Knocker-Upper, Pekerjaan Unik yang Populer di Masa Revolusi Industri
Knocker-upper bertugas membangunkan para buruh pabrik untuk bekerja. Profesi tukang ketuk jendela ini ditinggalkan seiring kemunculan jam weker dengan harga terjangkau.
DI masa lalu kebanyakan orang menggunakan isyarat alam, seperti kicau burung atau sinar matahari yang menyinari kamar tidur, untuk bangun dan memulai hari. Ada pula yang dibangunkan oleh dentang lonceng gereja maupun ayam jantan. Di masa revolusi industri, ketika pabrik-pabrik mendorong berkembangnya kelas pekerja di kota-kota besar Inggris pada abad ke-18, sebuah pekerjaan unik, yakni knocker-upper atau tukang ketuk jendela diandalkan para buruh pabrik.
Revolusi industri tak hanya ditandai oleh munculnya pabrik-pabrik, tetapi juga diikuti meningkatnya gelombang migrasi penduduk dari pedesaan ke kota-kota besar. Mereka berharap memperoleh pendapatan besar dan pasti dengan bekerja sebagai buruh pabrik. Namun, harapan itu hanya mimpi, sebab kondisi kerja para buruh, terutama perempuan dan anak-anak, sangat monoton dan memprihatinkan.
Paul Chrystal menulis dalam Factory Girls: The Working Lives of Women and Children, para pekerja di pabrik-pabrik tekstil, misalnya, menghabiskan waktu 14-16 jam setiap hari untuk melakukan tugas-tugas yang berulang-ulang dalam lingkungan yang berisik, pengap, dan tidak sehat. Ketika mesin-mesin dimatikan, para pekerja seringkali harus tetap tinggal untuk membersihkan dan meminyaki mesin-mesin serta menyapu lantai pabrik.
“Waktu istirahat tidak banyak membantu; para pekerja pulang ke rumah, terkadang setelah 18 jam bekerja, yang seringkali lembab, penuh sesak, dan sanitasi yang buruk,” tulis Chrystal.
Seiring bertambahnya jumlah buruh dan meningkatnya produktivitas pabrik, perusahaan-perusahaan mulai menerapkan jam kerja dengan shift. Di sinilah, para knocker-upper berperan dalam memastikan para buruh tidak terlambat bekerja dengan membangunkan mereka melalui ketukan jendela. Dikenal dengan sebutan jam weker manusia, kehadiran knocker-upper menjadi pemandangan umum di kota-kota industri. Para buruh maupun pemilik toko yang tidak memiliki jam dengan alarm menyewa jasa tukang ketuk jendela yang akan membangunkan mereka.
Menurut Rebecca Struthers dalam Hands of Time: A Watchmaker’s History of Time, para pengetuk jendela berusaha memusatkan sebanyak mungkin pelanggan dalam jarak yang dekat sehingga dapat berjalan kaki dalam menjalankan pekerjaannya. Ketika bertugas, para knocker-upper sangat berhati-hati untuk tidak mengetuk terlalu keras, sehingga tidak membangunkan tetangga pelanggan secara cuma-cuma. “Layanan mereka semakin diminati karena pabrik-pabrik semakin mengandalkan kerja shift, yang mengharuskan orang untuk bekerja dengan jam kerja yang tidak teratur,” tulis Struthers.
Alat yang digunakan para pengetuk jendela beragam. Ada yang membawa galah bambu panjang hingga alat serupa senjata tiup yang biasa dimainkan anak-anak, salah satu yang menggunakannya adalah Mary Smith, knocker-upper terkenal di East End London. Begitu tiba di depan kediaman pelanggan, Smith mengarahkan alat kerjanya ke jendela kamar tidur lalu meniupkan kacang polong kering yang menimbulkan bunyi seperti ketukan pada jendela. Dia akan menunggu sejenak untuk mengetahui respons pelanggan –bisa lampu kamar tidur dinyalakan atau pelanggan membuka jendela untuk memberi tahu bahwa dia telah bangun. Bila belum mendapatkan respons, Smith akan kembali meniupkan kacang polong beberapa kali.
Tak jarang, saat pelanggan membuka jendela untuk menginfokan bahwa dia sudah bangun, buruh atau pemilik toko itu kembali tertidur di dekat jendela. Smith akan meniupkan kacang polong ke arah hidung atau dahi pelanggan agar mereka benar-benar bangun dan segera beraktivitas. Mary Smith yang tersohor sebagai tukang ketuk jendela di London mendorong Andrea U’Ren, pengarang Amerika, mengisahkan pekerjaan Smith dalam buku anak-anak bergambar dengan judul Mary Smith.
Tarif menyewa jasa knocker-upper beragam. Para pekerja maupun pemilik toko merogoh kocek sekitar tiga sen per minggu. Tarifnya bisa lebih tinggi di tempat-tempat seperti London, di mana pekerjaan ini begitu popular dan para pengetuk jendela harus bersaing dengan biaya hidup dan ongkos perjalanan. Sebagai tukang ketuk jendela yang terkenal, Mary Smith, mendapatkan sekitar enam pence per minggu pada 1930-an. Selain membangunkan orang, pekerjaan knocker-upper biasanya juga meliputi tugas menyalakan dan memadamkan lampu gas. Mereka berkeliaran saat hari mulai gelap atau ketika matahari akan terbit.
Kehadiran Mary Smith menandai pekerjaan knocker-upper tak hanya terbatas pada laki-laki. Menurut Akanksha Singh dalam “Who and What Was a Knocker-Upper?” yang termuat di JSTOR Daily, 5 September 2023, pekerjaan ini memberikan kemandirian finansial yang signifikan bagi wanita. Sebuah surat kabar di Kanada melaporkan, pada 1878 Nyonya Waters yang bekerja sebagai pengetuk jendela untuk membangunkan orang-orang di sebuah kota di Inggris utara mampu menyekolahkan putra semata wayangnya dan menghidupi suami yang cacat.
“Bangun pada pukul 2.30 pagi, ‘dalam segala cuaca’, dia terus melayani setidaknya 80 pelanggan selama 30 tahun kariernya, menghasilkan thruppence (3p) dari sebagian besar pelanggannya, tetapi kadang-kadang sebanyak setengah crown (sekitar 30 old pence),” tulis surat kabar itu sebagaimana dikutip Singh.
Baca juga:
Namun, tidak semua orang memandang profesi ini sebagai bagian dari penggerak dalam industri Inggris. Sentimen negatif datang dari pembaharu sosial, Helen Dendy yang menyebut tukang ketuk jendela sebagai “Residuum”, dan menggolongkan mereka dengan “gadis yang membersihkan tangga [dan] wanita tua yang mengasuh bayi”. Bagi Dendy, mereka tidak layak menerima bantuan amal, karena orang-orang itu dianggapnya “sangat membenci pekerjaan yang biasa-biasa saja,” dibandingkan dengan “industrialis sejati”, yang bekerja di pabrik-pabrik manufaktur.
Pekerjaan knocker-upper menghadapi tantangan dengan kemunculan jam weker yang mengeluarkan bunyi bising. Ketika Levi Hutchins, pembuat jam muda Amerika yang disebut sebagai pembuat jam weker pertama di dunia, membuat jam weker pada 1787 dan dijual dengan harga cukup mahal, hanya orang-orang kaya dan bangsawan yang mampu membelinya. Oleh karena itu, masyarakat biasa, khususnya para pekerja, bergantung pada tukang ketuk jendela. Akan tetapi, ketika jam weker diproduksi secara luas dengan harga terjangkau, buruh dan pemilik toko bisa memilikinya.
Profesi knocker-upper yang populer di Inggris sejak masa revolusi industri lambat laun ditinggalkan. Meski masih dapat ditemui pada 1950-an, memasuki tahun 1960 jumlah tukang ketuk jendela di kota-kota kecil di Inggris semakin kecil. Knocker-upper pun menjadi pekerjaan unik yang tinggal kenangan.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar