Adik Jadi Korban Prinsip Tak Kompromi Kolonel Djati
Djatikusumo selalu mementingkan pendidikan dalam pembentukan militer profesional. Tak kenal kompromi, adik sendiri kena "getahnya".
Sebagai salah seorang pemikir militer Indonesia, Kolonel Djatikusumo sejak awal memiliki konsep tentang bagaimana organisasi militer semestinya dibangun. Salah satu faktor terpenting dari konsepnya ialah, harus ada pendidikan militer profesional. Bertolak dari kosenp itulah Djati kemudian menggagas berdirinya Sekolah Opsir Tjadangan (SOT) di Salatiga.
“Keputusan mengadakan Sekolah Opsir Tjadangan didasarkan atas prakarsa Jenderal Mayor Djatikusumo, untuk membentuk satu korps opsir (perwira) cadangan, yang anggotanya dibentuk dari guru-guru dan pelajar pejuang yang kebetulan sudah berada di dalam jajaran komandonya. Gagasan ini timbul setelah melihat kenyataan ketika pertempuran-pertempuran di front Ambarawa dan Semarang, banyak anak pelajar yang gugur,” tulis Himpunan Pas T Ronggolawe dalam Pasukan “T” Ronggolawe: Perjalanan Sejarah Sekelompok Pemuda Pelajar Semarang.
Kepedulian pada pendidikan itu membuat Djati terjun langsung dalam pengajaran maupun ujian. Selain itu, Djati biasa menyertakan para taruna ke dalam pertempuran sungguhan meski sering ditentang banyak perwira senior.
“Ia justru berpendapat bahwa para kadet ini perlu ikut berperang secara aktif, sebab perang ini merupakan kesempatan yang bagus bagi para calon perwira untuk memperoleh pengalaman bertempur dalam arti yang sebenarnya. Suatu kesempatan yang belum tentu bisa diperoleh di masa-masa mendatang. Kalau toh nanti jatuh korban, itu risiko,” kata Moehkardi dalam buku Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Fisik 1945 sampai dengan 1949.
Meski berat, para taruna tak pernah mengeluhkan konsep pendidikan seperti itu. Para taruna sama seriusnya seperti personil-personil lain dalam operasi militer. Seperti yang dialami Mardihadi, anggota Pasukan Tjadangan Ronggolawe yang ditempatkan di Bungah, Kawedanan Sedayu (Front Ronggolawe I: Surabaya Barat dan Utara) untuk mengawasi gerak-gerik musuh dan mata-mata musuh.
“Di kota Bungah ini, makan sehari-hari hanya telur bebek diceplok, diolesi petis sedikit lombok dan gereh (ikan asin). Memang adanya hanya itu-itu saja. Hiburan hampir tidak ada, satu-satunya hiburan sebagai selingan adalan nonton gadis-gadis yang andi di Bengawan Solo, sekadar untuk menghilangkan kejenuhan yang berkepanjangan (istilah Pasukan T: nonton gitar kecemplung),” Himpunan Pas T Ronggolawe.
Jauh setelah itu, penerjunan langsung ke dalam pertempuran juga dirasakan manfaatnya oleh taruna Atekad Try Sutrisno (kelak menjadi wakil presiden) saat diikutsertakan Djati dalam menangani PRRI. “Praktik lapangan yang paling berkesan adalah pelibatan para taruna Atekad dalam tugas operasi Sumatera Barat. Dari situ kami para taruna dapat menerapkan ilmu dan seni kepemimpinan prajurit, maupun merasakan dan menghayati secara langsung dinamika pelaksanaan operasi, dalam situasi dan kondisi yang sebenarnya. Penugasan operasi semasa taruna di dalam periode kepemimpinan Pak Djati merupakan pengalaman langka dan sangat berharga,” kata Try dalam testimoni berjudul “Pak Jati di Mata Saya”.
GPH Haryo Mataram (kelak menjadi rektor pertama Universitas Negeri Surakarta), adik tiri Djati (satu ayah beda ibu), juga amat merasakan manfaat pola pendidikan yang diterapkan Djati sejak awal kemerdekaan. Dia menyadari kemudian bahwa pendidikan oleh Djati sebagai motivasi tak langsung kepada para taruna.
Namun, Haryo ingat Djati amat profesional dalam pekerjaannya. Alih-alih mendapat keistimewaan, Haryo justru mendapat perlakuan lebih keras dibanding yang diterima teman-temannya dari Djati. Itu dialaminya saat ujian terakhir di Akademi Militer Yogyakarta dengan mata pelajaran taktik. Djati yang turun langsung menguji bersama Letkol Ismail, justru membebankan Haryo dengan ujian lebih berat.
“Justru pertanyaan yang ditujukan kepada saya adalah yang paling sulit, dan kepada saya dikejar terus dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan,” kata Haryo dalam testimoninya di biografi Djati berjudul GPH Djatikusumo, Prajurit-Pejuang dari Kraton Surakarta.
Ketagasan Djati dirasakan Haryo sejak awal, ketika Haryo dan sejumlah taruna diperbantukan ke Divisi Ronggolawe yang dipimpin Djati sebelum Agresi Pertama. Ketika Haryo melaporkan kedatangan pasukannya, Djati menolak. Upaya itu terjadi hingga beberapa kali.
“Mengapa ditolak? Karena ternyata kancing baju saya dan beberapa teman taruna Akademi Militer tidak tertutup (terbuka). Sehingga hanya karena kurang rapi saja laporan saya ditolak,” kata Haryo.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar