Usaha Menteri Keuangan A.A. Maramis Menyelamatkan Ekonomi Indonesia
Alex menjadi menteri keuangan di tengah beragam ujian politik dan ekonomi mewarnai Republik. Kabinet jatuh bangun dan Belanda kembali ingin menguasai Republik.
BELUM genap dua tahun usia Republik Indonesia, semenjak 17 Agustus 1945. Beragam ujian politik dan ekonomi mewarnai kehidupan republik. Kabinet pemerintahan jatuh bangun. Belanda juga masih ingin menguasai Republik Indonesia kembali. Di dalam keadaan itu, Alexander Andries Maramis (Alex Maramis) menunaikan tugasnya sebagai menteri keuangan.
Keadaan ekonomi Indonesia 1947-1949 masih seperti di tahun 1945. Pendapatan negara tiris, produktivitas pangan rendah. ”Meskipun produksi pangan pada tahun 1948-1949 lebih tinggi dari tahun sebelumnya, namun itu sekitar 10 persen di bawah rata-rata produksi sebelum perang tahun 1937. Sebaliknya, penduduk Indonesia mungkin telah meningkat sejak perang dari 70 menjadi 73 Juta,” lapor United States Departement of Agriculture, dalam World Food Situation 1949, 12 Januari 1949.
Beng To Oey dalam Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia: (1945-1958) mengemukakan hal senada. “…Ekspor komoditi penting dari Indonesia, yang sesungguhnya merupakan sokoguru utama bagi perekonomian, untuk beberapa tahun setelah pengakuan kedaulatan tidak akan mampu mencapai tingkat sebelum perang, sedangkan beras sebagai bahan makanan utama rakyat untuk sementara harus diimpor dalam jumlah yang cukup banyak,” terang Beng.
Agresi militer Belanda pertama 21 Juli—5 Agustus 1947 memperparah keadaan ini. Belanda perlu menguasai alam Indonesia untuk memulihkan ekonominya pasca Perang Dunia II.
Belanda juga memblokade pelabuhan dan jalur-jalur perdagangan ke luar sejak November 1945. Republik Indonesia pun susah berdagang dengan mancanegara. Sedangkan Indonesia butuh biaya untuk menjalankan pemerintahan, perang, juga untuk kesejahteraan rakyat.
Di dalam suasana itu, Perdana Menteri Amir Sjarifuddin membentuk kabinetnya pada 3 Juli 1947. Nama Alexander Andries Maramis (Alex Maramis) tercantum di dalam daftar susunan kabinet sebagai Menteri Keuangan. Pengesahannya melalui Keppres No. 68-A-47, 3 Juli 1947.
Sebelumnya Alex pernah menjadi menteri keuangan di masa kabinet pertama Republik Indonesia, menggantikan Dr. Samsi Sastrawidagda yang hanya bertugas selama dua pekan.
Alex bukanlah ekonom. Dia meraih gelar Meester in de Rechten (Mr) —setara Magister Hukum—dari Universitas Leiden. Namun pimpinan kabinet melihat Alex layak menduduki posisi itu. Jumlah intelektual di Indonesia ketika itu terbatas untuk memenuhi kebutuhan yang besar. Karenanya, mereka, termasuk Alex dituntut untuk serba bisa.
Kabinet Amir bubar. Dia kembali menyusun kabinet yang baru pada 11 November 1947. lagi-lagi Alex menjadi Menteri Keuangan. Namun hanya bertahan sampai 29 Januari 1948. Keppres No. 21/P.Clv./48, tertanggal 23 Januari 1948, mengakhiri tugas Alex.
Cerita Mohamad Hatta dalam Memoir, para menteri dari Masyumi dan PNI mundur dari kabinet. Mereka tidak setuju dengan isi Perjanjian Renville yang Amir (mewakili Indonesia) dan Abdul Kadir Widjojoatmodjo (mewakili Belanda) tandatangani. Salah satu isinya yang mengurangi wilayah RI menjadi Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera dinilai merugikan Indonesia.
”Selain daripada itu Partai Masjumi dan PNI mengadakan demonstrasi bersama di Yogya di jalan muka istana dengan menyorakkan anti Amir Sjarifuddin,” lanjut Hatta.
Hatta memimpin kabinet yang baru pada 29 Januari 1948. Arsip Sekretariat Negara 1945-1949, no. 618 di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) mencantumkan nama Alex Maramis sebagai Menteri Keuangan kabinet. Pengangkatannya berdasarkan Keppres No.6/A.Clv/48.
Alex berusaha menunaikan tugasnya di sepanjang jatuh bangunnya kabinet. Salah satunya membiayai perwakilan-perwakilan Indonesia di luar negeri.
“Tanggung jawab pembiayaan dan koordinasi berada di tangan Kementerian Keuangan dan Kementerian Luar Negeri, di mana Alex Maramis dan Mukarto Notowidigdo selaku pelaksana utamanya,” tulis FEW Parengkuan dalam A.A. Maramis SH, yang terbit pada 1982.
Alex juga mengatasi peredaran uang palsu, merintis hubungan dagang dengan luar negeri, bahkan menyelundupkan candu. Kesemuanya demi memenuhi kebutuhan ekonomi republik.
Di masa Kabinet Hatta, Alex harus menghadapi peredaran Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) palsu yang Belanda buat untuk menjatuhkan moneter Indonesia. Peredarannya sudah ada sejak Kabinet Amir yang pertama.
Alex meminta kepolisian untuk memberantas uang palsu tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, uang palsu telah beredar sampai di lingkungan pemerintahan. Ini menambah inflasi ekonomi. Soedarpo Sastrosatomo, mantan Seksi Luar Negeri Kementerian Penerangan (1945) dalam Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an, suntingan Thee Kian Wie menerangkan keadaan saat itu.
”Uang kertas palsu mulai beredar, dan yang lebih gawat lagi, pemerintah tidak mampu meningkatkan penerimaan pemerintah lewat pungutan pajak. Karena makin banyak pengeluaran pemerintah dibiayai dengan uang yang baru dicetak, inflasi meningkat dengan cepat,” ungkap Soedarpo.
Alex harus berpacu dengan waktu. Dia berusaha mengatur peredaran uang di seluruh daerah Republik Indonesia. Bersama Wakil Presiden Hatta, Alex mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1948 tentang Peraturan Peredaran Uang Dengan Perantaraan Bank-Bank Berhubung Dengan Adanya Uang Palsu, yang ditandatangani pada 23 Juni 1948.
PP ini mengetengahkan perihal pembatasan peredaran uang untuk perorangan, pembayaran uang di atas Rp. 10.000,- harus menggunakan Bank Negara Indonesia dan Bank Rakyat Indonesia, serta pembatasan penyimpanan uang.
”Karena keadaan-keadaan sekarang, kita tidak dapat memberantas dengan sempurna masuknya uang palsu dalam daerah Republik. Umum mengetahui, bahwa dalam peredaran uang kita telah terdapat uang palsu itu, sehingga merupakan bahaya yang perlu kita berantas dengan sekuat tenaga kita,” sebut penjelasan PP itu.
Perjanjian Dagang dengan Matthew Fox
Pemerintah RI harus menembus embargo Belanda untuk membuka perdagangan dengan internasional. Salah satunya berupa ‘diplomasi dagang’. Perdana Menteri Sutan Sjahrir mengawalinya pada tahun 1946, dengan mengirimkan bantuan 500.000 ton beras kepada India untuk menghadapi krisis pangan.
Arsip Kementerian Penerangan 1945-1950, no. 42 (ANRI) menyebutkan bantuan dibarter dengan komoditas lainnya yang Indonesia butuhkan seperti tekstil.
”Perdagangan melalui jalur diplomatik ini belum pernah dilakukan sebelumnya oleh negara manapun sesudah Perang Dunia II. Namun peluang untuk melakukan hal itu terbuka ketika penduduk India menghadapi bahaya kelaparan di daerah-daerah Madras, Dekan, dan India Barat,” tulis Tri Agung Sujiwo, dalam skripsinya, Panitia Pemikir Siasat Ekonomi: Upaya Awal Menata Ekonomi Indonesia (1947-1949).
Ketika itu, pemerintah lah yang menjadi pedagang. Sedangkan swasta masih lemah dalam perdagangan internasional. ”Hal ini disebabkan karena selama masa penjajahan, hanya pengusaha Belanda, dan golongan pedagang Cina yang mendapatkan kesempatan untuk melakukan perdagangan,” lanjut Agung.
Beberapa di antara diplomasi dagang tersebut cukup kontroversial. Salah satunya adalah kerjasama dengan pengusaha perfilman Amerika Matthew Fox.
Sumitro Djojohadikusumo (Perwakilan Dagang RI untuk AS) yang mencetuskannya. Baginya perjanjian ini menguntungkan republik. ”Karena itu akan mengisi pundi-pundi pemerintah di Yogyakarta dengan aset devisa berharga dalam bentuk dolar Amerika,” urai Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg, dalam American Visions of the Netherlands East Indies/Indonesia. Sumitro menandatangani perjanjian itu pada 3 Januari 1948.
Di sela-sela Konferensi PBB di Havana dari 21 November 1947 sampai 24 Maret 1948, Alex Maramis bersama AK Gani membantu Sumitro dalam membangun komunikasi dengan Fox untuk mendirikan Indonesia-American Corporation (IAC). Hasilnya, Fox berwenang memonopoli perdagangan Indonesia—Amerika Serikat. Alex juga mengurusi ini pada Januari 1949.
Pemerintahan AS bereaksi. Senator Connecticut, John Davis Lodge berpidato di Kongres pada 24 Januari 1949. Dia mengutip artikel Dorothy Thompson dalam Washington Star edisi 18 Januari, yang menyebut kesepakatan tersebut sebagai skandal. Dia menuntut penyelidikan.
“Saya pikir harus menyelidiki apa yang terjadi dengan perjanjian ini, dan siapa rekan-rekan Amerika-nya,” ucap Lodge, seperti yang termuat dalam Apendix pada Congressional Record, Proceedings and Debates of the 18th Congress (3 Januari-12 Maret 1949).
Perjanjian RI dengan Fox dianggap menyalahi peraturan AS yang anti-monopoli. Namun Soedarpo punya tafsiran lain soal ini. ”Garis resminya adalah bahwa monopoli adalah tidak sah, tetapi masalah sesungguhnya adalah karena Pemerintah AS tidak mengendalikan kami,” paparnya.
Kecaman juga datang dari pers Belanda. “Kontrak yang sebenarnya memberikan Fox mayoritas mutlak dari saham voting, sehingga republikan kehilangan semua kendali atasnya,” tulis Nieuw Nederland, edisi 16 Desember 1948.
Alex sendiri yakin kalau perjanjian tersebut menguntungkan Indonesia, karena merupakan pintu perdagangan secara legal. “Seperti yang dikatakan Maramis, Indonesia akan memasok Amerika dengan karet penduduk dan sejenisnya. Menurut dia, perdagangan ini sepenuhnya legal dan sama sekali tidak bertentangan dengan peraturan Batavia,” terang Het Parool, edisi 10 Desember 1948.
Alex Maramis dalam Nieuw Nederland (16 Desember 1948) mengatakan bahwa kontrak Fox sudah dimulai. Kapal-kapal dari Amerika sudah siap berlayar membawa tekstil dan obat-obatan ke Indonesia.
Kerja sama ini berakhir pada tahun 1950. Meskipun singkat, Gerlof D Homan dalam American Business Interests in the Indonesian Republic 1946-1949 melihat kerjasama ini menguntungkan Indonesia.
”Dengan kontrak Fox, Republik mencapai dua sasaran. Membuat malu dan takut pemerintah Belanda, yang takut akan pengaruh pengusaha terhormat seperti Fox yang mungkin mencoba dan berhasil memecahkan blokade Belanda. Lalu, Republik yang sementara menghindari Washington, telah menjalin kontak yang berharga dengan dunia bisnis Amerika. Dengan demikian, pengaruh internasional Republik telah meningkat,” papar Gerlof.
Berdagang Candu
Usaha Indonesia lainnya yang kontroversial adalah perdagangan candu. Awalnya pemerintah belum melihat candu dapat menguntungkan negara. “…Baru setelah pemerintahan Amir Syarifuddin berkuasa pada 3 Juli 1947, Republik secara resmi memutuskan untuk menjual opium ke luar negeri,” Tulis Robert Cribb, dalam “Opium and Indonesian Revolution”, termuat dalam Modern Asian Studies, Oktober 1988.
Kebijakan perdagangan candu diputuskan dalam rapat kabinet. “Ketika mata uang asing tidak lagi tersedia, rapat kabinet pada Juli 1947 memutuskan untuk menjual opium ke luar negeri, memberikan Perdana Menteri wewenang eksklusif untuk menjualnya,” lapor The Chemist and Druggist, 22 Oktober 1949.
Alex terpilih untuk memimpin perdagangan, dibantu Moekarto Notowidagdo, Pejabatan Resi Candu dan Garam Kementerian Keuangan. Perdagangan ini strategis bagi pemerintahan Indonesia. Alex dalam Surat Kementerian Keuangan Yogyakarta pada 8 Maret 1948 (ANRI, Djogdja Documenten 1945-1949 no. 230) memaparkannya sebagai berikut,
“…a. membiayai delegasi Indonesia di luar negeri, b. membiayai delegasi Indonesia di Jakarta, dan c. membelanjai pegawai-pegawai/pekerja-pekerja Republik Indonesia yang kini masih berada di Jakarta,” tulis Alex. Candu yang diperdagangkan adalah stok zaman kolonial Belanda.
Alex memberi lisensi Kementerian Keuangan kepada pihak-pihak tertentu untuk berdagang candu. Lisensi ditandatangani Sekretaris Kementerian Keuangan, M. Saubari, atau Pegawai Tinggi Sekretariat Kementerian Keuangan, R. Hendarsin Tjokrosudirdjo.
Alex meminta kepolisian mengizinkan pejabat regi candu yang mengantongi lisensi tersebut untuk menjual candu ke luar negeri, di barter barang-barang yang Indonesia perlukan.
Alex juga bekerjasama dengan pesepakbola Indonesia keturunan Tionghoa Tony Wen yang dekat dengan PNI. Tony bertugas untuk membuka jaringan dengan Singapura. Hasil yang diperoleh cukup besar.
”Maramis dilaporkan telah menetapkan bahwa Republik harus menerima $450 per kilo, yang membuat pembayaran Wen berkurang sekitar $900.000. Namun, uang itu jauh lebih banyak daripada apa pun yang sebelumnya diterima Republik dari transaksi opiumnya, dan itu membuat Maramis berani menggunakan Wen untuk usaha yang bahkan lebih berani,” ungkap Cribb.
Ekspor candu semakin marak di tahun 1948, setelah Wapres Hatta menyetujui penyelundupannya pada bulan Februari. Sekretaris Wakil Presiden I. Wangsawidjaja bahkan pernah menyurati Alex pada 28 Mei 1948. Isinya meminta izin untuk Soedarso dalam pembelian 200 kg tube candu, dan 150 kg candu kasar (ANRI, Djogdja Documenten 1945-1949, no. 230).
”Puncak dari penyelundupan candu ke Singapura terjadi pada bulan Maret hingga Agustus 1948,” catat Julianto Ibrahim, dalam ”Candu dan Militer: Keterlibatan Badan-Badan Perjuangan dalam Perdagangan Candu di Jawa pada Masa Revolusi”, termuat dalam Kawistara, (vol. 6, no. 1, 21 April 2016).
Banyak candu yang terjual di Singapura. Sejumlah kecil diselundupkan di bawah keranjang buah. “Banyak antara 500 dan 1.500 kilo diterbangkan dengan kapal terbang Catalina ke Malaya dan dipindahkan ke dekat pantai ke kapal cepat kecil. Hampir 15.000 kilo dikirim ke pedagang di Singapura saja, satu pedagang Cina menerima 3.405 kilo pada Mei-Juli 1948 berdasarkan perjanjian dengan Tuan Miramis,” catat The Chemist and Druggist.
Polisi Belanda menangkap para penyelundup, termasuk Moekarto. “Dari dua puluh orang yang terlibat dalam perdagangan gelap, enam belas menunggu persidangan di Batavia, termasuk mantan Kepala Opium Republik dan Monopoli Garam, yang telah ditunjuk sebagai "koordinator keuangan" Republik untuk Asia Tenggara dan Australia pada 24 Juli 1948,” papar The Chemist and Druggist. Sedangkan Tony tertangkap pada bulan September.
Belanda menuduh Pemerintah Indonesia menyebarkan candu ke luar negeri dengan sewenang-wenang. Pemerintah membalasnya melalui keterangan resminya, 25 Agustus 1948.
”Bahwa sesungguhnya blokade Belanda lah yang menyalahi semangat persetujuan Linggarjati dan pokok-pokok Renville, yang memaksa Republik mengelakkan blokade Belanda itu secara demikian,” cantum keterangan tersebut yang tersimpan di Arsip Kementerian Penerangan 1945-1949 no. 42, ANRI. Pemerintah sendiri sudah memberangus perdagangan candu di daerah-daerah di Indonesia pada tahun itu.
Keadaan ekonomi dan politik Indonesia yang kritis membuat pemerintah harus melakukan tindakan yang luar biasa. Termasuk berdagang candu. Atas kesadaran itu, Alex Maramis memainkan peran pentingnya.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar