Belanda Tuan Tanah Cisarua
Juru gambar yang tak punya anak membagikan tanah partikelirnya kepada keponakan-keponakannya yang kemudian sohor sebagai tuan tanah.
JURU gambar merupakan profesi penting dalam dokumentasi wajah sebelum ada fotografi. Itulah kenapa Adrianus Johannes Bik (1790-1872) dan Jannus Theodorus Bik (1796-1875) rela meninggalkan Belanda negerinya dan merantau ke Hindia Belanda.
Adrianus yang pernah menjadi baljuw (pemangku hukum) di Batavia dan Jannus yang jago melukis kemudian menjadi juru gambar. Dalam Kuasa Ramalan, Peter Carey menulis Bik bersaudara adalah seniman paling terdidik di Hindia Belanda kala itu. Setelah Pangeran Diponegoro ditahan, wajah sang pangeran dilukis oleh Adrianus Bik.
Beberapa tahun setelah Adrianus melukis Diponegoro, adik Adrianus dan Jannus yang bernama Bruno Bik (1808-1868) tiba di Hindia Belanda juga, tapi sebagai perwira kaveleri tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL). Menurut stadboek-nya, Bruno tak lama di militer dan kemudian menjadi kontrolir di Jawa. Dari perkawinannnya dengan Charlotte Johanna Marguerite van Doorninck, Bruno punya beberapa anak. Di antaranya Bruno Theodorus Bik (kelahiran Pati, 1840) dan Jan Martinus Bik (kelahiran Batavia, 1839). De Locomotief tanggal 7 April 1921 menyebut Bruno juga disuruh pensiun oleh Jannus yang sudah mengelola tanah partikelir di Cisarua.
Jannus yang berbisnis lewat tanah partikelirnya kemudian jadi tuan tanah di Batavia bagian selatan dan sekitar Bogor. Tanah partikelir itu adalah tanah pertanian yang menghasilkan komoditas berupa padi, kina, kopi, dan teh.
Lantaran tak punya anak, Jannus kemudian berbagi tanah dengan keponakan-keponakannya. Tanah partikelir Cisarua diberikannya kepada anak Bruno, yakni Bruno Theodorus dan Jan Martinus. Tanah itu dibagi menjadi dua, Cisarua Utara diberikan kepada Jan Martinus dan Cisarua Selatan diberikan kepada Theodorus. Menurut Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indie 1903 Volume 1, luas tanah Cisaruai Utara 9000 bau dan dikelola TF Keuchenius sementara Cisarua Selatan seluas 8500 bau dikelola C Keuchenius.
Ketika anak-anaknya jadi tuan tanah, di Cisarua bekas letnan Kaveleri Bruno Bik yang sudah tua itu memilih pulang ke Belanda. Namun, dalam perjalanan dia meninggal dunia sehingga dimakamkan di St. Helena, tempat Napoleon Bonaparte meninggal dunia.
Seumur hidupnya, Theodorus Bik hanya sekali berkunjung ke negeri leluhurnya, Belanda. Sepulangnya dari sana itulah dia mendapat warisan tanah partikelir itu. De Locomotief tanggal 7 April 1921 dan Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië tanggal 6 April 1921 memberitakan Theodorus yang berkuasa di Cisarua Selatan itu lebih dari 50 tahun “berdaulat” di tanah partikelir itu. Theodorus di sana dianggap sebagai tuan tanah yang adil sehingga tidak memiliki masalah dengan petani-petani lokal yang menggarap tanahnya.
Cara berbisnis Theodorus yang pernah bersekolah di Bogor itu terbilang unik, yakni tidak “serakah”. Itu berangkat dari kecintaannya pada alam hijau. Jadi, dia tidak banyak membuka hutan untuk lahan pertanian yang bisa mendatangkan lebih banyak uang padanya. Alhasil, hutan alam di tanah partikelirnya masih tersisa banyak.
Theodorus sendiri pernah belajar di sekolah teologi. Bekal itulah yang kemudian membawanya mendukung misionaris Kristen di Cisarua dengan memberi lahan untuk pembangunan sebuah rumah sakit yang berguan bagi masyarakat setempat.
Berbeda dari Theodorus, Jan Martinus tidak lama tinggal di Cisarua. Dia memilih tinggal di Batavia. Tanah partikelirnya di Cisarua Utara dijalankannya dari jauh.
Theodorus tutup usia pada 31 Maret 1921 di tanah partikelirnya sendiri setelah setengah abad menjadi tuan tanah di Cisarua Selatan. Jenazahnya lalu dimakamkan di tanah partikelirnya. Sementara itu saudaranya yang berwenang di Cisarua Utara, Jan Martinus, sebagaimana diberitakan Bataviaasche Nieuwsblad tanggal 16 Maret 1926, meninggal pada 15 Maret 1926 di usia 86 tahun.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar