Senandung Masa Lalu dari Kaset Pita
Sempat berjaya di industri musik Tanah Air. Namun, kini kaset pita tinggal menunggu waktu untuk dilupakan.
Hari Musik Nasional jatuh tiap 9 Maret. Pemilihan berdasar pada kelahiran Wage Rudolf Soepratman, pencipta lagu kebangsaan Indonesia yang berjudul Indonesia Raya. Walaupun baru ditetapkan pada 2013, musik di Nusantara sendiri sudah mengalun sejak lampau dengan berbagai medium pemutarnya. Salah satunya kaset.
Kaset kali pertama dibuat oleh perusahaan Philips di Eropa pada 1963. Di Amerika Serikat, kaset disebut compact cassette. Memasuki dekade 1970-an, kaset semakin populer di industri musik dunia hingga akhirnya menyapa Indonesia.
Baca juga: Cerita dari Gulungan Pita
Sebelumnya, para musisi dalam negeri masih menggunakan piringan hitam sebagai media rekam untuk memperdengarkan musik mereka kepada para penikmat musik. Hingga dekade 1970-an, barulah piringan hitam mulai berganti menjadi kaset.
Menurut Muhammad Mulyadi, sejarawan Universitas Padjajaran, dalam Industri Musik Nasional (Pop, Jazz, Rock 1960-1990), perusahaan rekaman dalam negeri pertama kali menggunakan kaset pada 1973. Murah, praktis, dan bisa dibawa kemana saja menjadi alasan mengapa akhirnya kaset mulai meroket di kalangan musisi.
Baca juga: Dari Gramofon hingga Music Streaming
Bahkan, di puncak popularitasnya pada 1980 hingga 1990-an, industri kaset turut serta mendongkrak pemasukan negara. Miliaran rupiah masuk ke kas negera melalui stiker Pajak Pertambahan Nilai dari setiap keping kaset yang dijual.
Tapi roda nasib berputar. Kaset yang tadinya populer, berangsur ditinggalkan. Era merekam dengan metode pita berganti dengan digital. Dekade 2000-an menandai akhir kaset setelah muncul era compact disc hingga platform musik digital.
Baca juga: Asal-Usul Pemutar Musik
Tapi sebenarnya kaset tidak sepenuhnya hilang dari peredaran. Masih banyak pedagang kaset di Jakarta seperti di Blok M, Jalan Surabaya, dan Jatinegara. Kebanyakan yang dijual adalah kaset lawas. Salah satu pedagangnya bernama Ridwan (47). “Saya amat menyukai musik sejak kecil,” kata Ridwan.
Menurutnya, pembeli kaset bukan hanya kolektor berusia lanjut, melainkan juga anak-anak muda. “Mungkin karena mereka tidak mengalami masa kaset jadi penasaran dan akhirnya beli,” tambahnya.
Ketika Historia.id menyambangi tokonya di Blok M, tampak beberapa pembeli yang usianya beragam. Pemandangan serupa juga tampak di toko kaset milik Untung yang juga terletak di Blok M. Beberapa anak muda terlihat asyik mengobrol dengan pria asal Bogor tersebut sebelum membeli sebuah kaset Jazz.
Baca juga: Mengalun Bersama Sejarah Jazz
“Menurut saya keunikan kaset itu banyak. Dari cover albumnya yang bagus, kualitas suara karena itu pita, dan mungkin sensasinya saat kita memperbaiki pita itu saat kusut atau kotor,” katanya.
Pada akhirnya memang hanya semangat untuk mengkoleksilah yang membuat benda seperti kaset masih tetap ada hingga saat ini. Selain itu tentu keyakinan bahwa musik tidak akan pernah berhenti. Seperti keyakinan yang dikatakan oleh Untung. “Kenapa saya masih berdagang kaset hingga era saat ini, karena saya yakin kaset tidak pernah sepi peminat dan musik tidak akan pernah mati,” tutupnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar