Menggali Suez, Menghubungkan Dua Peradaban
Terusan Suez dibangun atas ide-ide pemajuan peradaban Barat dan Timur. Dalam prosesnya justru melibatkan kerja paksa.
Kapal kontainer berbobot 200.000 ton tersangkut di Terusan Suez pada Kamis, 25 Maret 2021. Kapal yang dioperasikan oleh perusahaan Evergreen ini diduga menyimpang setelah dihantam angin kencang. Dengan panjang 400 meter dan lebar 59 meter, kapal tersebut telah memblokir Terusan Suez yang merupakan salah satu rute pelayaran tersibuk di dunia itu.
Peristiwa ini tentu merugikan banyak pihak. Mengutip bbc.com, setidaknya ada 150 kapal yang terjebak di terusan itu. Kerugian diperkirakan mencapai 3 miliar dolar AS atau sekitar Rp43 triliun per hari serta membuat harga minyak dunia naik.
Terusan Suez merupakan salah satu jalur penting perdagangan dunia. Terusan yang menghubungkan Laut Tengah dan Laut Merah ini dilewati sekitar 12 persen perdagangan dunia. Terusan ini mempersingkat jarak tempuh pelayaran menjadi hanya 193 kilometer dari jalur yang seharusnya mengelilingi benua Afrika.
Pembanguan terusan Suez dimulai pada 1859. Namun, ide pembangunan kanal sejatinya sudah ada jauh sebelumnya, ketika Napoleon Bonaparte mendarat di luar Aleksandria pada 1798. Kala itu Napoleon tidak hanya datang membawa tentara untuk menjajah Mesir, namun juga memboyong sebuah tim sarjana yang ditugaskan untuk mempelajari negeri para Firaun itu agar dapat memanfaatkan sumber dayanya secara maksimal.
Baca juga: Ratu Mesir di Antara Temuan Baru Saqqara
Para sarjana itu kemudian mengetahui adanya kanal-kanal kuno di wilayah Suez. Mereka berencana menggalinya. Namun karena salah perhitungan, rencana tersebut mandek hingga beberapa dekade.
Tiga puluh lima tahun kemudian Barthélemy Prosper Enfantin, seorang reformis sosial Prancis, datang bersama sekelompok insinyur. Enfantin dan para Saint-Simonian yang percaya pada industrialisasi dan sains sebagai penggerak peradaban menganggap bahwa dunia Barat dan TImur telah dipisahkan oleh tanah genting Suez (Isthmus of Suez). Terpisahnya dua dunia ini merupakan penyebab terhambatanya pertumbuhan peradaban.
“Begitu kanal menembus pasir dan lautan terhubung, energi Timur dan Barat akan mengalir bersama. Dunia akan menjadi utuh, dan peradaban akan berkembang,” tulis Zachary Karabell dalam Parting The Desert, The Creation of The Suez Canal.
Ide Prosper Enfanin dan para Saint-Simonian belakangan diambil oleh Ferdinand de Lesseps, seorang diplomat dan developer Prancis. Lesseps pun mendapat dukungan dari pemimpin Mesir Muhammad Said Pasha (1854-1863) dan penerusnya, Ismail Pasha (1863-1879).
Pembangunan proyek terusan itu juga melibatkan ribuan borjuis dari Prancis, Turki, Belanda, Austria hingga Italia. Setelah persiapan dilakukan selama beberapa tahun, perusahaan Terusan Suez didirikan di Paris dan Aleksandria pada Januari 1859. Konstruksi pun dimulai pada pada tahun yang sama.
Baca juga: Rahasia Membuat Mumi di Mesir Kuno
Pekerjaan membangun kanal yang membelah tanah gersang itu jelas tidak mudah. Mereka kesulitan mencari pekerja dan hanya berhasil merekrut ratusan orang Mesir serta beberapa orang Suriah dan Palestina. Bahkan, usaha untuk mencari pekerja dari Amerika Serikat, Australia, dan China pun nihil. Alhasil, Terusan Suez akhirnya memunculkan bencana kemanusian baru: kerja paksa.
“Setelah musim panas tahun 1861, ribuan petani mulai berdatangan di zona kanal. Mereka berada di sana bukan karena pilihan,” tulis Karabell.
Lebih dari 20.000 petani kemudian mengerjakan proyek ambisius ini. Mereka menggali tanpa alat berat dan dibayar dengan surat promes yang baru bisa dicairkan kelak jika pekerjaan telah rampung. Terkadang mereka diberi tenda dan selimut, namun seringkali mereka harus tidur di lahan terbuka beralasakan pasir dekat penggalian.
Suhu panas pada siang dan dingin pada malam tentu menyiksa para pekerja. Banyak dari mereka meninggal karena kepanasan dan kerja berlebihan. Petaka lebih besar juga menyusul ketika wabah kolera menyerang.
Protes terhadap pembangunan terusan kemudian bermunculan. Di Inggris, sentimen anti-terusan memuncak pada 1862. Sementara Konstantinopel yang mendapat tekanan diplomatik, akhirnya memerintahkan Ismail Pasha menarik semua pekerja dari Suez. Pembangunan terusan terhenti pada musim semi 1864.
Pada masa ini, terjadi pula konflik kepentingan dan perebutan kendali atas proyek antara Turki, Mesir, dan Prancis. Namun setelah mesin-mesin dan alat berat dibeli, kanal kembali digali pada musim panas 1864.
“Konstruksi bergerak maju dengan kecepatan yang mencengangkan. Dan itu tidak melambat sampai pagi-lima tahun kemudian ketika kapal pesiar Eugénie menguap melalui terusan,” tulis S.C. Burchell dalam The Suez Canal.
Baca juga: Mesir dan Kemerdekaan Indonesia
Proyek tersebut sebenarnya telambat. Lesseps memperkirakan terusan akan rampung dalam enam tahun. Tapi nyatanya, Laut Merah dan Laut Tengah baru terhubung setelah 10 tahun penggalian. Terusan Suez secara resmi dibuka pada 17 November 1869 dan dihadiri oleh Permaisuri Eugénie dari Prancis. Sementara itu, Port Said sebagai pintu masuk dari Laut Tengah, dibanjiri oleh para bangsawan Turki, pelaut Yunani, insinyur Prancis, hingga para saudagar dari berbagai negara.
Pada 1888, melalui Konvensi Konstantinopel, Terusan Suez baru ditetapkan status internasionalnya. Terusan ini harus dibuka untuk semua negara dalam masa damai maupun perang. Selain itu, juga ada larangan melakukan tindakan permusuhan dan membangun benteng di tepiannya.
Meski demikian, dalam krisis Suez 1956 Mesir melakukan penolakan pada kapal-kapal yang berdagang dengan Israel. Pada masa ini, Prancis dan Inggris juga menduduki sebagian zona. Terusan baru dibuka kembali pada Januari 1957. Penutupan juga terjadi pada perang Arab-Israel (1967) dan baru dibuka bertahap sejak 1975.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar