terjadi. Banyak dari mereka kemudian menjadi sukarelawan yang membantu aparat kepolisian mencari reruntuhan pesawat dan para korban di dalamnya yang tersebar di areal seluas enam mil persegi. Sekira pukul 9 malam usai kejadian, Unit Pertama Baterei B Artileri Lapangan ke-168 Garda Nasional Longmont dikerahkan ke lokasi untuk membantu aparat kepolisian dan petugas patroli yang bertugas.
Selain Conrad dan kakak serta pacarnya, orang paling awal yang tiba di lokasi kejadian adalah wartawan Jim Matlack dari Longmont Times-Call. Begitu tiba, Matlack bergabung dengan petani bernama Jake Heil mencari para korban yang mungkin bisa diselamatkan.
“Tidak ada yang kami lakukan selain menutupi mayat-mayat itu. Tidak ada tanda-tanda kehidupan,” kata Matlack, dikutip timescall.com, 31 Oktober 2021.
Sementara tak satupun dari penumpang dan awak yang ditemukan hidup, puing-puing dan barang-barang bawaan penumpang yang ditemukan langsung dibawa ke gudang bandara oleh para petugas investigasi dari CAB malam itu juga. Puing-puing itu lalu dirangkai ulang.
“Ini satu-satunya cara untuk memvisualisasikan sepenuhnya di mana sumber ledakan di pesawat itu,” tulis thedenverchannel.com mengutip Jeff Guzzetti.
Beberapa jam kemudian, para penyelidik CAB mengeluarkan kesimpulan. Penyebab kecelakaan, kata mereka, bukanlah kerusakan ataupun kelalaian awak, tapi ledakan dengan intensitas besar dari kompartemen bagasi No.4 tempat tiga koper Daisie berada.
“Rekonstruksi dan pemeriksaan badan belakang pesawat membuktikan bahwa kekuatan yang menyebabkan disintegrasi (tubuh pesawat, red.) awal terpancar dari titik di dalam ruang kargo nomor 4. Intensifikasi yang sangat nyata dalam keparahan fragmentasi dari segala arah menuju titik ini membuktikan bahwa disintegrasi badan belakang pesawat disebabkan oleh ledakan sangat dahsyat yang berasal dari sumber yang sangat lokal. Kekerasan itu jelas ditunjukkan oleh pecahan-pecahan yang telah diproyeksikan melalui dinding dan langit-langit kompartemen kargo serta dengan merobek, penyok, dan melengkung dari struktur yang berdekatan. Bukti ini sangat kontras dengan kerusakan akibat ledakan dari penyalaan bahan mudah terbakar yang dibawa dan digunakan selama pengoperasian pesawat. Analisis laboratorium mengkonfirmasi hal ini dan menentukan bahan peledak adalah dinamit,” demikian bunyi laporan CAB, Accident Investigation Report.
Sepekan kemudian, CAB menghubungi FBI. Pemeriksaan pun memasuki ranah kriminal. Serpihan koper Daisie yang berada di kompartemen bagasi nomor 4 diyakini sebagai tempat asal ledakan. Bertolak dari hasil temuan CAB, FBI memeriksa banyak saksi. Kejanggalan demi kejanggalan mulai didapati setelah menginterogasi Jack dan Gloria. Terlebih setelah Gloria memberi keterangan yang mematahkan keterangan Jack.
“Graham, kenang istrinya kepada FBI, membawa paket itu ke dalam rumah dan membawanya ke ruang bawah tanah, tempat ibunya mengemasi barang bawaannya,” kata Gloria, dikutip thedenverchannel.com, 1 November 2019.
Ditambah dengan temuan polis asuransi dan kabel –yang identik dengan sisa kabel yang digunakan untuk merangkai dinamit yang ditemukan di reruntuhan pesawat– di saku baju Jack yang diperiksa di kamarnya, para agen FBI akhirnya mengerucutkan kecurigaan pada Jack. Kendati terus menyangkal, setahap demi setahap Jack mengakui perbuatannya. Puncaknya, dia mengakui sebagai peledak United Air Lines 629.
“Dia mengatakan membuat bom waktu, dengan 25 batang dinamit yang dibeli di Kremmling, dua tutup primer listrik, timer, dan baterai enam volt,” tulis thedenverchannel.com.
FBI melimpahkan kasus tersebut ke Jaksa Distrik Denver Bert Keating. Pada April 1956, kasus tersebut masuk ke pengadilan. Lantaran belum ada legislasi federal tentang kejahatan peledakan pesawat komersil, pengadilan akhirnya memvonis Jack dengan kasus pembunuhan berencana biasa dengan sasaran Daisie kendati 44 jiwa menjadi korban. Pada 5 Mei 1956, majelis hakim memutuskan Jack bersalah dan merekomendasikan hukuman mati. Keputusan itu lalu diadopsi hakim yang memimpin persidangan terakhir, Agustus 1956. Pada 11 Januari 1957, Jack menajani hukuman mati di kamar gas LP Negara Bagian Colorado.
Kasus peledakan UAL 629 menjadi pembunuhan massal pertama di udara yang terjadi di Amerika Serikat. “Dampak (kejahatan, red.) Jack Graham adalah sebuah pembunuh massal. Dia menanam bom dinamit di bagasi milik ibunya, yang mengambil penerbangan dari Denver, Colorado ke Portland, Oregon, dengan tujuan utamanya adalah Alaska untuk mengunjungi putrinya. Ibu Graham tidak pernah sampai ke tujuannya, begitu pula penumpang dan awak lain. Motivasi Jack Graham rupanya untuk mengumpulkan asuransi atas kematian ibunya, meskipun beberapa orang percaya hubungan sulit antara Graham dan ibunya yang menyebabkan tragedi itu,” tulis Barri Flowers.
Kasus itu mendorong pemerintahan Eisenhower memberi perhatian lebih terhadap penerbangan sipil.
"Pengeboman itu mendorong Presiden Eisenhower untuk menandatangani rancangan undang-undang yang menjadikannya kejahatan federal yang dapat dihukum mati atau penjara seumur hidup bagi seseorang yang 'menempatkan... bahan peledak atau bahan perusak lain di dalam pesawat terbang atau kendaraan bermotor yang digunakan dalam perdagangan antarnegara bagian yang menyebabkan kematian,'" tulis Philip Jett.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar