Meriung di Warung Makan Tempo Dulu
Penduduk Batavia suka sarapan di warung makan pinggir jalan setelah mandi di kali. Warung makan jadi tempat berkumpul sambil membahas berbagai persoalan.
BUKA puasa bersama menjadi tradisi yang tak boleh terlewatkan di bulan Ramadan. Bagi sebagian orang, kegiatan ini seakan menjadi agenda tahunan yang begitu dinanti karena menjadi ajang silaturahmi dengan saudara maupun teman. Beragam warung makan dan restoran pun ramai didatangi masyarakat. Bahkan ada yang reservasi dari jauh hari ke restoran atau rumah makan pilihan agar kebagian tempat untuk buka puasa bersama orang-orang terdekat.
Bicara mengenai warung makan, kebiasaan makan di luar atau di warung makan pinggir jalan sudah menjadi kebiasaan orang-orang tempo dulu. Justus van Maurik, seorang pengusaha yang mengunjungi Jawa tahun 1800-an, menulis dalam catatan perjalanannya, Indrukken van Een Totok bahwa orang-orang di Batavia melakukan berbagai aktivitas sebagian besar di ruang terbuka, mulai dari makan, minum, bercukur, membersihkan telinga, hingga mengukur serta menjahit pakaian.
Baca juga: Kisah Warung Siluman
Tak heran banyak warung kecil atau pedagang pikulan hilir mudik menjajakan makanan dan minuman. Menurut Maurik, beberapa pedagang yang menjajakan makanan dan minuman itu merupakan pedagang Tionghoa. “Di jalan, orang Tionghoa terus-menerus menjajakan makanan, yang biasanya ia tahu cara memasaknya dengan sangat enak. Kadang-kadang ia menawarkan ikan goreng atau nasi yang dimasak dengan daun pisang dengan bumbu, lalu ia membujuk orang yang lewat untuk makan sup atau kue,” tulis Maurik.
Berdasarkan pengamatannya, Maurik menyebut warung makan lebih banyak ditemukan di wilayah permukiman Tionghoa. Di warung yang biasanya toko kecil itu dijajakan berbagai makanan dan minuman, seperti nasi, ikan goreng, dendeng, sambal, kopi, buah-buahan, kembang gula, kue kering hingga pisang goreng.
“Para tamu biasanya duduk di depan lubang terbuka persegi yang berfungsi sebagai etalase dan jendela toko sekaligus, mereka kemudian duduk di bale bale (bangku) lalu makan,” sebut Maurik. Namun ada pula warung yang memiliki ruang makan di dalamnya yang terdiri dari ruangan gelap dan berasap.
Baca juga: Menghirup Sejarah Sirup dan Air Belanda
Selain Maurik, pelancong lain, Augusta de Wit, juga memiliki kesan tersendiri dengan warung makan pinggir jalan saat mengunjungi Jawa pada akhir 1890-an. Menurut Achmad Sunjayadi dalam “Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di Hindia”, termuat dalam Titik Balik Historiografi di Indonesia, tak hanya menulis deskripsi terkait warung pinggir jalan yang ia temukan di Batavia dalam bukunya berjudul Java Facts and Fancies, De Wit juga mengamati bagaimana penduduk pribumi (di bukunya ia menyebutnya orang Jawa) menikmati sarapan pagi di warung makan pinggir jalan setelah mandi di kali.
Warung yang biasa didatangi penduduk pribumi bervariasi. Dalam bentuk yang paling sederhana dan ringkas, warung terdiri dari dua kotak kayu, yang satu berisi bahan-bahan makanan dan makanan yang telah diolah, bagian lainnya ditempati anglo yang penuh bara api serta persediaan barang pecah belah. Dalam perkembangannya, ada pula warung yang tampak seperti gubuk kecil beratap jerami, tempat selusin lebih pengunjung makan di bawah pengawasan pemilik warung yang duduk bersila di konter, di antara tumpukan buah-buahan, sayuran, dan kembang gula.
Baca juga: Cara Penduduk Batavia Memperoleh Air Minum
Menurut De Wit, pengunjung warung makan pinggir jalan berasal dari berbagai kalangan, mulai dari kusir sado, pedagang kecil, perajin, pegawai pemerintah, polisi, pelayan, haji, serta para wanita. “Mereka berbicara dan tertawa. Urusan seluruh Batavia dibahas di sini: intrik, urusan cinta, kisah petualangan hingga kepentingan kantor,” tulis De Wit.
Beberapa warung semacam itu dapat ditemukan di sekitar Tanah Abang dan Koningsplein (kini Jalan Medan Merdeka atau kawasan Monas) serta di beberapa area permukiman penduduk pribumi. Sementara penjual makanan keliling dapat ditemukan di mana-mana: pinggir kali, stasiun kereta api, tempat-tempat pemberhentian sado, sepanjang kanal, dan sudut-sudut jalan.
“Masing-masing juru masak keliling ini memiliki tempatnya sendiri di jalan atau jalan raya, yang diakui oleh yang lain dengan kesepakatan tersirat,” sebut De Wit.
Para pedagang umumnya memulai persiapan untuk menjajakan makanan dan minuman sejak pagi hari. Achmad Sunjayadi menulis, pagi-pagi sekali para pedagang telah memikul dagangannya, lalu aneka dagangan, piring, gelas, serta botol diatur sedemikian rupa agar menarik minat pembeli.
“Ada yang menjual nasi, ikan asin dengan sambal, kue hijau yang diberi parutan kelapa berwarna putih, pelbagai macam kue yang tampaknya terasa manis berwarna-warni mencolok (oranye, merah jambu, dan coklat tua) tampak kontras ketika disajikan di atas daun pisang segar berwarna hijau,” tulis Achmad.
Baca juga: Warung Kopi Tertua di Indonesia
Keberadaan penjual makanan keliling yang dipandang seperti “dapur berjalan” mencuri perhatian para pelancong asing yang mengunjungi wilayah Nusantara. Tak sedikit yang memandangnya cukup eksotis dan mampu menarik minat para turis. Oleh karena itu, Achmad Sunjayadi menyebut berbagai jenis penjual makanan keliling ini pun kerap jadi objek foto atau gambar yang kemudian dimuat dalam kartu pos.
Sementara itu, terkait dengan warung pinggir jalan, ada aturan yang harus dipenuhi oleh para pedagang saat hendak berjualan di Batavia, salah satunya terkait tempat berjualan. Mona Lohanda dalam Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia menulis, ada hitungan tersendiri bagi para pedagang yang hendak menyewa kios atau warung untuk berjualan.
“Hitungannya menurut ukuran kaki (bukan meter), dan dihitung mulai dari badan jalan. Boleh jadi konsep ini yang melahirkan sebutan warung kaki lima sampai sekarang,” sebut Mona.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar