Mula Pedagang Kelontong
Sebelum memiliki toko, pedagang Tionghoa mulanya berdagang keliling. Membawa alat yang bunyinya membuat mereka disebut pedagang kelontong.
BARANG-barang kebutuhan sehari-hari tersusun rapi di rak-rak sebuah toko kelontong. Di tengah maraknya toko swalayan dan minimarket, toko kelontong masih menjadi pilihan masyarakat untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Barang-barang yang dijual beragam. Harganya pun terjangkau.
Bicara mengenai toko kelontong, tahukah Anda bagaimana asal-usul munculnya kelontong?
Dukut Imam Widodo dalam Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe menyebut istilah kelontong merupakan sebutan tempo dulu yang telah lama melekat dan identik bagi para pedagang yang menjual barang-barang tidak mudah basi, sehingga dapat dijual beberapa bulan bahkan beberapa tahun ke depan.
“Nama kelontong memang berasal dari penyebutan para warga pribumi kampung pada para pedagang keliling Tionghoa. Para pedagang itu selalu berteriak-teriak dalam menawarkan dagangannya, dan mendengar teriakan itu maka orang-orang kampung pun datang dan mengerumuninya,” tulis Dukut.
Baca juga: Toko Jepang Menerjang
Para pedagang Tionghoa keliling tak selalu berteriak untuk menarik perhatian penduduk. Mereka juga menggunakan sebuah alat berbentuk kendang bertangkai yang memiliki diameter kecil dan tertutup kulit di kedua sisinya. Alat yang menghasilkan bunyi-bunyian khas ini juga dilengkapi bandul kayu yang diikatkan dengan benang di bagian atas kendang.
“Kalau kendang kecil itu diputar kiri-kanan, maka akan timbul bunyi: thong… thong… thong… Tapi kadang-kadang di telinga yang terdengar adalah suara: klonthong… klonthong… Itu karena bandulnya memukul kulit kendang,” tambah Dukut.
Justus van Maurik dalam catatan perjalanannya, Indrukken van Een Totok, juga membahas mengenai pedagang kelontong. Para pedagang Tionghoa ini kerap datang pada sore hari atau pagi sekali ke hotel atau area penginapan para pelancong yang kebanyakan orang Eropa untuk menawarkan dagangannya.
“Biasanya para pedagang ini memiliki sebuah alat yang menyerupai mainan dan mengeluarkan bunyi kencang, alat ini seakan menjadi tanda kedatangan mereka dari jauh. Oleh karena itu para pedagang ini kemudian dinamai seperti instrumen ini, yakni kelontong yang berarti mainan kerincingan atau berkelontang,” tulis Maurik.
Baca juga: Mula Pedagang Kaki Lima
Para pedagang Tionghoa keliling menjual berbagai jenis barang, mulai dari kain katun cetak atau ikat celup untuk sarung, pernis, sandal, parfum, cerutu, senjata, sandal wanita bersulam, mainan, pernak-pernik dari gading atau kayu cendana, hingga makanan lezat dalam kaleng.
Menurut Maurik banyak pedagang Tionghoa yang merintis usahanya dari pedagang kelontong. Mulanya mereka menjajakan barang-barang yang dijual ke rumah-rumah maupun menawarkan barang dagangannya untuk dijual di hotel. Saat uang yang didapat terkumpul, para pedagang ini mulai membeli kereta dan kuda, lalu membeli sebuah toko, hingga akhirnya melalui penghematan dan ketekunan, mereka berkembang menjadi pengusaha sukses.
Tak hanya Maurik, Augusta de Wit juga memiliki kesan tersendiri terhadap para pedagang kelontong yang ia temui saat berkunjung ke Nusantara pada awal abad ke-20. Dalam bukunya Java Facts and Fancies, De Wit tak jarang melihat pedagang yang tengah berjalan menggoyang-goyangkan kerincingnya untuk menarik perhatian calon pembeli untuk berbelanja batang sabun maupun gulungan benang.
Baca juga: Meriung di Warung Makan Tempo Dulu
Sama dengan keterangan Maurik, De Wit juga menyebut pedagang kelontong kebanyakan diusahakan oleh orang-orang Tionghoa. “Perdagangan adalah elemen di mana ia hidup, bergerak, dan berada. Dunia adalah satu peluang besar baginya untuk berbisnis,” sebut De Wit.
Oleh karena itu, tak heran para pedagang Tionghoa yang merintis usaha sebagai pedagang kelontong, lambat laun mengembangkan usahanya dengan membuka toko dan menjajakan barang yang lebih beragam.
Seiring berjalannya waktu, berdagang kelontong masih menjadi salah satu peluang bisnis yang menjanjikan. Tak hanya membuka toko atau berkeliling menjajakan barang-barang dengan menggunakan kendaraan bermotor, di era digital ini tak sedikit pula pedagang kelontong yang memasarkan barang-barangnya secara daring.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar